Dalil Sejarah Demi Hak Atas Tanah

Pancang cor bertulis PAG (Pakualaman Ground) di halaman Kantor Kalurahan (Desa) Karangwuni. (Foto Soetana Monang Hasibuan).

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya.

YOGYAKARTA, KabarMedan.com | Tumpukan patok cor bertulis PAG (Pakualaman Ground) tergeletak di halaman Kantor Kalurahan (Desa) Karangwungi, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, 25 Mei 2021. Patok dengan panjang sekitar 50 sentimeter itu akan ditancapkan di bidang-bidang tanah Kabupaten Kulon Progo. Ini artinya, tanah tersebut milik Kadipaten Pakualaman (PA).

Eka Prasetya, Jagabaya (Kasie Pemerintahan) Kalurahan Pleret, Panjatan, Kulonprogo, bercerita alur proses pendataan dan penanaman patok PAG di desanya. Bidang tanah yang didata itu adalah bidang tanah yang belum bersertifikat, dan kini Kadipaten Pakualaman tengah menjalankan proses penyertifikatan hak milik atas bidang tanah.

“Kabupaten minta data ke kalurahan. Ditanya, didaftarkan berapa bidang? Tahun ini mengajukan berapa bidang? Seperti itu. Tanah PA sesuai data [di desa kami ada] 17 bidang [tanah],” tutur Eka Prasetya saat ditemui, Selasa (13/4/2021).

Bidang-bidang tanah yang diklaim milik PA sudah dimanfaatkan warga untuk beragam keperluan, seperti menjadi tanah makam, masjid, tempat pelayanan kesehatan dan sekolah, tanah kas desa, ataupun kantor pemerintahan. Sebagian bidang tanah lainnya sudah menjadi lahan pertanian yang dikelola oleh warga, beberapa bahkan telah memiliki alas hak Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama warga.

Tak heran jika proses klaim PAG itu memicu protes. Salah satu protes, saat Pemerintah Kalurahan Pleret mendata bidang tanah seluas 1.000 meter persegi sebagai PAG, lantas memasang patok PAG di sana. Ternyata, tanah 1.000 meter persegi tersebut bagian dari bidang tanah bersertifikat SHM seluas 2.000 meter.

SHM itu dimiliki keluarga mantan Gubernur Jawa Tengah almarhum Muhammad Ismail (periode 1983-1993), diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 2002. “Ahli waris putranya Pak Ismail, melihat patok (PAG). Akhirnya disampaikan kalau (tanah yang dipatok) sudah SHM,” tutur Eka.

Pemerintah Kalurahan Pleret mengajukan pembatalan pendaftaran penyertifikatan tanah untuk PAG tersebut. Namun, permohonan pembatalan itu belum juga dijawab Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo.

Eka dan perangkat Pemerintah Kalurahan Pleret juga menghindari pendataan tanah PAG di kawasan pesisir, karena kebanyakan bidang tanah di sana sudah menjadi lahan pertanian para petani PPLP KP. Lahan berpasir hitam yang dulunya dianggap ‘gurun’ pasir tandus dan gersang itu, sudah terlanjur menjelma jadi kebun hortikultura dan tambak yang dikelola warga.

Hal ini dilakukan Pemerintah Kalurahan Pleret demi menghindari konfrontasi dengan petani lahan pasir, khususnya para aktivis PPLP KP.

“Untuk (tanah PA bagian) selatan, lahan pasir. Kebetulan warga kami ada paguyuban (PPLP KP). Ketika membicarakan tanah PA, responsnya sangat kurang,” tutur Eka.

Pemerintah Kalurahan Bugel, Panjatan, Kulonprogo, juga mendapat PR untuk mendata tanah PAG, lalu menanam patok PAG di wilayahnya. Sembari membentangkan peta desa di atas meja kerjanya, Tri Sujoko-Jabagaya Kalurahan Bugel, menjelaskan, bidang-bidang tanah PAG di peta desa itu.

“Itu sudah ada datanya. Kelihatan kok tanah PA itu,” kata Sujoko dengan menunjuk kode PA di peta desa.

