Kita dan Buku Komunis Itu

Belum lagi kalau kita berbicara jumlah surat kabar cetak. Surat kabar nasional terbesar di Indonesia saja, hanya sanggup mencetak 500 ribu-600 ribu setiap hari. Oplah terbesar ada di akhir pekan. Aktivitas membaca yang paling intens, yang kita rasakan sendiri, adalah di media sosial: menulis status dan membaca status orang lain.

Mari kita sebut itu sebagai aktivitas dangkal, tetapi menyimpan potensi untuk dibentuk ke dalam wujud baru. Tinggal mengarahkan saja. Namun, masalahnya di tingkat pendidikan formal, kebiasaan membaca hanya selipan saja, sebagai pelengkap mata pelajaran tertentu, belum dijadikan kewajiban utama, sehingga ia tidak menjadi kebiasaan.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Lagi-lagi pemerintah memang perlu memiliki peran dominan dalam hal ini. Bagi saya pemerintah bisa memulai dari memberikan subsidi para produk kertas, serta menghapuskan pajak atas buku-buku, termasuk buku-buku digital. Dengan dua cara awal itu, penerbit akan senang hati menaikkan royalti penulis, yang pada akhirnya merangsang penulis agar lebih produktif berkarya. Itu pula berdampak pada biaya produksi buku yang lebih murah. Sebab kita tahu sendiri profesi penulis di Indonesia sama sekali tidak sejahtera, kecuali berhasil menembus penerbit internasional. Itupun jumlahnya sedikit, dengan merujuk pada prestasi Andrea Hirata dan Tere Liye.

Kita juga senang atas partisipasi total Indonesia dalam perhelatan Frankfurt Book Fair yang lalu. Beberapa buku karya anak Indonesia mendapatkan kontrak penerjemahan dari penerbit di Jerman dan beberapa negara di Eropa. Di masa depan perlu cara-cara kreatif yang lebih baik, agar dari sisi jumlah dan mutunya semakin naik.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.