LAPK : Pengalihan Listrik Inalum Penuh Nuansa Politis

KABAR MEDAN | Polemik pengalihan daya 220 Megawatt (MW) pasokan listrik Inalum ke PT. PLN (Persero) sangat terasa nuansa politisnya. Secara sistematis dan massif resistensi pengalihan menjadi isu besar seolah-olah, jika pengalihan dilakukan maka itu adalah kiamat bagi keberlanjutan Inalum. Para elit (legislatif, eksekutif) dan pengelola BUMN justru jual beli isu yang terkesan untuk memarginalkan kepentingan publik.

“Bukan kemaslahatan publik yang diprioritaskan, tapi malah saling mencela dan membuat pelbagai dalih yang tak patut diperdebatkan di media massa. Padahal pengalihan listrik itu secara signifikan adalah untuk menyelamatkan sistem pelayanan kelistrikan yang semakin buruk. Sistem pelayanan listrik sudah krisis lebih dari 10 tahun masalah krisis listrik terjadi di Sumatera Utara,” kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi.

Menurut Farid, secara matematis di Sumatera Utara PT PLN memiliki banyak mesin pembangkit, tetapi tidak jadi bagian solusi krisis saat ini. Jadi, wajar muncul asumsi, usaha nyata dari PLN mengatasi hal ini terkesan tidak serius. Atau krisis sengaja dirawat agar ada proyek yang bersifat abadi. Ketiadaan solusi cukup menyesakkan dada. Sampai kapan pemadaman bergilir berlangsung, tidak ada jawaban terukur.

Oleh itu, untuk solusi jangka pendek pasokan listrik Inalum diyakini sangat signifikan. Saat ini, 90 MW sudah dialirkan ke PT PLN, dari yang direncanakan adalah 220 MW untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera Utara (Sumut). Dengan adanya tambahan listrik dari PT Inalum, diharapkan akhir tahun ini Sumatera Utara mengakhiri kekurangan listriknya.

“Sumatera Utara saat ini masih dibayangi defisit listrik, perlu langkah yang cepat untuk mengatasinya. Langkah gerak cepat mengalihkan lsitrik dari Inalum patut diberi apresiasi. Lebih pasti, daripada sekadar diskusi dan wacana serta rapat. Lebih terukur dan buahnya langsung dirasakan masyarakat,” jelas Farid.

Inalum mendapatkan listrik dari pembangkit yang berasal dari bendungan Danau Toba. Dengan begitu biaya listriknya sangat murah. Berbeda dengan energi listrik yang dihasilkan PT PLN yang biaya pembangkitnya relatif sangat mahal.

Minim Kontribusi

Selama ini meski PT Inalum berada di Provinsi Sumatera Utara, kontribusinya bagi solusi krisis listrik sangatlah minim. Krisis sudah terjadi 9 tahun lebih, tapi secara kontinu Inalum baru menyumbang 90 MW sejak akhir tahun 2013. Ibarat makan, cuma dua atau tiga sulang. Tak pernah membuat kenyang. Itulah situasi yang terjadi sejak awal krisis listrik dulu. Serba-tambal sulam.

Jangka pendek, posisi Inalum dalam situasi krisis listrik adalah mesin penyelamat. Inalum adalah kebijakan tanggap darurat konkrit dalam mencari jalan keluar krisis listrik. Solusi lain adalah pelengkap. Kepentingan terbesar publik adalah sistem pelayanan listrik yang dapat diandalkan. Dapat menggerakkan mesin ekonomi, sosial dan membangun asa melihat ketidakpastian pengelolaan listrik.

“Ongkos pengalihan listrik Inalum kepada PT PLN, kan tidak hanya berkaitan dengan faktor ekonomi, pendapatan, untung rugi dan tenaga kerja saja. Faktor terpenting adalah ketersediaan pasokan yang cukup dan pemadaman bergilir dapat dihentikan,” ujar Farid.

Secara ekstrim M. Jusuf Kalla (Wapres) pernah menyebut solusi paling riel krisis listrk di Sumatera Utara adalah dengan mengonversi seluruh daya 600 MW proyek PT Inalum dipakai untuk PLN. Sistemnya adalah sewa Inalum. Pilihan itu lebih bermanfaat dan logis dibandingkan menyewa genset dari luar negeri.

“Bagi pihak yang menolak konversi Inalum dipakai untuk PT PLN dapat dimaklumi. Muncul sikap penolakan, karena tidak merasakan dampak buruk pemadaman bergilir. Selain itu, ini juga terkait masalah keadilan dalam pemerataan pembangunan. Masalah krisis listrik ini adalah masalah pemerintah. Ini tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah,” pungkas Farid. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.