PPLP KP Tetap Lantang Melawan Tambang

Petani PPLP KP menggelar doa bersama rangkaian peringatan ke-15 Tahun PPLP KP. (Foto Soetana Monang Hasibuan).

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya.

YOGYAKARTA, KabarMedan.com | Ba’da Isya, Rabu (31/3/2021), rumah Marwoto, di Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo, ramai oleh tamu bersarung dan berbaju koko. Widodo dan Suparno, petani yang juga aktivis PPLP KP, menyambut tamu di mulut halaman rumah Marwoto.

Para tamu didominasi lelaki paruh baya dari desa tetangga itu duduk meriung beratap tenda yang sedari siang dibentangkan. Di sekeliling mereka, spanduk-spanduk dengan narasi menentang dan menolak tambang pasir besi terpajang.

Malam itu, mereka menggelar syukuran ke-15 tahun PPLP KP, wadah yang dibentuk petani pesisir Kulonprogo untuk menentang kehadiran perusahaan ekstratif, PT JMI. Mereka tampak khusyuk bermunajat agar perusahaan tambang batal mengeksploitasi pasir besi pesisir Kulonprogo yang mengancam ruang penghidupan mereka selama ini.

Usai doa bersama, Ketua PPLP-KP, Supriyadi menegaskan lagi komitmennya bersama para petani pesisir Kulonprogo. “PPLP KP tetap komit sampai kapan pun, menentang tambang pasir besi,” tegas Supriyadi malam itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli yang turut hadir dalam doa bersama di rumah Marwoto ikut bicara. Yogi menyebut pandemi Covid-19 membuktikan pentingnya peran petani sebagai penghasil pangan dalam kondisi krusial.

“Apakah pandemi ini bisa makan bahan tambang, apakah bisa makan besi? Kan mboten, toh. Kalau krisis, yang dibutuhkan pertama kali apa selain kesehatan? Kebutuhan atas pangan,” kata Yogi.

Bagi pengacara yang kerap memakai topi flat cap, ada tiga pelajaran penting yang diambil dari perjuangan PPLP KP selama 15 tahun. Yaitu konsistensi dalam menjaga alam, merawat lingkungan, dan menghargai hasil bumi yang diproduksi oleh alam dan petani.

“Harapannya, sama seperti bapak-ibu semuanya, tambangnya harus pergi dari sini, dan panjenengan harus kompak, harus solid, harus saling menyemangatkan. Selama tambang belum pergi dari sini, bapak ibu ampun kesel, ampun capek untuk terus berjuang sampai benar-benar tambangnya pergi dari sini, sampai perusahaan tambang itu gak ada lagi di sini. Jangan pernah lelah, jangan pernah takut, sepanjang panjenengan melakukan hal yang benar,” tegas Yogi memungkasi hajatan yang berakhir pada pukul 22.12 WIB.

Serba tanggung, serba tak pasti 

Setelah 15 tahun berjuang, Supriyadi dan para petani lahan pasir lainnya belum juga menemukan titik terang dan kepastian bahwa PT JMI batal menambang lahan mereka. Bahkan ketika ada sejumlah proyek nasional dibangun di pesisir Kulonprogo—termasuk proyek Bandara Yogyakarta International Airport—tetap santer terdengar kabar bahwa JMI akan melanjutkan rencana tambang mereka.

Wakil Bupati Kulonprogo, Fajar Gegana juga mengaku tak tahu apakah JMI nantinya benar-benar menambang pasir pesisir Kulonprogo, atau tak jadi. “Kontrak karya ini betul-betul mau dijalankan, apa hanya semacam prototype project yang notabenenya tidak selesai-selesai? Kami melihat ternyata mengolah pasir besi ini tidak semudah mengolah biji besi,” sebut Fajar.

