Berawal dari Keluarga

Sumber: pixabay.com

Oleh: Jani Natasari Sinulingga
Praktisi Pendidikan Sekolah Dasar dan pengajar di Fakultas Pendidikan USM-Indonesia

Menumpang hidup di kota besar terkadang menimbulkan ketakjuban di dalam hati saya. Kota besar menawarkan sejuta impian menjanjikan, yang dikejar semua orang dari berbagai penjuru mata angin. Kota besar juga menawarkan gambaran hidup sehari-hari yang penuh problematika. Tak perlulah saya menceritakan kemegahan kota besar yang saya maksudkan ini, karena sudah banyak cerita yang mengulasnya dari berbagai sudut dan versi. Kali ini saya ingin menceritakan sepotong gambar hidup dari pinggiran kota besar yang pernah saya singgahi.

Di suatu subuh saya dan beberapa teman dikejutkan oleh suara teriakan samar dari seberang jalan. Di antara tidur nyenyak dan mimpi-mimpi yang berepisode seperti sinetron, kami terbangun karena suara itu semakin jelas terdengar mengulangi frasa yang sama berkali-kali. Karena manusia diciptakan dengan rasa ingin tahu yang luar biasa, akhirnya kami mengintip dari jendela, ternyata teriakan itu berasal dari rumah di seberang jalan. Teriakan dari seorang anak laki-laki yang kami ketahui masih duduk di bangku SMP.

Tidak perlu saya rincikan kata-kata yang diteriakkannya. Karena menurut saya, kata-kata yang diteriakkannya adalah kata-kata yang sangat tidak pantas untuk keluar dari mulut seorang anak SMP. Pagi harinya, dengan keingintahuan yang semakin memuncak, akhirnya saya bertanya kepada tetangga lainnya tentang kejadian subuh itu. Saya peroleh kabar yang cukup pasti, bahwa kata-kata kasar itu ditujukan untuk ayahnya yang berusaha mengingatkan dia untuk berhenti bermain online game karena malam sudah larut.

Hati saya melengos mendengar penyebab kemarahan dan teriakan anak itu. Beragam pertanyaan berkecamuk di pikiran saya setelah mendengar jawaban tetangga saya itu. Saya mulai mencari-cari akar permasalahannya. Apakah kemarahan anak itu disebabkan oleh ketagihan bermain online game yang kata teman-teman saya banyak mengandung kekerasan dan pornografi? Atau apakah seorang anak SMP bisa marah dan fasih mengucapkan kata-kata kasar kepada ayahnya sendiri dikarenakan anak itu memang selalu melihat orang dewasa di sekelilingnya menggunakan kata-kata kasar untuk mengekspresikan kemarahan atau ketidaksukaan? Dan ada pikiran aneh yang muncul juga di otak saya, mungkin saja anak itu memiliki kelainan jiwa. Semoga asumsi yang terakhir ini keliru.

Saya jadi teringat kata-kata seorang dosen di kelas perkembangan anak dulu. Beliau mengutip bahwa Lev Vygotsky (psikolog dari Rusia), menyimpulkan bahwa seorang anak membutuhkan sokongan dari orang dewasa untuk bisa berkembang dengan baik dan positif. Diibaratkan Vygotsky, sokongan yang harus diberikan orang dewasa kepada anak sama seperti saat seorang ayah mengajari anaknya naik sepeda. Dimulai dari ayahnya menunjukkan terlebih dahulu bagaimana cara mengenderai sepeda, membantu dan memegangi sepeda ketika anaknya mulai mengenderai sepeda, melakukan pengawasan, dan akhirnya melepas anaknya mengendarai sepeda secara mandiri.

Intinya orang dewasa itu adalah model yang perilakunya akan dilihat dan akhirnya ditiru anaknya. Kalau begitu, jika seorang anak selalu mendengar kata-kata kasar keluar dari bibir orangtuanya, maka sesuai pendapat Lev Vygotsky, anak itu pun akan terbiasa juga mengeluarkan kata-kata kasar. Perenungan bagi saya adalah apakah orangtua siap mendengarkan kata-kata kasar berbalik kepada mereka sebagai hasil pemodelan yang sudah ditunjukkan selama bertahun-tahun kepada anaknya?

Seorang psikolog lainnya memiliki pendapat yang erat mengait dengan pendapat Vygotsky sebelumnya. Kali ini adalah pendapat Albert Bandura, psikolog yang memperkenalkan teori belajar sosial. Menurutnya  proses belajar seseorang ditentukan oleh tiga faktor yang saling berhubungan secara resiprokal. Faktor-faktor tersebut adalah perilaku, individu dan lingkungan. Dikatakan Bandura, seorang anak membentuk pemahaman kognitif dengan melihat segala perilaku yang ada di lingkungannya. Dan akhirnya anak akan meniru perilaku tersebut. Bandura membuktikan melalui eksperimen Bobo Doll, di mana seorang anak yang melihat orang dewasa melakukan kekerasan kepada sebuah boneka akan meniru kekerasan itu juga pada boneka tersebut, bahkan anak tersebut mampu mengimprovisasi kekerasan diluar model yang ditunjukkan orang dewasa sebelumnya dengan menambahkan kekerasan verbal.

Sederhananya, kedua ahli di atas menyampaikan bahwa apa yang dimodelkan orang dewasa kepada anak-anak memiliki dampak laten di dalam diri mereka di kemudian hari. Saya tidak akan menghakimi pola asuh orangtua anak SMP yang saya ceritakan sebelumnya, namun hal ini menjadi refleksi bagi saya. Refleksi yang pertama adalah saya akan mengingatkan diri saya berkali-kali bahwa sebagai orang dewasa tiap perilaku saya akan diamati oleh orang-orang di sekitar saya, terutama  oleh anak-anak kecil di sekitar saya. Setidaknya saya akan mulai berpikir sebelum saya bertindak dan berbicara. Refleksi kedua adalah, betapa pentingnya peran keluarga dalam membentuk kepribadian seorang anak; menjadi anak yang berkepribadian ekstrovet atau introvet, percaya diri atau menarik diri, optimis atau pesimis. Keluarga adalah pondasi awal yang menyiapkan anak untuk memasuki dunia di luar sana yang penuh dengan tantangan. Menurut hemat saya, keluarga adalah awal dari segalanya.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.