Fluktuasi Hingga Polarisasi Sosial Warnai Gerakan Digital 2016

JAKARTA, KabarMedan.com |  Sepanjang tahun 2016, gerakan digital yang diinisiasi netizen melalui platform Change.org diwarnai dengan adanya fluktuasi dan polarisasi sosial. Kemajuan sosial yang berhasil didorong melalui gerakan digital di tahun 2016, dinilai terkendala oleh munculnya patron-patron elite politik yang menguat jelang Pilkada 2017.

Demikian salah satu kesimpulan dari diskusi akhir tahun yang diadakan oleh Change.org Indonesia di kawasan Tebet, Jakarta beberapa waktu lalu. Diskusi tersebut menghadirkan narasumber Usman Hamid Co-founder Change.org Indonesia, Roby Muhamad, Sosiolog, Provetic, Alissa Wahid dari GUSDURian Tama S. Langkun Peneliti Indonesia Corruption Watch dan Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Sintas Indonesia.

Dalam paparannya, Usman Hamid memaparkan bahwa di tahun 2016 demokrasi digital berbentuk ekspresi pendapat dan partisipasi warga melalui Change.org mengalami pertumbuhan yang signifikan. Indikasinya dapat terlihat dari partisipasi warga pengguna Change.org yang meningkat dari 1,9 juta pengguna pada 2015, menjadi lebih dari 3,1 juta pengguna pada 2016.

Pertumbuhan pengguna yang besar itu berimplikasi pada menguatnya partisipasi warga dalam menyuarakan pendapat dan tuntutan hingga kemenangan petisi oleh pengguna. Misalnya kemenangan petisi “Tolak Obral Remisi untuk Koruptor”, petisi “Save Kusrin si Perakit TV”, “Tolak Pemblokiran Tumblr” dan petisi “Gloria Paskibraka 2016”.

“Meskipun ada sejumlah petisi yang berhasil menang, perubahan sosial yang dicapai oleh gerakan digital di tahun 2016 masih bersifat incremental atau perubahan yang bertahap. Artinya masih diperlukan perjuangan dan gerakan lanjutan agar perubahan yang dicapai bersifat fundamental,” kata Usman Hamid.

Ia juga mencatat, adanya petisi-petisi yang berhasil mendorong perubahan sosial, tetapi terkendala oleh kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung perubahan tersebut. “Contohnya petisi Rembang Melawan yang digagas oleh Melanie Subono tentang penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang yang dimenangkan di Mahkamah Agung, namun belum dieksekusi oleh Gubernur Jateng, atau petisi kantong plastik berbayar (#Pay4Plastic) yang berhasil mendorong uji coba nasional, namun tanpa kelanjutan setelah ujicoba selesai,” ujarnya.

Hal yang sama juga terjadi pada petisi-petisi asap dan kebakaran hutan. Meski awalnya berhasil, tuntutan warga terkait investigasi kasus kebakaran hutan dan lahan yang justru dihentikan dengan keluarnya surat SP3 dari kepolisian di Riau.

Gerakan digital juga alami maju mundur. Jika diakhir tahun 2015, suara masyarakat di media sosial begitu riuh terkait kasus #PapaMintaSaham, di akhir tahun 2016 ketika Setya Novanto kembali naik menjadi Ketua DPR, fenomena yang tampak justru sebaliknya. Suara netizen, baik yang mengkritisi maupun mendukung, hampir tak terdengar.

Menurut Roby Muhamad, Sosiolog yang juga pengamat media sosial, fenomena tersebut wajar karena gerakan di media sosial memang bersifat fluktuatif. “Kekuatan yang didorong oleh massa memang sifatnya fluktuatif, tidak konsisten. Gerakan yang tahun lalu ramai, bisa saja tahun ini sepi. Sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong atau driver yang menggerakkannya,” ujar Roby.

Ia berpendapat bahwa gerakan-gerakan perubahan yang tumbuh melalui melalui media sosial perlu dijaga agar tetap konsisten mendorong perubahan sosial yang fundamental, bukan hanya bergantung tren.

Alissa Wahid dari Komunitas GUSDURian menggaris bawahi semakin menguatnya dominasi politik oligarki sebagai salah satu tantangan dalam demokrasi di Indonesia, khususnya menjelang momentum politik seperti Pilkada 2017.

