Oleh: Fika Rahma Yuliawati S.Sos | Pemilu 2024 sudah berada di depan mata. Pemberitaan terkait Pemilu 2024 mendatang semakin banyak berseliweran di media massa. Mulai dari pelaksanaan secara tertutup atau terbuka hingga penetapan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Perlu dipahami, tugas utama media massa adalah menyampaikan fakta dan data secara akurat, berimbang dan menjunjung tinggi akuntabilitas. Media massa harus bergerak di posisi tengah atau netral, informasi yang adil, merata, berimbang dan pastinya bertanggung jawab.
Berbagai informasi yang diterbitkan oleh media massa wajib akurat dan teruji kebenarannya sehingga masyarakat tidak mengonsumsi berita yang menyesatkan. Sehingga, masyarakat dapat menggunakan informasi dari media massa untuk mengambil keputusan yang baik dan benar.
Bagi media massa sendiri, pemilu merupakan ujian untuk kredibilitas dan independensi dalam penerapan jurnalisme politiknya. Prinsip – prinsip jurnalisme harus dipegang. Verifikasi fakta haruslah menjadi acuan.
Dalam pelaksanaan pemilu sejak tahun 2014, netralitas media massa di Indonesia menjelang tahun politik seperti sekarang ini menyisakan pengalaman yang kurang baik dalam benak masyarakat. Dimana, banyak media massa yang terjebak dalam kepentingan elite politik sehingga mengabaikan fungsi media pendidikan bagi masyarakat.
Bahkan, media massa secara terang-terangan memihak salah satu kandidat dan menyerang kandidat lainnya. Bahkan pemberitaan yang tidak berimbang itu, tidak hanya tentang partai politik yang berkoalisi mendukung pasangan capres dan cawapres saja namun sudah masuk ke tataran pemilihnya.
Misalnya untuk media massa elektronik televisi, masyarakat sudah mengetahui mana yang menjadi alat politik pasangan capres dan cawapres nomor satu dan nomor dua. Hal ini membuat semakin runcingnya kubu pro dan kontra di publik.
Banyaknya berita yang tidak berimbang atau dikenal dengan ‘berita sampah’ yang membuat opini di tengah masyarakat yang membuat polarisasi pemilih semakin melebar.
Dari pengalaman Pemilu 2014, Dewan Pers sendiri mengeluarkan Surat Edaran No 01/SE-DP/I/2018 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pemilu 2019. Dalam Surat Edaran ini disebutkan bahwa media massa sebagai pengawas dan pemantau pemilu, bukan sebagai pejuang para kepentingan pribadi.
Surat Edaran ini adalah dampak betapa pemberitaan yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab dari media massa khususnya media partisan. Mengingat ‘berita sampah’ yang beredar di tengah masyarakat akan menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Banyak materi berita yang menyebarkan propaganda, kebohongan (hoax), isu SARA, kampanye negatif, dan provokatif yang ditelan oleh masyarakat tanpa ada saringannya.
Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman tahun 1933, Joseph Goebbels mengatakan “if you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it”. (Jika Anda mengatakan kebohongan yang cukup besar dan terus menerus mengulangnya, pada akhirnya masyarakat akan mempercayainya).
Sejak Pemilu 2014 hingga 2019, media massa di Indonesia seolah menggunakan teknik ini dan menyebarkan berita bohong sebanyak dan sesering mungkin hingga dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat yang membacanya.
Walau begitu, cara yang sederhana namun mematikan versi Joseph Goebbels ini, tidak hanya dilakukan oleh media massa saja, akan tetapi juga para elite politik pada masa kampanye Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2014 dan 2019.
Selain ‘berita sampah’ yang menyerang, para elite politik yang juga menjadi pemilik media secara terang-terangan terus melakukan ‘pencitraan’ calon yang didukung beserta partai politiknya. Para elite politik yang juga pemilik media massa ini seolah melupakan berbagai aturan dan kode etik jurnalistik yang seharusnya dimiliki dan dijalankan media massa dan jurnalisnya.
Seharusnya, elite politik yang menjadi pemilik media massa mengedepankan kepentingan publik dalam menerbitkan berbagai pemberitaan terkait pelaksanaan Pemilu. Bukan sebaliknya, menerapkan jurnalisme partisan dengan berbagai alasan.
Berbagai fakta yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu selama ini, menunjukkan betapa media dan jurnalis belum mampu menjadi pemantau dan memiliki kekuatan kontrol atas proses politik yang berlangsung. Bahkan, media massa dalam masa Pemilu justru terjebak dalam kepentingan politik bukan kepentingan publik.
Kebebasan Pers
Pascareformasi, kebebasan Pers di Indonesia bagai cendawan di musim hujan. Muncul berbagai lembaga yang mengatasnamakan wartawan di awal reformasi. Namun, saat ini media massa dan jurnalis telah dilakukan verifikasi. Misalnya media massa yang terdafar di Dewan Pers telah dilakukan verifikasi dan sertifikasi, sedangkan bagi jurnalis telah melalui Uji Kompetensi standarisasi secara objektif.
Dari data Dewan Pers, secara nasional jumlah jurnalis mencapai 17 ribu lebih. Sementara sekitar 11 ribunya telah tersertifikasi melalui Uji Kompetensi. Standarisasi melalui Uji Kompetensi ini secara signifikan akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan pers dimana mereka bekerja.
Bahkan, saat ini Dewan Pers mewajibkan setiap Pemimpin Redaksi dari media massa yang sudah tersertifikasi mengantongi hasil Uji Kompetensi dengan jenjang Wartawan Utama, yaitu jenjang tertinggi.
Berbagai ketentuan yang dikeluarkan ini menjadi penegasan bahwa Dewan Pers telah melakukan langkah antisipasi media massa untuk bersikap profesional. Namun, bagaimanapun pada akhirnya adalah profesionalisme wartawan, independesi, netralitas dan keberpihakan pada kepentingan publik menjadi roh atau jati diri wartawan itu sendiri.
Pelajaran menarik dari berbagai pelaksanaan Pemilu dan Pilkada beberapa tahun belakangan, ada media massa yang nyata sebagai partisan dan ada juga media massa yang tetap memegang teguh profesionalisme dan independensi dalam menyajikan liputan sesuai dengan fakta dan hati nurani.
Selain itu, masih banyak media massa baik cetak maupun online yang hingga saat ini belum memenuhi ketentuan UU No 40/99 tentang Pers. Masih banyak media massa yang beroperasi dengan semboyan ‘maju tak gentar membela yang bayar’.
Indikasi lainnya adalah sejumlah media massa yang terbilang mapan juga tidak steril dari kemungkinan menjadi corong partai politik atau pendukung kandidat capres dan cawapres.
Dari berbagai macam persoalan kebebasan Pers ini, maka independensi media tidak semata tertumpu di pundak para jurnalis. Melainkan, semua elemen perlu menjaga agar Pers Indonesia sehat, profesional dan independensi dengan cara tidak menarik-narik ke gelanggang politik.
Jika Pers tidak mampu menjaga independensi, maka proses demokrasi akan tercederai sehingga pemimpin yang terpilih baik di tingkat legislatif maupun tingkat pemimpin tertinggi yaitu eksekutif atau Presiden tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dan pada akhirnya akan menjadi bom waktu.