Fajar mengakui lahan yang masuk konsesi kontrak karya PT JMI merupakan lahan pertanian produktif untuk masyarakat. Lahan pesisir bisa untuk bertani, membuat tambak, juga wisata. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo tak bisa membangun infrastruktur pendukung kegiatan warga di pesisir itu, gara-gara status area itu sebagai lahan Kontak Karya PT JMI. “Kami mau menganggarkan (APBD) di situ. Secara pertanggungjawaban, kita gak berani karena (lahan) ini masuk dalam kontrak karya,” ujarnya.

Repotnya, para pihak yang terafiliasi dengan PT JMI juga tak punya informasi yang pasti soal rencana tambang itu. Saat ditemui di acara buka puasa di Prambanan, Rabu (5/4/2021), Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi menyatakan telah keluar dari kepengurusan JMI. Dia pun mengaku tidak mengetahui perkembangan perusahaan tambang pasir besi itu. Padahal, GKR Mangkubumi adalah salah satu pemegang saham PT Jogja Magasa Mining, dan perusahaan itu adalah pemegang saham PT JMI.

Mbuh, ora ngerti. Aku gak tahu. Aku gak mengikuti. Dan aku sudah dua tahun gak ke situ (JMI). Wes metu (sudah keluar JMI) tahun yang lalu,” kata putri sulung Raja Keraton Yogyakarta itu.

Dia menjawab disertai tawa, ihwal alasannya keluar dari PT JMI. “Ora maju-maju, aku mundur,” katanya.

Presiden Direktur PT JMI, Bobi Sandi tak bersedia diwawancarai dengan alasan kesibukan. “Saya lagi sibuk sekali. Posisi saya juga di Jakarta terus WFH karena kondisi Covid,” kata Bobi melalui Whatsapp pada Senin (14/6/2021).

Bobi juga tidak memberikan jawaban tegas, ihwal rencana operasional JMI akan dimulai tahun 2022. “Kita lihat saja nanti,” tulis Bobi.

Mantan Ketua Komisi Penilai Amdal Kulonprogo, Budi Wibowo mengungkapkan, tahun 2018 Kementerian ESDM sudah mengeluarkan izin operasional PT JMI hingga 30 tahun. “Sekarang JMI review Amdal, (menyusun) DED (Detail Engineering Design),” tutur Budi, Senin (14/6/2021).

Bekas Sekda Kulonprogo ini mengaku mengetahui perkembangan JMI dari Bobi Sandi. “Saya komunikasi dengan Pak Bobi Sandi,” katanya. Menurut Budi, rencananya di tahun 2022 PT JMI akan beroperasi. “Mulai 2022 beroperasi. Artinya tahun ini (transmisi alat), insfrastruktur sudah ada, tapi ada persoalan, cerobong. Kita akan memantaunya,” imbuh Budi.

Dikepung proyek strategis

Dari waktu ke waktu, penataan ruang di pesisir Kulonprogo sejatinya semakin tumpang tindih. Meskipun setelah Kontrak Karya JMI terbit pada 2008 sudah ada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) baru yang mengokomodir rencana penambangan PT JMI, nyatanya pesisir Kulonprogo justru menjadi lokasi sejumlah proyek strategis nasional di sana.

Pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport di Kapanewon (Kecamatan) Wates misalnya, jelas-jelas bertabrakan dengan rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo. Lokasi tempat pembangunan pabrik peleburan PT JMI akhirnya harus bergeser 3 km, gara-gara cerobong asap peleburan itu bisa membahayakan penerbangan di kawasan Bandara Yogyakarta International Airport.

Di area konsesi PT JMI juga tengah dilakukan proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Dirintis sejak 2004, proyek JJLS melintang di selatan Jawa di lima provinsi dari Banten hingga Jawa Timur, termasuk 116 kilometer di DIY. Di DIY, JJLS terentang 23,15 kilometer di Kulonprogo, 16,58 kilometer di Bantul, dan 76,34 kilometer di Gunungkidul.

Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Program Prioritas DIY, Rani Syamsinarsi, menyatakan tak ada kendala berarti dalam proyek JJLS di DIY. Kini perkembangannya mencapai 70 persen. Hingga kini, jalur sepanjang total 116 kilometer itu lahannya telah bebas seluruhnya untuk 2 lajur, sedangkan untuk 4 lajur 74 kilometer. Konstruksi fisik telah terbangun hingga 63,8 kilometer.

Untuk tahun anggaran 2021, Pemda DIY membangun 4 jalan dan sebuah jembatan yang jadi bagian JJLS. Nilai totalnya mencapai Rp257 miliar. “Tahun ini, pengadaan lahan untuk segmen Garongan – Congot di Kulonprogo hampir 30 ribu meter persegi,” kata Rani saat ditemui, Senin 16 Juni 2021.

Ada deretan Proyek Strategis Nasional lain di pesisir Kulonprogo, seperti pengembangan pelabuhan Tanjung Adikarto, proyek pengendalian banjir kawasan Bandara NYIA, pembangunan ruas jalan tol Solo-Jogja-Kulonprogo dan Jalan Temon – Borobudur.

Pengadaan tanah bagi proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di pesisir Kulonprogo menjadi sengketa baru di sana. Lagi-lagi, sengketa itu melibatkan para petani di sana, termasuk Koordinator Lapangan PPLP KP, Widodo. Ia menolak besaran nilai ganti rugi dari JJLS atas tanah dan bangunan rumah permanen yang ditempati bersama keluarganya.

Rumah itu tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal saja. Bangunan paling depan persis di tepi Jalan Daendels, dijadikan tempat usaha kelontong yang dikelola istrinya. Sedangkan teras rumah jadi tempat usaha adik kandungnya, pengepul hasil pertanian warga khususnya petani lahan pasir. Ada timbangan duduk besar, karung-karung goni berisi cabai merah, kacang panjang dan jenis sayuran lainnya di sana.

Menurut Widodo, nilai ganti rugi yang diberikan atas tanah dan bangunan rumah yang ia tempati, sertifikatnya masih atas nama ayahnya, Sumarjo, tidak sepadan dengan dampak kerugian yang dirasakan keluarganya. Selain itu, Widodo turut mempersoalkan transparansi proses ganti rugi yang dilakukan tim appraisal JJLS.

Widodo memperlihatkan dua lembar kertas berkop: Nilai Penggantian Wajar Pengadaan Lahan Untuk Jalur Lintas Selatan Ruas Jalan Garongan-Congot, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Wates Dan Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo. Meski objek yang diganti rugi sama, hanya selisih satu meter persegi, namun nilai ganri rugi berbeda, amat jomplang.

Di kertas itu dijelaskan tujuh rincian objek dan nilai ganti rugi. Namun, di lembar milik Sumarjo (ayah Widodo), hanya diisi empat rincian saja. Kertas nilai ganti rugi milik Sumarjo, dinyatakan luas tanah terkena JJLS 55 meter persegi, dengan rincian:  indikasi nilai pasar tanah Rp117.095.000; total nilai pasar  Rp117.095.000; total nilai non fisik  Rp10.688.000; nilai penggantian wajar Rp127.783.000.

Perhitungan itu jauh berbeda dari nilai ganti rugi milik tetangga Widodo. Luas objek yang diganti rugi JJLS seluas 56 meter persegi. Perincian nilai ganti rugi: indikasi nilai pasar tanah Rp118.608.000; nilai pasar bangunan Rp643.727.000; nilai pasar sarana pelengkap lainnya Rp7.800.000; nilai pasar tanaman Rp89.000; total nilai pasar  Rp770.224.000; total nilai non fisik  Rp170.665.000; nilai penggantian wajar  Rp940.889.000.

Sengketa baru

Beranda rumah Widodo dimanfaatkan sebagai tempat pelelangan hasil pertanian di lahan pasir Kulonprogo. (Foto Soetana Monang Hasibuan).

