Kritis dan Penjarakan
Khusus pelarangan buku itu menunjukkan congkaknya pemerintah sebagai penafsir tunggal atas kesosialan kita. Pelarangan buku lebih mirip langkah pemerintah fasis dan otoriter. Pada zaman kolonial, bukan hanya tulisan yang dilarang, tetapi penulis yang dianggap kritis juga dilarang menulis. Salah satunya adalah Mas Marco Kartodikromo, wartawan di era awal pergerakan nasional. Tulisan dan bukunya, Student Hidjo (1919) dibredel pemerintah kolonial, karena menyuarakan kemerdekaan dan anti penjajahan.
Pelarangan juga terjadi pada Orde Lama. Buku Hoakiau di Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer. Pada masa Orde Baru lebih banyak lagi. Selain buku-buku Pram, ada buku Indonesia di Bawah Sepatu Lars, Bayang-Bayang PKI, dan lain-lain. Memasuki era Reformasi, pembredelan buku sempat tidak ada selama beberapa tahun. Namun, pelarangan buku muncul lagi tahun 2006, saat Kejaksaan Agung melarang beredar buku-buku sejarah yang tak mencantumkan singkatan PKI.
Pada 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung melarang buku Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan M.M, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Selain itu ada tiga buku lainnya, yaitu Menyingkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad, Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, dan Suara Gereja bagi Umat Tertindas karya Socrates Sofyan Yoman. Untuk Socrates S. Yoman, ini buku keduanya yang dilarang setelah hal yang sama terjadi pada buku Pemusnahan Etnis Malanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Kata Kejaksanaan Agung, buku-buku itu mengganggu ketertiban umum.
Melarang karena Bukan Tradisinya
Buku, sebagai bentuk medium komunikasi massa memang memiliki nilai tersendiri, berbanding bentuk-bentuk medium komunikasi massa lainnya. Selain karena topiknya adalah khusus, buku dipandang sebagai simbol intelektualisme. Kekeliruan negara ini melarang peredaran buku adalah sebuah kemunduran, sekaligus betapa tidak biasanya orang Indonesia berdampingan dengan buku, terlebih-lebih menulis buku. Orang Indonesia sebagian besar sudah bisa membaca (tidak buta aksara dan bilangan), tetapi mereka tidak gemar membaca, belum sebagai tradisi dan rutinitas.
Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa menulis itu gampang, tetapi tidak bagi sebagian orang. Alasannya begini, ketika kita memahami bahwa budaya lisan tidak dapat terpisahkan dari masyarakat Indonesia, yang dipahami sebagai kearifan lokal, maka sulit juga kita beranjak menuju kecerdasaran literasi yang tingkatan rekaman sejarahnya lebih tinggi. Budaya lisan sulit menjangkau waktu yang teramat panjang, ada informasi yang terbuang dalam perjalanannya. Ketika pengalaman, peristiwa, termasuk pengamalan dituliskan, maka ia dengan mudah diulas kembali di masa depan, tetapi bukan sebagai sesuatu ketetapan, tetapi sebagai sebuah rujukan hidup.
Ketidakbiasaan masyarakat Indonesia soal membaca kerap menjadi olok-olok. Jikalau orang Jepang tidur sambil membaca, maka orang Indonesia membaca sambil tertidur. Parahnya, kita menikmati anekdot itu dalam setiap komunikasi lisan, bukan menjadi bahan renungan dan ulasan yang patut dikritisi melalui tulisan.
Memang sejak awal negara ini berdiri, literasi membaca dan menulis terus digalakkan, tetapi hasil begini-begini saja. Setidaknya tolok ukurnya adalah jumlah buku yang dinilai terlampau kecil, hingga hasil penelitian ilmiah dari dosen-dosen kita yang tak mampu bersuara di panggung internasional. Kata Haidar Bagir, seorang intelektual penerbitan buku, Indonesia masih dalam kutukan “3000 eksemplar”. Istilah ini merujuk pada jumlah maksimal judul buku yang dicetak kali pertama. Tiga ribu eksemplar itu tidak sebanding dengan populasi manusia Indonesia yang sebagian besar sudah bisa membaca aksara. Tetapi sayang, Haidar Bagir kerap mengesampingkan potensi buku-buku digital, agar buku dapat dihargai murah dan terdistribus lebih luas.












