AJI : Negara Abai Dalam Pengungkapan Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis

KABAR MEDAN | Di akhir tahun 2014, dunia pers dikejutkan dengan penetapan tersangka penistaan agama atas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, karena aktivitas jurnalisme yang dilakukan harian berbahasa Inggris ini.

“Tindakan polisi ini menafikan putusan Dewan Pers yang sudah ‘menghukum’ The Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi. Dan harian ini sudah melakukan prosedur yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini, sebagai bentuk itikad baiknya,” kata Ketua Umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Suwarjono, ketika memaparkan Catatan Akhir Tahun AJI, di Jakarta, Selasa (23/12/2014).

Menurut Jono, panggilan akrabnya, aksi polisi menafikan UU Pers ini menambah panjang barisan perlakuan buruk kepada jurnalis atau pun media yang dilakukan lembaga yang berada langsung di bawah Presiden ini. Sepanjang tahun 2014 ini, AJI mencatat, ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.

Kasus tersebut terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, Makassar dan Jakarta [Baca Lampiran]. Dan seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, tidak ada penyelesaian yang menurut hukum yaitu ke jalur pengadilan.

“Total ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2014 ini. Angka kekerasan boleh jadi stagnan dibanding tahun lalu, namun kualitas makin meningkat. Intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor hingga perampasan kamera masih terus terjadi,” jelas Jono.

Ia menambahkan, kasus yang paling menonjol terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014, ketika terjadi demonstrasi penolakan kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang melakukan peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi marah dan mengalihkan serangan pada jurnalis.

Setidaknya ada 10 (sepuluh) jurnalis yang mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat diantaranya melaporkan kasusnya pada polisi, dan sampai saat ini berjuang untuk menuntaskan kasusnya. Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan menjadi cara untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.

“Tahun 2014 adalah tahun kelabu untuk pengungkapan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Upaya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin yang masuk kadaluwarsa tak mendapat respons kepolisian. Padahal kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk mengungkap tujuh pembunuhan jurnalis lainnnya,” kata Jono.

Ketujuh jurnalis itu adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

“Sejauh ini, polisi abai, negara pun abai, membiarkan pelaku kekerasan melenggang bebas,” tegas Jono. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.