LAPK : Beredarnya Saos Campur Pewarna Tekstil Karena Minimnya Pengawasan

Ilustrasi

MEDAN, KabarMedan.com | Adanya temuan saos merek Dena, Sunflower, dan Bola Dunia, yang dicampur dengan zat pewarna tekstil, produksi PT Duta Ayumas Persada (PT DAP), tidaklah terlalu mengejutkan. Anehnya, Semua izinnya, mulai dari Izin produksi, Izin gangguan dan izin pemasaran semua lengkap.

Masalah lain, selama ini kasus serupa telah kerap terjadi. Apalagi Medan dan Sumatera Utara, memang surga produk makanan dan obat-obatan bermasalah.

“Lembaga pengawas, pada intinya, sering bertindak ceroboh dan menganggap sederhana dalam melaksanakan tugasnya melindungi masyarakat, padahal itu sudah merupakan tanggung  jawabmereka sepenuhnya. Dengan alasan tanggungjawab yang terlalu banyak dan lingkup area pengawasan yang terlalu luas, mereka merasa layak untuk bekerja lebih cepat atau hanya sekadar mengemukakan wacana saja,” kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi, Sabtu (14/3/2015)

Menurutnya, jika saja pemerintah seperti Badan POM, Disperindag atau Dinas Kesehatan melakukan pengawasan rutin, maka tentu pelaku usaha resmipun tidak mau mengambil risiko untuk menjual pangan, obat dan kosmetika bermasalah. Tetapi sayang, disinyalir pengawasan paling banter hanya dilakukan setahun sekali menjelang khususnya hari lebaran atau tahun baru. Itupun terkesan hanya kamuflase saja.

Karena jikapun terdapat temuan barang bermasalah, kelanjutan kasusnya tidak jelas, termasuk sanksi yang dapat membuat pelaku usaha jera. Padahal di Indonesia badan yang mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan yang beredar adalah Badan POM, dari sisi adminsitrasi usaha Disperindag tempatan. Tetapi fungsi badan ini sepertinya kian meredup saja.

“Tidak ada tindakan hukum dari pihak yang berwajib, sekalipun jelas terbukti ada pelanggaran hukum. Keberadaan produk bermasalah ini sangat mengkhawatirkan karena tidak ada jaminan bagi pemenuhan hak-hak konsumen. Tidak ada jaminan kualitas produk, seperti menyangkut keamanan, kenyamanan, jaminan purna jual ataupun ganti rugi kepada konsumen,” cetus Farid.

Selain rutin melakukan pengawasan dan pembinaan harus bernyali melakukan advokasi atau menertibkan terhadap berbagai praktik bisnis yang cenderung mengabaikan hak-hak konsumen. Di lain pihak, pemerintah perlu bertindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga kepentingan dan hak konsumen terjamin.

“Bagi importir, distributor dan pengecer yang masih membandel menjual produk tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Pangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah),” pungkas Farid [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.