Kalurahan Bugel memilih berhati-hati melakukan pendaftaran dan penyertifikatan tanah PAG di desanya. Sujoko menyatakan, berkaca dari pengalaman Pemerintah Kalurahan Pleret yang mendapatkan pententangan dari warga.

“Masih dipertimbangkan. Desa Pleret aja mendaftarkan kuburan (tanah PA) jadi ramai,” tutur Joko.

UU Keistimewaan

Konflik lahan antara petani PPLP KP dengan PT JMI memasuki babak baru sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY). Undang-undang baru itu menjadi dasar lahirnya Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta tentang tanah Kasultanan dan Kadipaten, yang kini dijadikan dasar pendataan dan pemasangan patok PAG maupun SG di DIY.

Klaim Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman atas tanah-tanah berstatus SG dan PAG didasarkan hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Kala itu, melalui Rijksblad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918. Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan SG dan PAG sebagai “tanah milik” dua swapraja yang ada di tengah Pulau Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918 menyatakan “Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagunganne Kraton ingsun Ngayogyakarta. Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918 pun punya isi yang serupa. Kedua Rijksblad itu menyatakan bahwa semua bidang tanah yang belum/tidak bersertifikat hak Eigendom atau hak milik menjadi milik Kasultanan Ngayogyakarta atau Kadipaten Pakualaman. Aturan itu diperkuat dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 23 tahun 1925 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 25 Tahun 1925.

Peneliti agraria Kus Antoro menyatakan, penggunaan Rijksblad sebagai dasar untuk mengatur pertanahan di DIY bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Diktum IV UU itu menyebutkan hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya UU tersebut dihapus dan beralih kepada negara. Alhasil, SG dan PAG semestinya dihapus dan menjadi tanah milik negara.

Pada 9 Mei 1984, Presiden RI saat itu, Soeharto menetapkan Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY, disusul Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 soal pemberlakuan sepenuhnya UU Pokok Agraria di DIY.

Paku Alam VIII selaku Wakil Gubernur DIY pada 22 September 1984 telah menandatangani Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY. Perda yang diundangkan pada 24 September 1984 itu menegaskan hapusnya seluruh klaim Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman atas tanah berstatus SG dan PAG di DIY.

Penjelasan Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984 bahkan merinci perundang-undangan daerah yang dinyatakan tidak berlaku. Di antaranya, Rijksblad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 18 Tahun 1918, Rijksblad Kasultanan Nomor 11 tahun 1928 jo Nomor 2 Tahun 1931, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 13 Tahun 1928 jo Nomor 1 Tahun 1931, Rijksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925, dan Rijkasblad Pakualaman Nomor 25 Tahun 1925.

“Jadi, sudah terang bahwa semua klaim yang didasarkan kepada Rijksblaad Kasultanan atau Rijksblad Pakualaman sudah tidak berlaku. Aturan itu sudah dinyatakan tidak berlaku sejak 1984,” ujar Kus.

Akan tetapi, terbitnya UU Keistimewaan seperti membalik waktu. UU Keistimewaan menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Warisan Budaya yang berwenang mengatur lima hal di DIY, yakni kelembagaan, pertanahan, tata ruang, kebudayaan, dan pengisian jabatan.

“UU Keistimewaan menjadi alasan utama perubahan struktur penguasaan tanah di DIY. Aturan Rijksblad yang telah dihapus diwariskan semangatnya dan kembali dipakai sebagai landasan untuk mengklaim tanah-tanah swapraja yang dulunya sudah menjadi tanah Negara,” tukas Kus Antoro.

Kesultanan Ngayogyakarta mendata semua tanah SG di DIY, sementara Kadipaten Pakualaman pun kembali mendata PAG mereka yang sebagian besar ada di wilayah Kabupaten Kulonprogo.

