Begini Hubungan Pola Konsumsi Produk Hewani dan Wabah

MEDAN, KabarMedan.com | Laporan terbaru PBB menyebutkan hubungan antara permintaan produk hewani dengan wabah di masa depan.

Dalam laporan terbarunya “Mencegah wabah selanjutnya: Penyakit zoonosis dan bagaimana memutus rantai penularan” yang dirilis para ahli Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperingatkan sejumlah faktor.

Faktor-faktor tersebut mulai dari intensifikasi pertanian dan peternakan, peningkatan permintaan protein hewani, serta deforestasi dan perubahan iklim dapat menyebabkan munculnya wabah baru yang berasal dari hewan sebelum ditularkan ke manusia, seperti kasus yang terjadi pada virus corona.

Demikiain terungkap dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (7/7/2020) malam.

Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen, faktor-faktor tersebut merusak habitat alami dan memperlihatkan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia ke spesies lain, yang membuat manusia semakin dekat dengan sumber penyakit.

Jika telah ditularkan pada manusia, penyakit tersebut dapat menyebar cepat dalam dunia yang saling terhubung saat ini. “Seperti yang kita lihat terjadi pada kasus Covid-19,” katanya.

Laporan tersebut menjelaskan bagaimana hewan seperti sapi, babi, dan ayam, sering dibesarkan dalam kondisi yang tidak ideal dalam level produksi yang tinggi serta cenderung serupa secara genetik, sehingga sangat rentan mengalami infeksi dibandingkan dalam populasi yang lebih beragam.

Lebih parahnya lagi, mayoritas hewan ternak saat ini dibesarkan dalam peternakan pabrikasi, fasilitas yang dirancang untuk mengurung ribuan hewan dalam satu tempat dan tidak memberi ruang untuk adanya jarak fisik antar satu hewan dengan yang lainya.

Baca Juga:  Dukung Mobilitas Berkelanjutan, Pemerintah Kota Medan dan Bluebird Group Hadirkan Bus Listrik

Di banyak negara berkembang, seperti Indonesia, UNEP menyebutkan, terdapat peningkatan tajam terhadap konsumsi produk hewani, yang membuat produksi daging meningkat sebesar 260% dan telur 360% secara global dalam 50 tahun terakhir.

Tidak pula mengagetkan bahwa menurut laporan tersebut, sejak tahun 1940, usaha dalam melakukan intensifikasi pertanian dan peternakan seperti, waduk, proyek irigasi, dan peternakan pabrikasi telah dikaitkan dengan lebih dari 25 persen dari semua penyakit-serta lebih dari 50 persen dari penyakit zoonosis-menular yang telah muncul ke manusia.

UNEP juga menekankan adanya faktor resiko tambahan di negara berkembang, karena sering kali produksi hewan ternak berada di dekat kota, praktik biosekuriti dan peternakan yang dilakukan sering tidak memadai, limbah peternakan sering tidak dikelola dengan baik, juga obat anti mikroba yang sering digunakan untuk menjadi tameng kondisi atau praktik yang buruk.

Kerusakan lingkungan dan peternakan hewan liar juga salah satu faktor resiko. Selain itu, industri peternakan juga menjadi salah satu penyebab utama rusaknya lingkungan.

“Sekitar sepertiga lahan pertanian digunakan untuk pakan hewan. Di beberapa negara hal ini menjadi faktor yang menyebabkan deforestasi,” ungkapnya.

Baca Juga:  Pimpinan DPRD Sergai Masa Jabatan 2024-2029 Resmi Dilantik

Deforestasi memainkan peran utama yang memperparah perubahan iklim, satu faktor yang meningkatkan resiko wabah. Pengrusakan hutan juga diasosiasikan dengan peningkatan penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, dan penyakit penyakit kuning.

Laporan tersebut juga melihat fakta bahwa bukan hanya peningkatan permintaan daging tradisional saja yang tumbuh, namun juga permintaan daging untuk hewan liar, yang menyebabkan spesies baru diternakkan.

Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjelaskan munculnya SARS-CoV dan SARS-COV-2 di Asia Timur serta, penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) yang ditularkan melalui unta ke manusia, yang mengalami transisi produksi unta dari ekstensif ke sistem produksi intensif.

Di mana awal mulanya diidentifikasi terjadi di Arab Saudi, yang sekarang telah menyebar ke 27 negara.

LSM meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan. Hasil temuan PBB, sangat didukung oleh Act for Farmed Animals, LSM yang mengadvokasi pola makan berbasis nabati.

“Kita tentunya akan hidup lebih berkelanjutan dan aman jika bukankarena protein hewani. Kita tidak bisa lagi bergantung sepenuhnya pada sistem pangan yang mengancam ekosistem dan kesehatan kita,” kata Manajer Kampanye di Sinergia Animal, Dian Pitaloka. [KM-03]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.