MEDAN, KabarMedan.com | Tidak mudah untuk menentukan usaha apa yang menjanjikan pada pandemi COVID-19.
Bisnis masker awalnya sempat menjanjikan. Namun tak butuh waktu lama karena titik keseimbangan bisnis itu tidak lama langsung tercipta.
Pengamat ekonomi, Benjamin Gunawan mengatakan, masker yang sebelumnya sempat langka dan mahal kini mulai banyak beredar dan harganya sangat terjangkau.
“Sehingga tidak lagi menjanjikan keuntungan. Disaat new normal diberlakukan. Ada harapan bahwa ekonomi masyarakat akan kembali berputar dan sangat berpeluang memberikan janji keuntungan ekonomi,” katanya.
Namun, sekalipun skema new normal sudah diberlakukan seakan memberikan harapan bahwa ada peluang bisnis yang bisa dilakukan.
“Memang benar anggapan seperti itu. Tetapi bisnis yang dijalankan saat new normal belum bisa menggaransi 100% akan mendatangkan keuntungan,” ujarnya.
Di saat masyarakat dianjurkan untuk tetap di rumah, katanya, ekonomi jelas terhenti. Saat new normal, ketika ekonomi dibuka akan menjadi pertarungan bagi para pebisnis dalam mempertahankan usahanya.
Menurutnya, pelaku usaha di saat new normal sekalipun akan berhadapan dengan tiga kemungkinan sekaligus. Pertama banyak dunia usaha yang akan mengalami kerugian jika usahanya tidak dibuka.
Kedua, potensi kerugian tetap terjadi jika usaha dibuka, bisa dikarenakan beban operasional yang lebih besar dari pendapatannya. Ketiga, potensi mendapatkan keuntungan.
Bisnis yang defensive, katanya, saat new normal diyakini belum akan mampu membalikan kondisi usaha ke kondisi semula. Semuanya masih mengalami masa transisi.
“Jika melihat perkembangan bisnis yang sekarang, saya menilai apapun itu yang terjadi saat ini belum bisa dikatakan bahwa ada peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan dalam jangka panjang,” katanya.
Gunawan menilai, tahun 2022 menjadi waktu yang paling cepat pulihnya ekonomi, dengan catatan tidak terjadi gelombang pandemi COVID-19 kedua yang bisa memperburuk keadaan.
Namun, jika skenario terburuk terjadi, dia melihat proses pemulihan akan berlangsung lebih lama lagi.
“Kesimpulannya, membuka dan menjalankan bisnis yang sudah ada menjadi jalan yang bisa dilakukan. Tanamkan bahwa di saat kondisi seperti sekarang, pada dasarnya belum ada satupun bisnis baru yang benar-benar sangat menjanjikan keuntungan. Jadi sebaiknya hati hati mengelola bisnis di tengah kondisi seperti saat ini,” katanya.
Pengusaha hanya Bisa Bertahan Sampai Akhir Juni
Ketua Umum Kadin Sumut Ivan Iskandar Batubara mengatakan, pemerintah diharapkan dapat segera mengambil langkah untuk memperhatikan para pengusaha yang terdampak COVID-19.
Pasalnya, dampak dari COVID-19 membuat para pengusaha hanya bisa bertahan sampai akhir Juni 2020.
Demikian dikatakan Ivan Batubara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus COVID-19 bersama asosiasi dibawah Kadin seperti PHRI, Organda, Asita, HIPMI, Himpunan Pesantren, BUMD, (Bank Sumut, PT Dirga Surya) di DPRD Sumut.
“Pengusaha perlu dukungan pemerintah agar dapat bertahan dan mencegah PHK para pekerja. Kita perlu tetap menciptakan permintaan dan daya beli yang cukup di masyarakat, agar suply dan demand berjalan seimbang dan roda ekonomi tetap berputar,” kata Ivan.
Ia mengaku, saat ini hampir seluruh sektor usaha, seperti travel, hotel, tranportasi, jasa, ekonomi kreatif, umkm, dan sektor industri, pertanian, perkebunan dan sebagainya sangat besar terdampak akibat COVID-19.