Dokumen yang diperoleh Tim Kolaborasi Liputan Agraria dari Dinas Pertanahan Kulonprogo merinci PAG yang terdaftar sejak 2017. Klaim PAG itu antara lain di Karangwuni ada 6 bidang dengan luas 167.820 meter persegi dan Karangsewu memiliki 40 bidang seluas 34.355 meter persegi. Di Pleret 12 bidang dan Bugel 1 bidang, meski belum terdata luasannya. Dari daftar ini, sedikitnya 59 bidang dan lebih dari 200 ribu meter persegi atau 20 hektar PAG telah terdaftar.

Pati Paniradya Kaistimewan Yogyakarta, Aris Eko Nugroho menyebutkan, tanah milik Keraton Yogyakarta dan Pakualaman yang akan disertifikasi berjumlah 14.044 bidang. Terdiri dari tanah Sultan Ground 13.688 bidang tanah, dan tanah PAG 356 bidang tanah.

Menurut Aris, ke 356 bidang tanah PA kebanyakan berada di wilayah Kabupaten Kulonprogo, tersebar di Kecamatan Wates, Galur, Panjatan, dan Temon. Di tahun 2020, tanah Kasultanan Yogyakarta dan dan Pakualaman yang sudah disertifikat 12.287 bidang.

Pembiayaan penyertifikatan tanah milik Kasultanan Yogtakarta dan Kadipaten Pakualaman bersumber dari Dana Keistimewaan (Danais) Yogyakarta. “Tahun sekarang (2021) Rp25 miliar,” tutur Aris, Senin (26/4/2021).

Paniradya Kaistimewan Yogyakarta merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 7 menjelaskan, tugas Paniradya Kaistimewan membantu Gubernur dalam penyusunan kebijakan urusan keistimewaan dan pengoordinasian administratif urusan keistimewaan.

Pihak Pakualaman menyatakan total bidang PAG di Kulonprogo mencapai 736 bidang. Dari jumlah itu, 156 bidang sudah mengantongi sertifikat hak milik (SHM).

Rincian dan sebaran tanah PAG dan Paku Alam pribadi disebut dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2065 K/Pdt/2017. Selain 22 ribu meter persegi di Kota Yogyakarta, sekitar 6.536.196 meter persegi atau berkisar 653,61 hektare lahan diklaim sebagai PAG di Kulonprogo.

Jumlah itu meliputi 2,2 juta meter persegi di Kecamatan Wates (mayoritas di Desa Karangwuni); 1,8 juta meter persegi di Kecamatan Temon; 1,5 juta meter persegi di Kecamatan Galur (mayoritas di Desa Banaran atau Trisik), dan 818 ribu meter persegi di Kecamatan Panjatan (separuhnya berada di Desa Pleret).

Pengageng Urusan Pambudayan Puro Pakualaman, KPH Kusumo Parastho menjelaskan wilayah kekuasaan Pakualam diperoleh setelah Pangeran Notokusumo, yang riwayatnya disebut penuh penderitaan, diangkat dengan gelar Paku Alam pada 22 Juni 1812.

“Baru 17  Maret 1813 dapat wilayah (tanah) di Kulonprogo yang (sekarang) dipakai Bandara (YIA), pelabuhan (Tanjung Adikatrto), dan pabrik (PT JMI). Itu dulu rawa-rawa,” ungkap Parastho saat diwawancarai di Puro Paku Alam, Yogyakarta, Rabu (21/4/2021).

Parastho mengemukakan, karena alasan ekonomi tanah Kadipaten di Kulonprogo tak terurus. “Karena kita kecil gak punya duit, gak open. Baru PA IX, PA X diopeni (tanah PAG) sampai sekarang. Saya kan dulu tim dari PA IX, mengoyak-oyak tanah (di Kulonprogo) itu,” tutur Parastho.

Dipinjam pakai JMI

Aktivis PPLP KP memasang spanduk di tepi Jalan Daendels, Kulonprogo. (Foto Soetana Monang Hasibuan).

Koordinator Lapangan PPLP KP, Widodo menjelaskan kerasnya penolakan para petani lahan pasir terhadap pendataan dan pemasangan patok PAG di Kulonprogo. Bagi Widodo dan para petani lainnya, sejak awal klaim PAG itu merupakan kepentingan JMI untuk mengosongkan area yang ditera dalam Kontrak Karya PT JMI.

