AJI Ingatkan Media Usung Jurnalisme Damai Dalam Pemberitaan Tolikara

JAKARTA, KabarMedan.com | Pemberitaan atas terbakarnya sebuah masjid di Tolikara, Papua, pada hari raya Idul Fitri 17 Juli 2015 lalu, telah berkembang menjadi topik panas di media, terutama di media online. Belakangan sejumlah pemberitaan ihwal tragedi Tolikara itu memperkeruh suasana karena menyajikan informasi kurang akurat, tanpa verifikasi yang memadai, dan menggunakan diksi (pilihan kata) yang berpotensi menyulut konflik lebih lanjut.

Informasi simpang siur tanpa verifikasi yang memadai tentang terbakarnya kios pedagang dan sebuah masjid Tolikara telah menimbulkan kekhawatiran bahwa peristiwa serupa diseret lebih luas ke konflik agama di Papua maupun di wilayah lain di luar Papua.

Sejak peristiwa ini bergulir, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendeteksi sejumlah media online tergesa-gesa menurunkan berita untuk meraih ‘klik’ dengan menabrak kode etik jurnalistik. Sebagian media online memberitakan Tragedi Tolikara tanpa menguji sumber informasi. Media online tetap mengutip komentar dan tanggapan narasumber tidak kredibel yang bisa menyebabkan konflik semakin meninggi.

“Media online lebih banyak melakukan verifikasi atau ralat setelah berita sebelumnya dimuat. Bahkan terdapat media online yang tak menyertakan keterangan atau permintaan maaf setelah melakukan ralat atas pemberitaan sebelumnya, seperti yang diatur dalam kode etik jurnalistik dan pedoman media siber,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, Kamis (23/7/2015).

Baca Juga:  Dugaan Korupsi Kapasitas Jalan Provinsi di Toba Samosir, 3 Tersangka Ditahan

Selain itu, lanjutnya, menurut riset terbaru Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi, sebagian media online juga gagal memahami konteks dan rangkaian peristiwa Tolikara secara lebih utuh. Sebab Tragedi Tolikara bukan semata persoalan pembubaran jemaah sholat Idul Fitri oleh pengikut Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang merasa terganggu dengan suara speaker masjid, pembakaran kios, dan terbakarnya masjid. Peristiwa ini merupakan rentetan dari kejadian sebelumnya. Sebelum penyerangan, telah terjadi penembakan terhadap 12 orang Gereja Injili di Indonesia oleh aparat keamanan, dimana satu orang tewas.

“Perlu dicatat pula, media massa khususnya berada yang di Jakarta lebih banyak mengandalkan narasumber berita dari pejabat dan aparat. Hampir tak ada suara dari warga Tolikara sendiri yang bisa memberikan informasi lebih akurat seputar peristiwa dan harapan mereka seusai peristiwa konflik. Media cenderung lebih menjadi corong pejabat dan aparat,” ujar Ahmad.

Ia mengungkapkan, dalam pemberitaan konflik di Tolikara, media massa perlu selalu mengingat Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 yang menyebutkan “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampur fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”

Baca Juga:  Pasangan Pengedar Sabu di Labusel Ditangkap di Kamar Kost

Selain itu, imbuhnya, AJI juga mengingatkan kembali para jurnalis untuk mengusung jurnalisme damai dalam memberitakan konflik Tolikara, di Papua, dan konflik-konflik lain di tanah air. Media juga harus menghindari “jurnalisme perang” yang dapat mengobarkan konflik makin meluas dan menyebabkan durasi konflik semakin panjang.

Roh dari jurnalisme damai adalah kepentingan publik. Perdamaian dan berakhirnya konflik merupakan bagian dari kepentingan publik. Salah satu kepentingan publik ini dapat ditemui dari masyarakat korban konflik dan tokoh masyarakat yang menginginkan situasi konflik mereda.

“Pemberitaan-pemberitaan terkait tragedi Tolikara tak boleh memihak salah satu dari dua kelompok yang berkonflik, tapi lebih mendorong pada penyelesaian konflik dan inisiatif untuk mewujudkan perdamaian darimana pun asalnya. Selama memberitakan tragedi ini, media perlu menghindari penggunaan diksi (penggunaan istilah dan kosa kata) yang berpotensi memperluas dan mempertajam konflik,” pungkasnya. [KM-01]

 

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.