Untuk itu, solusinya adalah dengan menyegerakan pertumbuhan ekonomi kembali. “Lalulintas pergerakan orang terutama aktivitas ekonomi sebisa mungkin cepat pulih kembali, rangsangan ekonomi masyarakat dengan bantuan- bantuan pemerintah seperti BLT, pengurangan pajak, restrukturisasi kredit dan lain sebagainya,” ujarnya.
Kadin juga mengusulkan agar restrukturisasi perbankan bagi para pelaku usaha segera dibantu semaksimal mungkin, agar dunia usaha cepat bangkit dari keterpurukan.
“Perlu adanya sinergitas antara pemerintah daerah dengan Kadin (para pelaku usaha) dalam mengambil kebijakan ekonomi, agar berjalan demi kepentingan bersama dan masyarakat Sumut,” katanya.
Pelaku Event Sudah Makan Aset
Selama pandemi COVID-19, sekitar 2000 pelaku event terpaksa mengurangi atau bahkan meniadakan aktifitasnya. Sebagian dari mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan (side job) dan hidup dari adanya event.
Menjelang new normal dan saat sektor perhotelan dan restoran mulai beroperasi, penyelenggara event memiliki tantangan tersendiri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Penyelenggaraan dan Pelaksana Acara (APPARA) Indonesia, Hendra Gunawan Kaban mengatakan, pelaku event yang dimaksud mulai dari band, dancer, crew, event organizer, MC, vendor, sound and lighting technician dan lain sebagainya.
Event sudah hampir 4 bulan tidak ada dilaksanakan. Bukan hanya makan tabungan (mantab) lagi. Ini kita udah manset, udah makan aset. Teman-teman tak mungkin memberhentikan anggotanya. Jika sampai akhir tahun begini terus, akan banyak EO yang tutup atau pindah (profesi),” katanya.
Ia mengatakan, jika mengikuti peraturan menteri kesehatan, sebenarnya sudah dipeerbolehkan untuk penyelenggaraan event. Namun demikian, saat ini banyak asosiasi sedang menyusun protokol sesuai cluster bisnis masing-masing.
Menurutnya, ada perbedaan untuk sektor perhotelan, restoran, mall dengan penyelenggaraan event (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition).
“Karena masing-masing cluster bisnisnya berbeda. Misalnya tak lagi boleh berdiri, harus duduk dan diatur jarak tempat duduknya. Sekarang itu belum kelar. Kita di Sumut sedang menyusunnya,” katanya.
APPARA sudah memberikan masukan untuk protokol yang sesuai dalam penyelenggaraan MICE melalui Dinas Pariwisata. Namun saat ini, belum ada yang dikeluarkan pemrintah sesuai dengan regulasi Kemenkes, Kemenparkraf, Gugus Tugas dan lainnya.
“Event ini kan pasti mengumpulkan banyak orang di waktu yang sama. Protokol kesehatannya dibutuhkan lebih massif,” katanya.
Mulai dari cuci tangan, seleksi untuk ke dalamnya. Sementara untuk hotel, restauran, dan mall, pengunjung atau tamunya keluar dan masuk.
“Setiap event ada antiseptic cabin, ada thermo gun, hand sanitizer, healthy kit, masker, sarung tangan plastik dan lainnya. Pasti itu bebannya ke penyelenggara. apakah klien bersedia untuk itu, masih didiskusikan,” katanya.
Sedangkan untuk event-event yang sudah direncanakan sebelum adanya pandemi Covid-19, terpaksa harus dijadwal ulang hingga waktu yang belum ditentukan.
Begitu halnya dengan event-event yang sudah mengeluarkan down payment (DP), diberi kelonggaran hingga akhir tahun. Apalagi, untuk penyelenggaraan event, memerlukan banyak perizinan.
“Izin keramaian, misalnya. Kita kan harus sesuai regulasi. Tak mungkin bikin event lalu dibubarkan. Artinya harus disetujui dulu baru dilaksanakan,” katanya.
Berkaca dari daerah lain seperti di Jakarta, Jawa Tengah dan lainnya. Menurutnya, pelaku event dan pemerintahnya di sana sudah mulai mempersiapkan diri. Bahkan di Jakarta, sudah ada kesepakatan oleh penyelenggara event, kepolisian, pemerintah dan Dinas Kesehatan.
