Berbeda Itu Hak

Terkait pelanggaran terhadap profesi jurnalis, kita berhadapan dengan sekian banyak kasus, yang hingga kini belum terselesaikan. Khusus pembunuhan terhadap jurnalis ada delapan kasus yang mencolok, yaitu: Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Demikian pula kalau kita menilik secara khas pengalaman para jurnalis yang mengalami kesulitan tatkala membuat permohonan informasi publik kepada berbagai badan publik. Badan publik masih memegang pakem bahwa informasi adalah tergolong rahasia. Padahal hak jurnalis, sebagai penyambung aspirasi publik, menyandarkan usaha-usaha itu pada UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Badan publik itu masih merasa ragu, apakah informasi itu layak dikonsumsi publik, dengan menayangkanya di website. Masih ada ketakutan, bahwa membuka informasi tertentu, dapat memunculkan konsekuensi hukum tertentu. Hingga kini UU KIP itu seperti ada dan tiada, ia tampak berlaku, namun terus diabaikan oleh badan publik.

Menyoal kebebasan pers dan kebebasan berekspresi kian tidak mudah dan cenderung kompleks, terlebih-lebih di era media digital sekarang ini, lalu lintas informasi kian cepat, padat, sekaligus bias. Di masa depan kita menghadapi tantangan kebebasan pers yang lebih beragam, khususnya soal hak cipta informasi, teknologi distribusi informasi, ekonomi politik media. Semua itu terangkum pada satu parameter: seberapa bermutukah pendidikan literasi media kita kepada warga? Oleh sebab itu pula, di masa depan, media wajib, secara berkelanjutan mengedukasi pasar konsumen soal hak-hak mereka sebagai pembaca, pemirsa, dan pendengar, bukan sekadar “jualan”.

Maka, kita mengingatkan diri kita kembali, kemerdekaan pers pada hakikatnya bukanlah hak eksklusif komunitas pers. Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional yang berakar kepada jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi. Setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis pada prinsipnya bukan menghalangi kerja jurnalis untuk memperoleh berita, tetapi itu pada pokoknya melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dari media. Anak negeri ini di masa depan perlu mewarisi kearifan tinggi dalam memandang perbedaan, menerima kenyataan sosial, sebagai sebuah peluang, bukan entitas belang yang patut dipermasalahkan.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.