Belasan Aktivis Mahasiwa Saksikan Fakta Kinerja TPL

Mahasiswa berfoto bersama sambil menyaksikan bibit kemenyan di pusat pembibitan Nursery TPL

PARMAKSIAN, KabarMedan.com | Belasan aktivis mahasiswa dari enam perguruan tinggi di Medan melukiskan perasaan lega dan tenteram setelah selama dua hari menyaksikan fakta-fakta secara kasat mata mengenai kinerja TPL baik di HTI maupun pabrik. Intinya, isu-isu negatif yang sering dilontarkan oleh segelintir pihak seolah-olah perusahaan penghasil pulp (bubur kertas) itu mencemari lingkungan dan merampas tanah-tanah ulayat masyarakat, nyata-nyata tidak terbukti kebenarannya di lapangan.

Pada Rabu (19/8/2015) para aktivis mahasiswa diketuai Freddy Siagian (UDA), meluncur dari Medan menuju HTI (hutan tanaman industri) TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) di sektor Habinsaran, di dekat garis perbatasan Tobasamosir dengan Tapanuli Utara. Di sana mereka menyaksikan kegiatan pemanenan ekaliptus (Eucalyptus sp) sebagai bahan baku pabrik di Parmaksian, yang dalam waktu kurang dari 90 hari sudah harus tertanami kembali dengan tanaman baru. Penyiapan lahan-tanam tidak boleh menerapkan cabut akar dan pembakaran. Dengan demikian dahan, ranting, daun dan serasah pohon-pohon hasil panen dibiarkan menjadi pupuk alami untuk pohon baru.

Para aktivis USU, UNIKA, UDA, PTKI, STIH Graha Kirana dan USM Indonesia itu, secara khusus menyaksikan pohon-pohon haminjon (kemenyan) alam pilihan di HTI sebagai sumber benih pohon-induk (mother plant) di pusat pembibitan di kompleks pabrik. Di pembibitan, peneliti senior Adventris Huta-Gaol mendemonstrasikan cara “melahir”-kan bibit dengan mengadopsi teknologi kloning, sehingga dari 1.000 pohon-induk dapat dihasilkan seribu bibit haminjon setiap bulan untuk kemudian ditanam bersama masyarakat petani atau dibagikan secara gratis untuk dibudidayakan di tanah milik penduduk.

Khusus mengenai haminjon memang perusahaan memiliki dua komitmen. Pertama, melindungi pohon-pohon alam di konsesi atau blok-HTI yang nyata-nyata dipelihara agar terus dapat diambil hasilnya oleh petani. Kedua, memprakarsai budidaya haminjon –bersama masyarakat petani– dengan memakai bibit unggul di bawah supervisi Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aeknauli, guna memperkaya (enrichment) jumlah tegakan haminjon tombak (hutan) sebagai sumber pendapatan tradisional petani yang bermukim dekat kawasan hutan.

Selain menyaksikan pembibitan  –produksi bibit ekaliptus mencapai 2 juta per bulan–  di pabrik para aktivis yang secara individual tergabung dalam organisasi pergerakan dan juga BEM (badan eksekutif mahasiswa) menyaksikan proses produksi (bahan baku kayu menjadi pulp untuk ekspor), serta pengolahan limbah (cair, gas, padat) hingga memenuhi baku-mutu yang ditetapkan Pemerintah. Khusus limbah cair, mereka menyaksikan pengalirannya ke badan Sungai Asahan yang mengalir sejauh 150 km hingga ke kota Tanjungbalai, sedangkan hulunya berada di tepian Danau Toba di kota Porsea, kira-kita 7 km dari pabrik.   

Para aktivis yang sebagian besar mengaku memperoleh informasi negatif TPL dari berbagai media –termasuk media sosial– merasa surprise mendapat kesempatan menyaksikan fakta lapangan, lalu kemudian melukiskan kelegaan perasaan mereka karena fakta lapangan telah meyakinkan mereka bahwa isu itu tidak benar sama sekali. Mereka menuliskan penilian akhir mereka dalam beragam ungkapan pada lembaran-lembaran “Kesan dan Pesan” di logbook yang tersedia. Senada dengan kesimpulan mereka, sebenarnya sudah lebih dulu diungkapkan oleh 41 orang rekan mereka sesama aktivis dari 14 kampus yang datang berkunjung pada 2 episode sejak akhir Mei 2015. Angka itu belum termasuk kedatangan sekitar 100 mahasiswa non-aktivis dari berbagai kampus seperti USI Siantar, PTKI Medan dan binaan Tanoto Foundation, sebuah yayasan penyedia beasiswa terkemuka.  

Mengenai isu pencemaran lingkungan, Jhoni Frens Gultom (UNIKA), Irawan Gultom (USU), Gresiana Sipayung (UDA), Ayub H Boy Panggabean (PTKI) dan Juhendro Silitonga (STIH Graha Kirana) menegaskan dengan kalimat “yang diisukan itu tidak benar”, “tidak mencemari lingkungan”, “tidak mencemari sungai Asahan”, “sekarang saya tahu isu itu tidak benar”, dan “jelas (kami) tidak (melihat) ada perusakan lingkungan.”

Baca Juga:  Dugaan Korupsi Kapasitas Jalan Provinsi di Toba Samosir, 3 Tersangka Ditahan

Sedangkan tentang isu penyerobotan tanah ulayat,  Samuel Sitorus (STIH Graha Kirana) memastikan “tidak melanggar peraturan”, Juhendro Silitonga mengemukakan “semua berita kerugian masyarakat, salah”, Jhoni Frens Gultom menulis “tidak merugikan masyarakat”, Ayub H Boy  Panggabean menyimpulkan, “(sekarang saya) tahu isu (negatif itu) tidak benar”, dan dengan kalimat yang lebih sempurna Fredy Siagian (UDA) menguraikan, “hasil pengamatan saya TPL  tidak melakukan perampasan tanah rakyat”. 

Kesimpulan itu mengemuka setelah mereka mengetahui konsesi TPL seluas 188.050 hektar di 12 kabupaten umumnya kawasan hutan negara teregister berfungsi HP (hutan produksi tetap) yang kemudian dikembangkan menjadi HTI berdasarkan izin Pemerintah. Logikanya, kawasan hutan negara teregister bebas dari pembebanan hak.

 Yang menarik, sedikitnya lima orang aktivis menyerukan perlunya diselenggarakan forum terbuka untuk membuka kesempatan bagi publik mengetahui fakta-fakta obyektif perusahaan di lapangan. Simon Panggabean (USU) menyebut “perlu seminar terkait isu-isu.” Irawan Gultom (USU) mengistilahkannya “sosialisasi budidaya haminjon.” Fredy Siagian menuliskan “lakukan konferensi kepada masyarakat supaya tau dengan jelas info yang sesungguhnya.” M Alpin (PTKI) menyebut “perlu seminar untuk bantah isu-isu jelek.”

Usul serupa sebenarnya pertama kali dilontarkan mahasiswi penerima beasiswa Tanoto Foundation beralamat di Jalan Jamin Gintings Medan, usai mengunjungi TPL bersama 75 rekannya akhir Juli lalu.  Rekannya Novita Dwiyana Siagian, penduduk Simalingkar, bahkan menyatakan kesediaannya ikut kegiatan sosialisasi. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.