“Sebelum event harus sampaikan dulu ke pihak keramaian seperti standar kesehatan yang dilakukan. APPARA mendorong ke situ. Kepolisian, pemerintah melalui dinas pariwisata. Tapi memang belum ada dipanggil untuk diskusikan lagi,” katanya.
Pada dasarnya, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, selama belum ada vaksin, maka protokol kesehatan harus dijalankan dengan ketat atau harus hidup berdampingan dengan COVID-19.
Bagaimana hidup berdisiplin dengan regulasi yang ada, bagi EO sudah ‘khatam’.
“Event harus aman dan nyaman. Kita sampaikan ke stakeholder, pinginnya cepat. Tapi dengan prorokol kesehatan. Kalau bisa cepat, kalau bisa iya, kenapa tidak,” katanya.
Menurutnya, di masa pandemi COVID-19 atau menjelang new normal saat ini, secara cost mungkin sama, secara income sudah pasti beda. Ada yang dikurangi, itu konsekuensi.
Brand, kata dia, pasti membutuhkan promo. Sudah 4 bulan, aktivitas direct ke customer service sama sekali ditiadakan.
“Mungkin dikasih stimulan pemerintah, meeting kedinasan sudah diserahkan ke pihak ketiga. Karena kalau bicara opportunity, kalau vaksin sudah didapat, event, pariwisata, perhotelan pasti rebound,” jelasnya.
Momen Pembenahan Bagi Pemerintahan
Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah mengatakan, pandemi COVID-19 dapat menjadi momen untuk berbenah bagi pemerintahan.
“Pandemi ini menurut kami bisa menjadi introspeksi diri untuk kita semua, terkhusus pemerintah,” katanya dalam Webinar “Pemimpin di Badai Pandemi, Sumatera Utara Bangkit” dari Kantor DPRD Sumut.
Ia mencontohkan, pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang perlu diperbaiki, antara lain rumah sakit tipe B harus ada di kabupaten/kota.
Ke depan, katanya, Pemprov Sumut akan melakukan pembangunan dan peningkatan rumah sakit yang ada di Kabupaten/Kota.
“Kami merencanakan penyebaran untuk pembangunan atau peningkatan dari rumah sakit, agar bisa melayani kesehatan di masyarakat. Apalagi tidak ada satu orang yang bisa memastikan virus ini bisa hilang dari muka bumi,” katanya.
Begitu juga dengan data kependudukan, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) perlu terus diperbarui. Menurutnya, dalam setiap kegiatan apapun data kependudukan ini penting.
“Kita tidak hanya bisa berdiam diri dan berputus asa. Kita harus tetap aktif agar ekonomi kita bangkit,” katanya.
Kapolda Sumut, Martuani Sormin Siregar mengatakan, penanggulangan COVID-19 tidak bisa hanya dilakukan pemerintah saja. Ia berharap, agar masyarakat juga harus terlibat secara aktif.
Selain itu, kepala daerah kabupaten/kota terus memberi edukasi kepada masyarakat terutama memulai tatanan normal baru.
“Ini bukan mudah. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi kita semua. Semua masyarakat harus aktif dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Sumut,” jelasnya.
Pengelolaan Anggaran Penanganan COVID-19 harus Dievaluasi
Jumlah pasien positif COVID-19 di Sumatera Utara terus mengalami kenaikan. Untuk itu, Pemprov Sumut harus mampu untuk mengelola anggaran yang ada.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sumut memiliki 3 fungsi, yaitu penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial dan penanganan dampak ekonomi mendapatkan alokasi Rp 1,3 triliun. Fitra Sumut menilai banyak yang harus dievaluasi untuk tahap ke 2 nantinya.
Koordinator Advokasi dan Kajian Hukum FITRA Sumut, Siska Elisabet Barimbing mengatakan, tahap pertama yang sudah disalurkan sebesar Rp 502 miliar.
Dengan tren kenaikan jumlah pasien positif COVID-19 di Sumut yang terus naik, Pemerintah Provinsi harus mengevaluasi kerja yang dilakukan.
