Kisah Perjuangan Seorang Ibu Tunggal Melawan ASN, Pemerkosa 3 Anak Perempuannya

JAKARTA, KabarMedan.com | Kisah perjuangan seorang ibu tunggal dalam mencari keadilan melawan Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerkosa tiga anak perempuannya. ASN ini tak lain adalah mantan suaminya alias ayah kandung tiga anak perempuan tersebut.

Kisah tragis ini terjadi pada Lydia (bukan nama sebenarnya). Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, dimana semuanya masih di bawah 10 tahun.

Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri.

Laporan itu tertanda Oktober 2019, bulan yang sama saat Lydia mendapati salah satu anaknya mengeluhkan area kewanitaannya yang sakit.

Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan.

Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan.

Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya.

Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan.

Lydia menceritakan, meski sudah bercerai mantan suaminya masih terlibat pengasuhan bersama. Mantan suaminya bebas menjemput ketiga anaknya saat pulang sekolah serta memberi jajan atau mainan.

Situasi itu berjalan normal sampai Lydia menyadari kenyataan yang disembunyikan. Ketika ia membantu anaknya mandi, ia menemukan beberapa bekas luka lebam di paha anaknya.

Si anak beralasan, lebam-lebam itu karena jatuh saat bermain kejar-kejaran.

Lydia menyarankan agar mereka berhati-hati. Meski demikian, bukan saja luka lebam, perilaku anak-anaknya berubah drastis, lebih suka diam, sering memukul, malas makan sering pusing dan muntah.

Suatu malam di awal bulan Oktober 2019, saat Lydia mencuci piring, anak bungsunya berteriak bahwa kakaknya mengeluh sakit pada bagian vagina.

Lydia segera mendekati anak sulungnya, memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap pundaknya.

“Nak, apa dibilang adek tadi?” kata Lydia.

“Tidak ji, Mamak,” jawab si anak sulung.

Lydia membujuk dengan mengatakan, “Saya sayang sekali. Sayang sekali. Kalau ada masalah ceritakan sama Mamak. Saya jadi penolong dan pelindung ta. Masak sama Mamak tidak berani?”

“Bilang, Nak. Kalau anak ada sakit, Mamak tidak tahu. Sakitkah Nak?” tanya Lydia.

Si sulung terdiam lama. Kemudia ia menangis tanpa berurai air mata. Lydia kaget, panik. Si sulung dengan suara pelan seperti tercekik berkata, “Mamak, Ayah na anu pepe’ ku.”

Mamak, (ayah melakukan sesuatu pada vagina saya).

Lydia menangis, merebahkan badan pada sandaran sofa, “Jangan main-main, Nak. Jangan ki main-main.”

“Iye Mamak. Iye.” Lydia bertanya lagi kepada kedua anaknya, “Benarkah ini Nak?”

“Iya Mamak, saya juga dianu pantatku,” kata anak keduanya.

“Saya juga Mamak,” tambah anak bungsu.

Ia meraih ketiga anaknya, menangis bersama. Kepalanya seakan meledak, ingin berteriak. Ketika berusaha berdiri menuju kamar mandi untuk melepaskan tangis, ia terjatuh. Kakinya terasa kehilangan tulang.

Anak-anak membantunya beringsut. Ia mengesot menuju sofa. Ia meracau dan mulai sadar saat anak-anaknya menegur, “Kenapa ki, Mamak?”

Pada pekan kedua Oktober 2019, Lydia membawa ketiga anaknya. Lydia pergi ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur.

Di unit inilah, idealnya, seorang yang mengadukan kasus kekerasan bisa mendapatkan perlindungan.

Kepala Bidang Pusat Pelayanan, Firawati menerima Lydia di ruangan kecil bersekat.

Sementara ketiga anaknya berada di fasilitas permainan di unit itu. Lydia menceritakan kepada Firawati mengenai kronologi pengakuan anaknya mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandung sendiri.

Firawati mengaku mengenal dengan terduga pelaku karena “sesama aparatur sipil negara.”

Bukan pertama-tama memprioritaskan ruang aman bagi Lydia dan ketiga anaknya, Firawati malah menghubungi terduga pelaku, mengabarkan ada pengaduan atas dugaan kasus pencabulan, sehingga mantan suami Lydia itu datang ke kantor Pusat Pelayanan.

Firawati berdalih alasan mempertemukan terduga pelaku dengan ketiga anak untuk membuktikan apakah mereka trauma saat bertemu ayahnya.

Firawati juga berdalih tindakannya itu atas izin Lydia. “Kan sesama ASN, mau dikonfirmasi,” katanya.

“Tahu tidak? Semua anaknya berburu ke bapaknya. Justru mamaknya ditinggalkan. Bahkan anak-anak agak berat meninggalkan bapaknya waktu dipanggil sama Mamaknya,” kata Firawati.

Lydia, saat saya mengulang klaim cerita Firawati itu, mendengarnya sambil melongo.

“Bagaimana mungkin dia bicara seperti itu? Hari pertama saya melapor dan minta pendampingan ke kepolisian, tapi Firawati langsung menelepon terduga pelaku kalau saya datang sama anak-anak,” kata Lydia.

“Setelah dia menelepon, dia bilang ke saya kalau saya mengajari anak-anak memfitnah terduga pelaku,”

“Jika seandainya saya dipertemukan lagi dengan Firawati, saya mau lihat bagaimana dia berbohong.”