Kejanggalan ini tak dapat diterima Widodo. Melalui kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Wates pada 1 April 2021. “Pak Sumarjo ini cuma dapat 127 juta. Itu gak masuk akal. Pada hal jelas-jelas ada bangunan (rumah), punya usaha pelelangan hasil bumi sama toko kelontong,” tutur Julian sebelum mengikuti sidang perdana di PN Wates, Selasa (13/4/2021).

Adapun pihak yang digugat, tergugat I Kepala Kantor BPN Yogyakarta/Ketua Tim Pelaksana Pengadaan Tanah Proyek Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di Kabupaten Kulonprogo. Tergugat II Kepala Dinas PUPR dan ESDM Provinsi Yogyakarta/Instansi yang memerlukan tanah untuk Pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di Kabupaten Kulonprogo.

“Gugatanku ditolak. Aku kasasi,” ucap Widodo, Selasa (25/5/2021).

Widodo tak sendiri. Gugatan soal ganti rugi JJLS juga dilayangkan Dwi Windu Pancayati. Berdasarkan SIPP (sistem informasi penelusuran perkara) PN Wates, para pihak tergugat yakni tergugat I, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral DIY. Tergugat II, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DIY, dan tergugat III, Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan Cq Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan Kantor Cabang Yogyakarta.

Umumnya, warga Kulonprogo termasuk petani PPLP KP tak menolak tanahnya diganti rugi untuk pembangunan JJLS. Tapi, transparansi proses ganti rugi yang dilakukan JJLS menuai tanda tanya warga terdampak.

Ketua RT di Dusun III, Desa Pleret, Musodik mencontohkan, tanah perkarangan di rukun tangga lingkungannya termasuk lahan milik keluarganya seluas 1.000 meter persegi terkena JJLS, harga ganti ruginya sama dengan harga lahan tanah sawah. Tak ada penjelasan yang diterima warga soal itu.

“Warga diundang ke balai desa. Tahu-tahu dikasih harga (total ganti rugi) sekian. Cuman (di) kertas kliwiran,” kata Musodik.

Apa yang dialami Musodik diamini Dukuh Karangwuni, Sumarni. “Kami kan diundang, datang terus dikasih nominal. Kalau mau protes di waktu itu. Setelah itu gak bisa,” kata Sumarni.

Sumarni mengakui dan mengalami perbedaan nilai ganti rugi tanah dari JJLS. “Itu beda-beda, antara utara dan selatan (Jalan Daendels), gak sama. Misal punya saya, beda-beda. Kemarin gak dijelasin sama tim appraisal,” tuturnya.

Penerima ganti rugi JJLS, Marwoto warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, mendapatkan nilai ganti rugi di luar ekspektasinya. Lahan seluas 454 meter persegi dengan 20 pohon kelapa milik Marwoto yang terletak di selatan tikungan S, Jalan Daendels itu mendapat ganti rugi senilai Rp 967.537.000.

Dia mengambil pelajaran sebagai warga terdampak ketika membahas ganti rugi dengan pelaksana proyek JJLS. “Harusnya kompak. Sebelum ada pertemuan (dengan tim pengadaan tanah), harusnya kami mengadakan pertemuan, menerima atau tidak menerima harga segitu,” ucap Marwoto.

Tanah PAG yang terdampak proyek JJLS juga mendapat ganti rugi. Di Desa Karangwuni, tanah PAG yang digunakan untuk Kantor Kalurahan dan SD Negeri Karangwuni, turut terkena JJLS. Menurut Pj Lurah Karangwuni, Dwi Purwanta, ganti rugi atas tanah Kantor Lurah dan SD diterima Pakualaman, sedangkan ganti rugi atas kedua bangunan diterima pihak desa dan sekolah.

“Perwakilan Pakualaman yang menerima langsung (ganti rugi) saat pemberian secara simbolis (buku rekening), bulan Maret,” kata Dwi Purwanta.