“Anggaran untuk fasilitasi dampak sosial yang lebih besar. Jadi dari Rp 502 miliar itu sekitar 59,81 persen untuk fasilitasi dampak sosial. Itu yang kemarin banyak dikeluhkan tentang pembagian bantuan langsung tunai (BLT) yang sembako,” katanya.
Ia mengaku, seharusnya BLT tetaplah bantuan tunai, namun yang sampai ke masyarakat adapat dalam bentuk bentuk sembako. Masyarakat, katanya, mengeluhkan kualitas dan banyaknya yang belum mendapat bagian.
“Harusnya jika melihat tren terus naik, yang ditingkatkan adalah untuk belanja kesehatan. Harapannnya nanti di tahap 2,” katanya.
Beberapa waktu lalu, pihaknya menggelar diskusi via Zoom yang mengundang pembicara dari BPBD Sumut, Riadhil Akhir Lubis dan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar. Dalam diskusi tersebut, katanya, pertanyaan dan keluhan paling banyak sembako yang nilainya Rp 225.000.
Terkait BLT, katanya, di Sumut terdapat 13 daerah yang meminta transfer uang dan 20 daerah lainnya yang meminta langsung dalam bentuk sembako.
“Yang 20 daerah itu banyak keluhan. Di Labuhanbatu beda dengan Medan dan Deli Serdang yang minta sembako. Di Labuhanbatu lebih bagus spek dan isinya. Ada susu, beras kualitas bagus, minyak, dan lainnya,” katanya.
Saat ditanya kenapa Medan dan yang terima sembako kualitasnya jelek dan dikeluhkan, menurut Siska, dalam diskusi online via Zoom itu Riadil mengaku bahwa ada 45 vendor pengadaan barang dan jasa.
“Jadi Rp 225.000 akhirnya terpotong 10-11 persen untuk pengadaan barang dan jasa. Katanya akan dievaluasi 45 vendor agar tahap 2 tak pakai barang yang bermasalah,” katanya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana Pemprov Sumut akan memeriksa sembako sebelum keluar dan mengawasinya hingga sampai ke lapangan.
Menurutnya, ada beberapa kasus di mana beras tidak tepat 10 kg dan mi instan seadanya. Ia pun heran kenapa harus dipaksakan tetap dalam bentuk sembako.
“Jika sembako kan ada biaya pengadaan barang dan jasa. Itu terpotong di situ. Ada belanja pegawai, belum proses distribusi bermasalah. Bisakah dijamin sampai di tempat akan tetap bagus kualitasnya,” katanya.
Ia menilai, memberikan sembako lebih beresiko dibandingkan dengan tunai. Pihaknya berharap, agar di tahap 2 untuk BLT diberikan secara tunai.
“Mereka pertimbangkan dengan kartu. Kita lihat apakah direalisasikan di tahap 2,” katanya.
Pihaknya juga menyoroti dari sisi kesehatan. Anggaran yang dialokasikan di tahap 1 hanya 38,20 persen atau sekitar Rp 191,7 miliar. Saat ini di Sumut tersisa 13 kabupaten/kota yang bersih dari COVID-19. Ia mengaku, akan lebih baik jika di tahap kedua, difokuskan untuk anggaran kesehatan.
Apalagi, saat ini sedang masa transisi menjelang new normal. Saat ini, beberapa kalangan masyarakat sudah mulai bekerja sehingga resiko penularan semakin besar.
“Medan akan sangat rentan. Kalau new normal di Medan bisa bergerak terus angkanya. Penanganan kesehatan harus diperbanyak. Misalnya untuk rapid test dan PCR. Terutama di fasilitas umum yang banyak kerumunan orang. Di lapangan semakin mengerikan, banyak yang mengabaikan protokokol kesehatan,” katanya.
Sementara untuk anggaran pengamanan oleh TNI, Polri dan Satpol PP cukup banyak, yaitu Rp 2,7 miliar.