Logika para aktivis PPLP KP sederhana saja, dari 2.977 hektar area yang ditera Kontrak Karya JMI sebagai wilayah tambang pasir besi, luasan 1.263 hektar di antaranya diklaim sebagai PAG. Para petani itu juga tahu, di balik PT JMI itu, ada PT JMM yang sahamnya dikuasai bangsawan Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (diakses 7 September 2021) menunjukkan 210 dari total 300 lembar saham PT JMI dikuasai Indo Mines Ltd, sebuah perusahaan tambang asal Australia yang kini mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group. Sejumlah 90 lembar saham lain JMI, setara 30 persen, dimiliki oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM), sebuah perusahaan tambang lokal di DIY.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (diakses 5 Maret 2021) merinci siapa saja pemegang saham PT JMM yang jumlah mencapai 300 lembar. Sejumlah 90 dari total 300 lembar saham PT JMM dikuasai oleh PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X,  GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham PT JMM. Sejumlah 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki oleh kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham PT JMM, dimilik oleh Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Tak heran jika desa-desa yang warganya menolak rencana tambang JMI cenderung resisten menolak upaya pendataan dan pemasangan patok PAG. Sebaliknya, di desa yang warganya relatif setuju dengan rencana tambang JMI, pendataan dan pemasangan patok PAG berjalan mulus.

Proses sertifikasi PAG di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates misalnya. Dukuh Karangwuni, Sumarni menuturkan, pendaftaran PAG di Desa Karangwuni sudah dimulai sejak 2016, lewat program sertifikasi tanah dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo. “Seperti makam, sudah disertifikatkan dari tahun 2016. Makam-makam di sini sudah diajukan sertifikat, itu tanah PAG,” kata Sumarni yang ditemui di rumahnya, Selasa (25/5/2021).

Panitikismo (lembaga membidani tanah) Kadipaten Pakualaman, Koentjoroadi Tri Hatmono menyatakan, tanah 54 hektar di Desa Karangwuni, telah disertifikatkan atas nama Kadipaten Pakualaman. Kini, lahan tersebut dipinjam-pakaikan ke PT JMI.

“Sementara yang paling luas, sertifikat yang 54 hektar yang di JMI,” ujar Koentjoroadi Tri, Jumat (30/4/ 2021), di Kantor Panitikismo Pakualaman.

Pengageng Urusan Pambudayan Pura Pakualaman, KPH Kusumo Parastho juga menyatakan Kadipaten Pakualaman akan mendapatkan bagi hasil dari penambangan tambang pasir besi.

“Tanahnya dikelola, dikontrak. Kalau sudah selesai penambangannya dikembalikan,” katanya.

Di luar urusan tambang pun klaim PAG di Kulonprogo sudah menghasilkan banyak uang bagi Puro Pakualaman. Dalam kasus ganti rugi tanah untuk pembangunan Bandar Udara Yogyakarta International Airport di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo. Kadipaten Pakualaman mendapatkan ganti rugi Rp701,5 milar atas tanah PAG seluas 160 hektar dari PT Angkasa Pura I.

Pihak Puro Pakualaman, KRT Projo Anggono mengungkapkan, kasus ganti rugi bandara, meliputi tanaman dan tanah. “Kalau (ganti rugi) tanah tetap ke PA, dan kita tetap kasih tali asih ke petani. Ya semua (tanahnya) di ladang petani,” kata Projo, Rabu (21/4/2021).

Tak heran jika KPH Kusumo Parastho menuturkan ganti rugi yang diterima Kadipaten Pakualaman dari bandara semakin memperbaiki perekonomian Puro Pakualaman.

“Sudah membaik, sudah rada klimis karena (ganti rugi dari) bandara ne payu. Kan paksa dijual,” ujar Parastho.

Tulisan ini merupakan bagian keempat dari lima tulisan hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), Arif Koes Hernawan (Gatra.com), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.