Rumah Apung Juru Selamat Jakarta

Ilustrasi Jakarta Tenggelam.

Oleh: Agnes Yorinna Kaligis | Rumah apung adalah solusi tenggelamnya Jakarta di tahun 2050. Posisi kota Jakarta yang lebih rendah dibandingkan permukaan air laut (coastal city) membuat Jakarta rawan terendam air, baik air dari laut maupun kiriman air dari daerah di sekitarnya.

Konstituen primer dari persoalan tenggelamnya ibu kota Indonesia ini sendiri adalah akibat akselerasi konstan kenaikan permukaan air tiap tahunnya. Banjir yang semakin nyata dialami oleh masyarakat merupakan salah satu peringatan akan urgensi dari prediksi ini.

Peran pemerintah dalam mitigasi vonis dari alam semesta ini perlu ditelaah kembali, mengingat jalan keluar yang diambil masih belum tepat.

Respon pemerintah daerah Khusus Ibu Kota Jakarta terhadap urgensi dari ultimatum ibu pertiwi ini tidak menghasilkan solusi efektif dan permanen bagi masyarakat.

Anggraini (2013) menyatakan bahwa estimasi peningkatan permukaan air laut di wilayah Jakarta tahun 2030 adalah setinggi 6,45m.

Menanggapi hal ini, tindakan pemecahan masalah yang digalakan oleh pemerintah daerah ialah berupa pembangunan tembok-tembok beton sepanjang pesisir utara Jakarta.

Hal ini hanya memberi rasa aman palsu (false sense of security) karena nyatanya walaupun solusi ini telah direalisasikan, Jakarta akan tetap tenggelam dalam waktu 1-2 dekade ke depan.

Jakarta butuh solusi konkrit yang berkelanjutan, efisien, dan adaptable dengan masyarakatnya. Masyarakat Jakarta butuh kepastian akan masa depan mereka dan generasi penerusnya untuk dapat hidup dengan aman dan nyaman di bumi yang mereka huni selama ini.

Rumah apung adalah solusi permanen paling tepat guna karena selain dapat beradaptasi dengan tren yang terus naik dari permukaan air laut. Model rumah ini juga fleksibel beradaptasi dengan kehidupan masyarakat pemukimnya.

Fleksibilitas ini merupakan salah satu alasan lainnya mengapa rumah apung cocok diimplementasikan di Indonesia, terutama Jakarta.

Model rumah apung yang dimaksud ialah berbeda dengan model-model preseden yang familier di masyarakat umum (seperti rumah panggung) yang masih rentan banjir jika kenaikan air laut melebihi tinggi tiang pondasi.

Pondasi dari rumah apung yang dimaksud tidak ditanam ke tanah di dasar air laut melainkan 100% mengapung (Dennis, et.al., 2022).

Intensinya ialah agar hunian dapat bergerak dinamis sesuai permukaan air laut, tidak terbatasi oleh ketinggian maksimal dari kenaikan maupun penurunan permukaan airnya.

Dengan sistem konstruksi yang mengapung layaknya kapal, rumah apung dapat bertahan seimbang di segala kondisi permukaan air laut termasuk ketika arus air laut sedang mengalami percepatan.

Model rumah apung yang pondasinya tidak kaku tertanam di dalam tanah memungkinkan masyarakatnya untuk tetap berkegiatan seperti biasanya tanpa harus khawatir akan kebanjiran atau bahkan tenggelam kendatipun setinggi apa permukaan airnya.

Rumah apung akan tetap selamat dan bertahan, seiring dengan perubahan alam sekitarnya.

Selain itu, hal yang menarik dari konstruksi rumah apung ialah salah satu bahan utama pembentuk struktur pondasinya berupa beton, yaitu bahan baku yang seringkali terkesan berat dan tidak mampu mengapung.

Beban beton sendiri bahkan sebaliknya menjadi menguntungkan karena menakhlikkan kestabilan yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku lainnya. Rupa dari pondasi ini sendiri berupa cekungan berbentuk U yang kemudian dilengkapi bukaan sebagai akses masuk.

Pada rumah apung dilengkapi dengan jangkar di bawah laut yang fungsinya sama seperti jangkar pada kapal yaitu mempertahankan posisi pondasi agar tidak hanyut terbawa arus.

Walaupun demikian, rumah-rumah apung ini tetap dapat dipindahkan letaknya sesuai dengan kebutuhan penghuninya. Kemampuan mobilisasi dari tiap-tiap rumah apung ini bergantung pada derek kapal karena tidak terdapat mesin penggeraknya sendiri (Dennis, et.al., 2022).

Kemungkinan mobilisasi yang fleksibel ini memungkinkan dibentuknya model permukiman clustered yang sangat mirip seperti model permukiman dengan tapak pada tanah, sehingga hal ini menjadi poin plus dalam membantu masyarakat penghuninya untuk beradaptasi dan tetap dapat berkegiatan seperti sediakala.

Model penataan permukiman clustered yang diimplementasikan pada rancangan rumah apung akan menciptakan pola huni masyarakat maritim yang dapat berekspansi secara komunal dan heterogen secara berkelanjutan.

Perancangan fasilitas penunjangnya akan dilengkapi menyeluruh seperti pada permukiman konvensional di atas tanah, baik fasilitas utilitas maupun fasilitas umum lainnya.

Pada permukiman apung ini nantinya akan terdapat fasilitas kesehatan, sumber makanan, fasilitas rekreasi, fasilitas transportasi, maupun fasilitas-fasilitas lainnya sebagai lingkungan binaan manusia (Tsaqif, 2022).

Sistem operasi infrastruktur buatan ini juga dirancang berpokok pada target awal pembangunannya yang menitikberatkan pada kemampuan adaptasi masyarakat sehingga fasilitas-fasilitas tersebut akan tetap dapat beroperasi sejalan dengan transisi permukaan air laut.

Sistematisasi yang sedemikian rupa ini mengarahkan masyarakatnya untuk tumbuh beradaptasi secara komunal dan heterogen dalam hiruk pikuk perubahan iklim global.

Rancangan rumah apung telah hadir sebagai juru selamat bagi Jakarta yang akan tenggelam di tahun 2050. Rumah apung adalah kunci peradaban Jakarta di masa depan.

Hal ini karena rumah apung mampu menyediakan solusi atas kebutuhan model huni yang adaptif terhadap lingkungan sekitarnya yang dinamis, berbeda dengan rumah konvensional yang kurang adaptif.

Fleksibilitas tinggi pada beragam aspek yang ditawarkan rumah apung dikombinasikan dengan kemampuan adaptasinya akan kondisi alam yang terus berubah menjadi jawaban urgensi Jakarta yang kian terbenam.

Pembangunan ‘solusi’ temporer hanya akan memberi kesan aman yang semu bagi masyarakat Jakarta, menimbulkan momok keresahan karena nihilnya kepastian akan nasib sanak keluarga di masa depan.

Oleh karena itu, rumah apung sebagai jawaban akan kepastian kelangsungan hidup masyarakat Jakarta di masa depan merupakan urgensi tinggi bagi pemerintah agar intisari solusi dari permasalahan ini yaitu cita-cita menciptakan masyarakat maritim yang dapat tumbuh beradaptasi secara solider seiring dengan perubahan ketinggian permukaan air laut dapat terkabul.

[Penulis merupakan mahasiswa program studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan].

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.