Bukan cuma Lydia dan ketiga anaknya berada dalam situasi rentan saat terduga pelaku mendatangi mereka, mantan suaminya itu seketika mendamprat Lydia dengan tuduhan mengajari ketiga anaknya mengadu, mengoceh kalau Lydia tidak becus mengasuh masa depan ketiga anaknya.

Pengaduan itu tidak memberikan perlindungan bagi Lydia, alih-alih ia dipojokkan, disuruh pulang ke rumah untuk menunggu kabar selanjutnya.

Dari proses ini, ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang petugas dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Belakangan, diketahui bahwa si petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak.

Pemeriksaan itu menghasilkan klaim ketiga anak Lydia “tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma’ dan menyebut “hubungan dengan orangtua cukup perhatian dan harmonis” serta “keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat.”

Tindakan Firawati mempertemukan ketiga anak-anaknya dengan ayahnya untuk mengecek apakah mereka trauma atau tidak serta diperkuat pemeriksaan psikologis bahwa anak-anak Lydia tidak menunjukkan tanda-tanda trauma inilah yang nantinya dipakai oleh kepolisian Luwu Timur menghentikan penyelidikan.

Berharap bisa didampingi oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Lydia akhirnya sendirian ketika melaporkan kasus dugaan pencabuloan ke Polres Luwu Timur.

(Firawati dari Pusat Pelayanan beralasan saat itu sedang rapat dengan parlemen daerah, sementara pendamping lain sedang persiapan pindah kantor dinas.)

Polisi menerima laporan Lydia pada 9 Oktober 2019. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan.

Kemudian ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.

Lydia diminta menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut tapi dilarang membacanya terlebih dulu.

Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.

Lydia mendatangi kantor Polres untuk menanyakan hasil visum ketiga anaknya. Ia juga sekaligus memberikan satu celana dalam berwarna pink yang terdapat bercak darah atas inisiatifnya sendiri.

Pada hari Jumat, 18 Oktober, polisi mengabarkan hasil visum dari Puskesmas dan menurut seorang penyidik mengklaim “tidak ditemukan apa-apa.”

Pada hari yang sama, Lydia diinterogasi oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum.

“Saya hanya ditanya masalah sehari-hari. Terus penyidik bilang nanti dilanjutkan. Dia yang akan isi bagian lainnya karena alasan akan Salat Jumat,” katanya.

“Saya disuruh tanda tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang nanti saya tanda tangan setelah ini dilanjutkan. Tapi, penyidik memaksa saya. Dan saya ikut tanda tangan, karena sudah siang dan saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak.”

“Nah saya pikir sekarang, saya jadi bego kenapa saya tanda tangan,” papar Lydia.

Pekan berikutnya, Polres Luwu Timur mengabarkan perkembangan kasus bahwa penyelidik telah menginterogasi Lydia, terduga pemerkosa dan tiga anak korban telah memeriksa secara medis tiga anak korban beserta hasil visum et repertum, serta rencana selanjutnya ketiga anak itu akan diperiksa secara medis dan psikologis ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Sulawesi Selatan di Makassar.

Pada 28 Oktober, salah seorang anak Lydia mengeluhkan sakit pada bagian dubur.

Lydia memotret beberapa luka itu. Dan lagi-lagi atas inisiatifnya sendiri pada 1 November, ia membawa satu celana dalam yang terdapat cairan hijau dan satu celanan legging yang terdapat bercak darah ke Polres Luwu Timur.

Kondisi Kesehatan Mental Ibu Korban Dipakai untuk Mendelegitimasi Laporan Pemerkosaan

Sehari kemudian, penyidik kepolisian menghubunginya jika akan ada pemeriksaan di Biddokkes Polda Sulsel pada 6 November.

Saat itu Lydia menerima ancaman dari mantan suaminya, terduga pemerkosa.

Ancamannya ia akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anak mereka jika Lydia meneruskan proses pemeriksaan ke Makassar.

Lydia bersama ketiga anaknya, ditemani salah satu saudaranya pergi ke Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.

Di sini Lydia dan ketiga anaknya dibawa ke ruang tunggu klinik jiwa. Saudaranya yang mengantar ikut diperiksa.

Di dalam ruangan pemeriksaan ada dua dokter, penyidik dan seorang staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur.

Saat pemeriksaan terhadap ketiga anaknya, Lydia merekam secara sembunyi-sembunyi lewat kamera ponsel.

Anak sulungnya terlihat dipangku oleh seorang staf Pusat Pelayanan yang tengah duduk di sebuah sofa.

Ada penyidik, seorang perempuan dan dokter di ruangan pemeriksaan itu. Si dokter kemudian meminta Lydia meninggalkan ruangan.

Saat pemeriksaan terhadap Lydia dan saudaranya, mereka ditanya kondisi kesehatan mental keluarga.

Saudaranya ditanya soal kondisi psikologis Lydia sejak kecil dan sewaktu menikah, apakah ada anggota keluarga memiliki riwayat gangguan jiwa?

Saat giliran Lydia, dua dokter menanyakan apa punya “kelainan” sebelum bercerai dengan mantan suaminya, serta kondisi rumah tangga mereka dulu. Wawancara dengan Lydia hanya berlangsung 15 menit.

Hasil pemeriksaan psikiatri ini terbit pada 11 November. Lydia disebut memiliki “gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap.”

Pada 15 November, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak Lydia.

Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember.

Surat ini mengacu pada proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember.

Surat itu memuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.

“Jadi rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?” tanya Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar. [KM-07]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.