Dukuh Karangwuni, Sumarni menambahkan nilai ganti rugi tanah PAG lebih tinggi dari nilai ganti rugi bangunan yang diterima oleh desa. “Bangunan (kantor desa) 1 miliar berapa, lupa.  Lebih tinggi (nilai ganti rugi) tanah,” ungkap Sumarni.

Staf Bina Marga Dinas PUPR DIY M. Yunus Albar mengatakan pembebasan tanah di Kulonprogo untuk proyek JJLS belum selesai. “Masih ada yang berproses (untuk) kebutuhan empat lajur dari ujung timur dan ujung barat di Kulonprogo,” kata Yunus dikonfirmasi di kantornya, Kamis (8/4/2021).

Sejak 2015, anggaran pembebasan tanah untuk JJLS di Yogyakarta bersumber dari Dana Keistimewaan (Danais), tiap tahun dianggarkan. Tahun 2021 anggarannya Rp90 miliar.

Proses ganti rugi JJLS sudah bergulir sejak 2017 di Desa Karangwuni hingga 2021 tanah terdampak JJLS jumlahnya 497 bidang.

Eka Prasetya Jagabaya (Kasie Pemerintahan Desa) Pleret menyebutkan total bidang tanah yang tergusur JJLS di tahun 2020 ada 110 bidang, data terbaru atau tahap kedua tahun 2021 sebanyak 29 bidang. “29 bidang itu, 10 bidang tanah dan rumah,” kata Eko.

Sedangkan di Desa Bugel, bidang tanah yang terkena JJLS kebanyakan tanah kas desa serta satu bidang tanah warga. Tanah kas desa, kata Tri Sujoko Jagabaya Bugel, satu bidang berupa sawah dengan luas 4 hektare. Ganti rugi atas tanah itu sudah diterima pihak desa. “Sudah kami terima sekitar 60 miliar,” kata Joko.

Berharap tambang batal

Kolam bekas pengerukan pasir di pesisir Kulonprogo. (Foto Soetana Monang Hasibuan).

Resistensi warga, termasuk para petani aktivis PPLP KP, terhadap pengadaan tanah JJLS cenderung rendah. Warga bisa menerima bahwa sebagian tanah mereka dibebaskan untuk melebarkan jalan yang nantinya akan digunakan untuk umum.

Sebagian kecil warga bahkan berharap Proyek Strategis Nasional seperti JJLS akan mampu membatalkan Kontrak Karya JMI. Apalagi ada deretan Proyek Strategis Nasional lainnya di kawasan pesisir Kulonprogo.

Peneliti Greenpeace, Syahrul Fitra, menyebut kelindan proyek di pesisir Kulonprogo itu, baik JMI maupun JJLS, berdampak buruk bagi warga dan petani. “Kedudukan hukum KK itu mengikat secara hukum melebihi apapun. Karena KK itu hubungan privat, dianggap sebagai ‘UU’ kedua belah pihak,” tuturnya.

Karena itu,  kontrak karya ditentang dan JMI menjadi yang terakhir. “Kontrak karya itu menjanjikan publics goods (kepentingan umum) ke pihak privat dan negara tidak bisa mengendalikan,” tuturnya.

Ia pun mempertanyakan kontrak karya JMI di kawasan yang jadi proyek nasional JJLS karena bakal ada ganti rugi dari pemerintah jika proyek berubah. “Jadi memang proyek yang disengaja untuk dapat duit negara. Karena rencana jalan itu sudah ada,” ujarnya.

Bagi para petani PPLP KP, tak ada pilihan selain terus melawan rencana tambang JMI. “Bagi kami, prinsipnya adalah bertani atau mati,” ujar Widodo.

Tulisan ini merupakan bagian kelima dari lima tulisan hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), Arif Koes Hernawan (Gatra.com), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.