
MEDAN, KabarMedan.com | Putusan majelis hakim dalam sidang perkara penistaan agama yang dituduhkan kepada Pimpinan Tareqat Samaniyah, Pengajian Ihya Ulumuddin Medan, DR Syekh Ahmad Arifin Al Haj di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (10/6/2015), terkesan mengabaikan fakta-fakta persidangan. Untuk itu, Syekh Ahmad Arifin Al Haj akan melakukan banding ke tingkat yang lebih tinggi.
“Berkas banding akan kita kirimkan kurang dari seminggu ke depan,” kata kuasa hukumnya Idris Wasahua, SH, MH, kepada wartawan di Komplek Pengajian Ihya Ulumiddin, Tareqat Samaniyah, Jl Karya Bakti, Medan.
Syekh Ahmad Arifin Al Haj divonis hukuman percobaan 1 tahun dan minimal 6 bulan setelah dinyatakan bersalah karena majelis hakim menyetujui pendapat MUI Sumut bahwa Nabi Adam AS diciptakan Allah tanpa perantara malaikat.
“Padahal ada ratusan atau bahkan ribuan pendapat ulama besar di dunia yang berpendapat sama dengan Buya Arifin. Sehingga, ini bukan masalah ushul (asal), tapi ini masalah furukiyah yang dapat diperdebatkan,” kata dua penasehat hukum dari Bantuan Hukum PB Nahdlatul Ulama, Muhammad Holid, SH dan Idris Wasahua, SH, MH.
Menurut kedua pengacara, fatwa MUI yang minim referensi tentang penciptaan Nabi Adam AS itupun malah diamini oleh majelis hakim PN Medan yang dipimpin oleh Indra Cahya, SH.
Dalam pembacaan amar putusan tersebut, majelis hakim memutuskan bahwa tuduhan mengutip zakat mal dari murid dan nikah mut’ah terhadap para muridnya sama sekali tidak terbukti.
“Yang anehnya lagi, untuk fatwa kedua dan ketiga MUI yang dituduhkan kepada Buya Arifin, yakni tentang zakat mal dan nikah mut’ah, majelis hakim dengan runtut dan baik sekali membuat uraiannya. Tapi untuk fatwa pertama tentang penciptaan Nabi Adam AS, majelis hakim tidak membacakan uraiannya. Kita jadi penasaran, bagaimana vonis bisa dibuat tanpa membacakan uraiannya. Jadi kita lihat saja nanti salinan putusannya,” ujar Holid.
Holid menjelaskan bagaimana fakta persidangan membongkar kebohongan saksi ahli yang berasal dari MUI Sumut. Kedua saksi memberikan tanggapan yang berbeda-beda. Lalu beda pula lagi dengan hasil rekaman kamera MUI Sumut saat bermuzakarah dengan Syekh Ahmad Arifin.
“Ini kita sayangkan bagaimana oknum-oknum MUI tidak bersikap jujur dalam persidangan. Saksi Ramlan Yusuf Rangkuti mengatakan begini, Herdiansyah mengatakan begini, tapi bukti rekaman mengatakan lain. Kalau kita mau bersikap jujur dan adil, mestinya kita berpegangan pada bukti sidang hasil rekaman,” tandas Idris.
Syekh Ahmad Arifin Al Haj dan para penasehat hukumnya memang merasa ganjil dengan keputusan hakim. Namun, ia berpendapat, bahwa resiko terbesar dari keputusan ini akan menyebabkan peristiwa serupa dapat terjadi bagi para ulama yang sependapat dengan Buya Arifin. Untuk itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) akan menjadikan masalah ini sebagai kajian khusus.
“Kita akan angkat secara khusus dalam Muktamar PB NU setelah lebaran mendatang. Kita berharap agar hal ini tak lagi terjadi ke depan. Karena ini menyangkut kerukunan umat beragama. Jadi himbauan kita ke depan, MUI Sumut harus punya banyak refrensi ke depannya bila hendak membuat fatwa. Dan majelis hakim juga harus membuat keputusan hukum berdasar fakta hukum, bukan rasa takut,” pungkas Idris. [KM-01]