“Kita lihat di lapangan, tak lagi banyak Satpol PP yang mengamankan. Anggaran TNI Polri juga ada Rp 740 (juta), transportasi dan perhubungan Rp 1,2 miliar. Jika kemarin dilihat sejak awal Dishub banyak nutup jalan. Patroli Satpol PP tak nampak lagi. Kerja nggak,” katanya.
Dia menegaskan, Medan paling rawan. Pengamanan harus ditingkatkan menjelang new normal. Jika semakin besar, pengawasan oleh pemerintah harus lebik baik.
“Harus dikurangi fasilitasi dampak sosial. Karena orang sudah mulai kerja orang. Bisa dialihkan untuk pengamanan dan kesehatan. Untuk memastikan orang patuh terhadap protokol kesehatan,” katanya.
Sementara itu, untuk penyaluran bantuan logistik, baik dari pemerintah maupun swasta kepada masyarakat terdampak, Kepala BPBD Sumut, Riadhil Akhir Lubis enggan memberikan informasi lebih detail.
“Tentang APD mohon dikonfirmasi ke Kadis Kesehatan ya. Agar ditayakan kepada bagian logistik. Karena bukan BPBD semuanya ya pak,” cetusnya melalui aplikasi percakapan WhatsApp.
Stok APD untuk Sumut Cukup untuk 1 Bulan ke Depan
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, M. Alwi Mujahid Hasibuan mengatakan, stok APD untuk kebutuhan di Sumatera Utara dalam waktu 2 minggu hingga 1 bulan ke depan masih cukup.
Biarpun stok sedang banyak, pihaknya tetap mengatur ritme distribusi. Namun, ia tidak merinci jumlah stok yang saat tersedia. Dia pun tidak hafal berapa jumlah APD yang sudah didistribusikan.
“Kalau angka, itu bisa relatif nanti jadinya. Kita bilang banyak, daerah lain bilang sedikit. Tapi kita tahu bahwa cukup untuk sebulan ke depan lah,” katanya ketika dikonfirmasi.
Ia mengatakan, APD yang didistribusikan sudah sangat banyak ke 33 kabupaten/kota dan rumah sakit. Pembagian itu disesuaikan dengan kebutuhannya.
“Misalnya yang terakhir 20 per puskesmas. Itu terakhir, sebelumnya sudah. Jadi kabupaten/kota misalnya 50 untuk buffer stock, kemudian ke rs yang merawat,” katanya.
Di Sumut, katanya, dengan jumlah pasien positif yang banyak, dirawat di beberapa rumah sakit yang bukan rujukan. Rumah sakit yang merawat pasien Corona, lebih diprioritaskan daripada yang tidak ada.
“Kalau untuk rumah sakit rujukan sudah pasti. Tapi kan ada juga rumah sakit yang merawat tapi bukan rujukan,” katanya.
Dengan kondisi demikian, pihaknya menjaga ritme dalam distribusi APD yang bersumber dari pusat, yakni pengadaan dari BPBD Sumut dan Dinas Kesehatan Sumut.
“Kita belum tahu sampai kapan COVID-19 ini. Tak bisa umbar APD karena sedang banyak kemudian membawanya ke sana kemari,” katanya.
Dengan mengatur ritme distribusinya, katanya, dapat menjaga keberlanjutannya tanpa harus menggangu pelayanan. Jika tidak maka khawatir akan terjadi penumpukan dan tak terpakai. Sementara yang lainnya membutuhkan.
“Jadi sesuai dengan kebutuhannya. Kalau tidak dijaga, susah. Kami kan lagi banyak, kami harus menahan diri untuk tidak mengumbarnya,” katanya.
Saat ini kabupaten/kota sudah diperbolehkan untuk melakukan refokusing anggaran. APBD kabupaten/kota bisa digeser untuk penanganan Corona.
Kabupaten yang melakukan refokusing anggaran, lanjut Alwi, tetap dikasih tapi porsinya lebih kecil.
“Jadi kajian itu ada di proses kita untuk distribusi. Kalau kemarin kendalanya di pasokan, mau, tapi barang tidak ada. Dari pusat juga kurang. Sekarnag situasnya sudah beda. Untuk pengadaan bisa, pengiriman dari pusat pun lebih lancar,” pungkasnya. [Kontributor: Suhardiman]