“Proses demokrasi di Indonesia masih didominasi oleh politik oligarki, politik kekuasaan oleh segelintir orang, oleh karena itu dibutuhkan saluran bagi masyarakat untuk ikut mengawal dan menyuarakan gerakan-gerakan sosial yang tumbuh dan berasal dari warga. Saya melihat Change.org sebagai salah satu terobosan dalam demokrasi digital, karena tanpa adanya kanal-kanal digital yang mewadahi suara warga, media sosial hanya akan menjadi kontes popularitas bagi patron-patron politik oligarki,” jelasnya.

Bukan hanya di ruang digital, gerakan demokrasi juga harus berjalan seiring di ruang nyata. Aksi di media sosial juga harus disertai dengan aksi tatap muka langsung lewat gerakan-gerakan offline, misalnya seperti aksi yang digalang ibu-ibu warga Pegunungan Kendeng dan aksi solidaritas Salim Kancil.

Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Sintas Indonesia, sebuah organisasi pendamping survivor atau penyintas kekerasan seksual, mengatakan gerakan-gerakan masyarakat sipil melalui media sosial juga semestinya jangan hanya berkutat pada aspek hukum, namun juga menampilkan aspek kemanusiaan.

“Aspek kemanusiaan harus muncul dalam narasi di media sosial, harus ada afeksi dan kepedulian yang dibangun. Kalau hanya bicara aspek hukum, masyarakat kurang terhubung, padahal dukungan masyarakat sangat dibutuhkan untuk keberhasilan gerakan perubahan,” kata Wulan inisiator kampanye #MulaiBicara untuk pemulihan penyintas kekerasan seksual.

Awal tahun lalu pasca tragedi perkosaan masal yang menimpa gadis remaja 14 tahun YY di Bengkulu, Linteras Sintas Indonesia, organisasi yang dipimpinnya, memulai petisi di laman Change.org. Petisi yang didukung lebih dari 83 ribu dukungan warga ini berhasil mendorong pemerintah dan DPR untuk menempatkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam daftar prioritas legislasi nasional. Petisi tersebut juga berada diperingkat lima teratas petisi terbanyak ditandatangani tahun ini.

Polarisasi sosial juga dinilai mewarnai gerakan digital tahun ini. Kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan memanasnya situasi politik jelang Pilkada DKI 2017 ditengarai menjadi pemicu meruncingnya pro kontra Ahok yang berujung pada polarisasi sosial.

Tahun ini Change.org mencatat 6 (enam) kategori terpopuler petisi-petisi yang paling banyak mendapat dukungan netizen. Petisi terkait “Polemik Ahok” baik petisi pro maupun kontra berada pada peringkat teratas dengan total dukungan melebihi 525 ribu tandatangan, diikuti oleh petisi dari kategori toleransi, HAM, hak konsumen, lingkungan dan keadilan pidana.

Petisi menuntut pembubaran Front Pembela Islam (FPI) juga menjadi isu yang paling sering muncul dengan jumlah 15 petisi (dengan dukungan diatas 5000 tandatangan). Adapun petisi Dukung Ahok (9 petisi) diurutan kedua dan Petisi Tolak Ahok (6 petisi) diurutan ketiga.

Adapun 3 petisi terpopuler dengan dukungan tandatangan terbanyak dicapai oleh (1) petisi “Cabut Nobel Perdamaian Aung San Su Kyi” (2) petisi “Jalankan Proses Hukum Buni Yani” dan (3) petisi “Dukung MUI Penjarakan Ahok”.

Usman Hamid Co-founder Change.org mengatakan bahwa petisi-petisi yang muncul di laman Change.org merupakan refleksi dari situasi yang terjadi di masyarakat. “Beragam perbedaan pandangan politik masyarakat tersalurkan dan terkelola dalam dialog dan saluran yang demokratis. Jangan hanya lihat jumlah tandatangannya, tapi lihat juga penjelasan atau narasi petisi maupun komentar pendukungnya. Kami percaya, hanya lewat dialog damai dan saling mendengarkan, kita dapat membangun pencerahan dan pemahaman publik atas sebuah masalah,” tambahnya.

“Pada akhirnya teknologi media sosial akan ditentukan oleh penggunanya. Kalau kita percaya gerakan digital itu adalah gerakan demokrasi yang mencerahkan dan dapat mendorong perubahan, maka acuannya adalah konstitusi, bukan tekanan massa atau popularisme. Kembalikan semuanya pada konstitusi. Jika tidak, maka gerakan anti-demokrasi yang memanfaatkan gerakan digital akan semakin kuat,” demikian Alissa Wahid. [KM-03]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.