KABAR MEDAN | Polemik dan kisruh terjadi antara Pertamina dan PLN, terkait ancaman Pertamina yang akan mengurangi pasokan solar sampai 50% ke pembangkit PLN karena tidak menyetujui kesepakatan harga solar yang dipasok Pertamina.
Menurut Farid Wajdi, selaku Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), kalau ancaman itu dilaksanakan, tentu proyek listrik yang mangkrak.
“Cara menyelesaikan masalah lewat polemik media menunjukkan pola komunikasi antar-operator pelayanan publik itu sangat buruk dan mencitrakan perusahaannya juga buruk. Dalam kisruh yang mestinya diselesaikan lewat meja perundingan listrik untuk rakyat tetap jadi prioritas, ” kata Farid Wajdi dalam siaran pers yang diterima KabarMedan.com, Kamis (7/8/2014).
Ia menambahkan, ketika Pertamina mengancam mengurangi pasokan, dan PLN balik mengancam bakal membuat listrik rakyat gelap gulita, maka sebenarnya kedua BUMN itu naif seperti bermain sandiwara.
“Tradisi ancam mengancam antar BUMN pelayanan publik bukan perilaku dan ciri perusahaan yang baik. Justru delegitimasi dan menggerus kepercayaan masyarakat kepada kedua BUMN itu, ” ujarnya.
Masih menurut Farid, Pertamina-PLN setali tiga uang dalam pelayanan yang lebih banyak mengecewakan publik. Rapor pelayanan keduanya juga lebih banyak banyak warna merahnya. Begitupun pelajaran penting yang nampak bahwa kedua BUMN itu mencerminkan perilaku bisnis yang tidak berpihak kepada kepentingan pelayanan publik.
“Kisruh solar antara PLN dan Pertamina menunjukkan model monopoli tanpa pengendalian pasti merugikan. Jalan keluar terbaik adalah pemerintah ikut campur untuk melakukan sinkroninasi kebijakan hulu dan hilir di Indonesia. Karena kisruh terjadi dan berlarut jadi konsumsi publik karena tidak adanya sinkronisasi dan koordinasi dari pemerintah. Pergulatan Pertamina vs PLN adalah cerminan wajah pemerintah yang tidak mampu melakukan pembinaan kepada kedua BUMN itu, ” sebut Direktur LAPK itu.
Khusus PLN, pelanggan sebenarnya sudah sangat kecewa. Berlipat kegusaran sudah tak dapat dilukiskan lewat kata-kata, karena belitan pemadaman bergilir yang tak kunjung tuntas. Oleh itu, benturan kebijakan Pertamina-PLN mesti segera dituntaskan.
“PLN mestinya dapat lebih fokus mengurai benang kusut pemadaman bergilir. Isu Pertamina bakal setop pasokan sampai dengan 50 persen, sepertinya jadi isu besar yang disambar PLN untuk mengalihkan opini ketidak mampuan PLN menyelesaikan krisis listrik di Sumatera Utara, ” pungkasnya. [KM-01]