KABAR MEDAN | Permintaan maaf Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman atas kasus penyerangan dan penganiayaan kepada jurnalis peliput demonstrasi di Universitas Negeri Makassar, Kamis (13/11/2014) tidaklah cukup. Perlu ada keseriusan lebih dalam penegakan hukum atas kasus yang membuat tujuh jurnalis terluka, dan alat peliputan rusak itu.
Demikian dikatakan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Eko “Item” Maryadi, Jumat (14/11/2014) siang. Menurut Eko, peristiwa semacam ini sudah berulang kali terjadi. Dan aparat keamanan, dalam hal ini polisi, juga berkali-kali melakukan kekerasan kepada jurnalis peliput. “Mencermati kasus itu, sepertinya permintaan maaf Kapolri Sutarman tidaklah cukup, harus ada penyidikan dan penangkapan hingga proses pengadilan pada pelaku kekerasan pada jurnalis,” katanya.
Berdasarkan informasi yang didapatkan AJI Makassar, peristiwa kekerasan pada jurnalis itu terjadi ketika polisi menyerbu masuk ke dalam kampus dan menyerang mahasiswa. Saat itu, polisi juga merusak banyak sepeda motor mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah. Jurnalis yang mengabadikan tindakan itu justru menjadi sasaran selanjutnya oleh polisi.
Hingga Kamis malam, ada tujuh jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Satu di antaranya, Waldy, Metro TV, mengalami luka robek dan pendarahan di bagian kepala kiri depan. Ia dilarikan ke rumah sakit untuk penanganan medis lebih lanjut. Berikut ini adalah nama-nama korban:
1.Waldy, Metro TV.
2.Iqbal Lubis, Koran Tempo.
3.Ikrar Assegaf, Celebes TV.
4.Asep, Rakyat Sulsel.
5.Zulkarnain “Aco”, TV One.
6.Rifki, Celebes Online.
7.Fadly, media online kampus.
Rata-rata, mereka dianiaya dengan cara ditendang, ditinju dan dijambak. Peralatan kerja mereka dirampas, dirusak dan disita.
Menurut Item, aksi brutal yang dilakukan polisi dalam kasus Makassar itu merupakan pelanggaran berat UU no.40 tahun 1999 tentang pers. Apalagi, korban jelas-jelas sedang melakukan aktivitas jurnalistik, dengan identitas yang jelas. “Akibat aksi brutal yang melanggar hukum itu, jurnalis tidak bisa melakukan kerja jurnalistik,” katanya.
Terlebih, Item melihat polisi justru secara sengaja menyasar jurnalis. Hal itu terlihat dari aktivitas kekerasan yang dilakukan berupaya untuk merusak alat kerja jurnalis. “Saya menduga, mereka tidak menginginkan tindakan yang dilakukannya di Universitas Negeri Makassar diabadikan. Karenanya, polisi menyasar jurnalis, dan merusak alat kerja mereka. Bahkan, mereka melakukan penyitaan alat-alat kerja para jurnalis korban secara ilegal,” jelasnya.
Karena itulah, Item menganggap permintaan maaf Kapolri Jenderal Sutarman tidaklah cukup untuk kasus Makassar. Harus ada tindakan nyata dan efek jera bagi pelaku atas tindakan yang dilakukannya. “Ini sekaligus menjadi contoh bagi masyarakat luas untuk menghormati kerja jurnalis dan melakukan mekanisme yang diatur UU Pers, bila memang ada sengketa atau keberatan dengan pemberitaan,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Iman D. Nugroho menjelaskan, penyerangan jurnalis di Makassar ini memperkuat dugaan tidak seriusnya polisi menghormati kerja jurnalis. Polisi, yang seharusnya melakukan penegakan UU Pers, justru secara terang-terangan melanggar undang-undang. “Dalam tiga tahun ini, polisi menjadi salah satu pihak yang juga kerap melakukan kekerasan pada jurnalis, dan itu terus berulang,” kata Iman.
Dalam tiga tahun ini, kata Iman, setidaknya terjadi 140 lebih kasus kekerasan pada jurnalis, dan tidak semuanya diusut secara tuntas. Termasuk delapan kasus kematian jurnalis yang selama ini masih belum dituntaskan. Seperti kasus pembunuhan jurnalis Bernas, Fuad Muhammad Sarifuddin 16 Agustus 1996,pembunuhan Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003) dan Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003).
Juga Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010). “Apakah daftar panjang ini akan diteruskan dengan polisi yang tidak hanya abai pada kasus kekerasan, melainkan juga menjadi pelaku?,” tandas Iman.
Atas kejadian tersebut, kata Iman, AJI menuntut polisi segera melakukan penangkapan pelaku yang terlibat penyerangan itu dan membawa kasus itu ke pengadilan. “Kami juga mendesak Kapolri mencopot Kapolda Sulsel dan Kapolrestabes Makassar,” katanya. [KM-01]