Mahasiswa Pergerakan Klarifikasi Kebohongan Tujuh “Dosa” TPL

Rombongan BEM berbagai kampus menerima penjelasan mengenai sistem pengolahan limbah dari Manager Environment TPL, Jekson Sinurat (tengah-topi biru), di Kompleks UPL (Unit Pengolahan Limbah) yang asri dan teduh 

MEDAN, KabarMedan.com | Kaum pergerakan khususnya mahasiswa, telah mengklarifikasi kebohongan sedikitnya tujuh “dosa” TPL melalui kunjungan ke pabrik berkapasitas 240 ribu ton pertahun dan HTI dalam tiga gelombang sejak akhir Mei lalu.

Ada tiga gelombang kunjungan yang diikuti lebih dari 50 orang. Gelombang pertama, Pada 27 – 29 Mei 2015, datang 30 orang atas nama pribadi-pribadi dari 8 perguruan tinggi negeri dan swasta, tetapi mereka dikenal sebagai aktivis gerakan mahasiswa Kristen dan Katolik.

Gelombang kedua, pada 22 Juni 2015, berkunjung 14 orang dengan bendera aliansi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari 8 kampus.

Gelombang ketiga, pada 14 – 15 Juli 2015, tiba 20 orang atas nama Frompibi (Front Mahasiswa Pemuda Pemudi Batak Indonesia). Sebenarnya masih ada kunjungan lain, 22 Juni 2015, tetapi mereka datang atas nama civitas akademika USI (Universitas Simalungun). Jumlahnya mencapai sedikitnya 39 orang mahasiswa fakultas pertanian.

Pada kunjungan akhir Mei para aktivis tersebut berkesempatan menyaksikan proses produksi pulp (bubur kertas) di Kompleks TPL (PT Toba Pulp Lestari Tbk) di Desa Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir. Prinsipnya ialah produksi bersih (cleaner production).

Artinya, proses produksi mengadopsi teknologi ramah lingkungan baik dalam mengolah bahan baku kayu menjadi pulp di pabrik, maupun dalam mengolah limbah cair, gas dan padat di luar pabrik hingga memenuhi baku-mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Untuk proses produksi yang menghasilkan produksi bersih dan bermutu tinggi perusahaan memperoleh sertifikasi ISO 9000 dari SGS, sedangkan untuk manajemen lingkungan mendapatkan ISO 14000 dari SGS serta Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Obyek kunjungan penting lainnya di kompleks pabrik ialah pembibitan ekaliptus (Eucalyptus sp). Dengan mengadopsi teknologi kloning (clone), pusat pembibitan ini mampu menghasilkan 2,1 juta bibit per bulan untuk ditanam di konsesi HTI, serta sekitar seribu bibit haminjon (kemenyan) perbulan untuk ditanam bersama masyarakat serta untuk didistribusikan secara gratis kepada para petani.

Di HTI sektor Aeknauli dekat Parapat dan juga di sektor Tele, Humbang Hasundutan, para aktivis –yang sering meneriakkan tema-tema ketidakadilan, antikorupsi dan perusakan lingkungan–  itu menyaksikan sendiri pembangunan HTI dengan menerapkan filosofi lestari dan berkelanjutan (sustainable). Maknanya, pembangunan HTI tetap selaras dengan perlindungan sumber daya alam (SDA) hutan melalui pencadangan hutan konservasi berfungsi lindung dengan luasan yang cukup didalam konsesi.

Wujudnya berbentuk greenbelt (sekat antar kompartemen HTI), sempadan sungai, dan kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) untuk menjamin keberlangsungan hidup keanekagaraman hayati (flora dan fauna). Kongkretnya, dari luas konsesi 188.050 hektar perusahaan menyisakan kawasan lindung seluas 24,2 % (450.590 hektar) yakni lebih luas dari 10% yang dipersyaratkan.

Baca Juga:  Dugaan Korupsi Kapasitas Jalan Provinsi di Toba Samosir, 3 Tersangka Ditahan

Di HTI, para mahasiswa –sebagian menyelesaikan proses akhir studi–  juga menyaksikan sendiri perlindungan vegetasi alam yang masuk kualifikasi tanaman unggulan seperti bagot atau bargot (enau) di Aeknauli serta haminjon di Tele sehingga hasilnya tetap dapat diambil oleh petani.

Bahkan, perusahaan –dibawah supervisi Balai Penelitian Kehutanan Aeknauli–  memprakarsai budidaya haminjon di konsesi dengan memakai bibit kloning untuk memperkaya (enrichment) tegakan yang ada di hutan konservasi, serta hasilnya kelak sepenuhnya dipersembahkan untuk kepentingan petani. Para mahasiswa –dan juga kaum jurnalis pada kesempatan terpisah– ikut langsung menanam.

Klarifikasi Kebohongan Tujuh “Dosa” TPL

Selain untuk memahami proses produksi pulp dan juga pembangunan HTI, kunjungan lapangan para kaum pergerakan itu sekaligus mengklarifikasi kebohongan sedikitnya tujuh “dosa” TPL sebagaimana sering dilontarkan kaum anti-investasi.

Para mahasiswa itu sendiri yang mencatatkan kembali  “daftar dosa” itu di log book yang disediakan dalam bentuk “kesan dan pesan,” sebelum menuliskan klarifikasi.

“Dosa-dosa” itu meliputi : rusaknya ekosistem lingkungan sebagai dampak limbah pabrik termasuk pencemaran Danau Toba, serta perusakan hutan lindung dengan adanya pembangunan HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku.

Kemudian munculnya kerugian masyarakat sehubungan dengan aktivitas penebangan pohon kemenyan –yang sejak lama menjadi sumber penghasilan petani terutama di  sektor Tele– sebagai konsekuensi pembangunan HTI, serta munculnya hal-hal meresahkan di bidang sosial-budaya.

Selanjutnya terampasnya hak-hak adat masyarakat melalui degradasi tanah ulayat hingga berakibat pada penyingkiran dan pemiskinan masyarakat petani, terjadinya tindak kekerasan sebagai dampak sikap pro-kontra terhadap kehadiran perusahaan, serta tidak terdistribusikannya dana CD secara maksimal hingga menimbulkan ketidakadilan.

Hasil klarifikasi para mahasiswa secara umum menyimpulkan, isu-isu negatif yang dilontarkan kaum-anti tidak satu-pun sesuai fakta di lapangan. Dalam kata yang lebih lugas : bohong!

Sepriyo Manurung yang mencatatkan alamatnya di Jalan Iskandar Muda No.107  Medan, misalnya, semula mendengar isu TPL “merampas” harta kekayaan rakyat yaitu tanah, “merusak” hutan dan tanaman lindung, serta “mengotori” Danau Toba melalui pembuangan limbah cair pabrik.

Di lapangan dengan clear dia menyaksikan TPL bekerja baik, tidak merusak lingkungan, malah sebaliknya membudidayakan kembali tanaman (haminjon) itu. TPL juga tidak merampas kekayaan rakyat, bahkan menyejahterakan rakyat melalui pemberian logistik dan lain-lain (dana CSR – corporate social responsibility).

Hotma Boru Sirait, warga Jalan Iskandar Muda, menambahkan, TPL tidak merampas kekayaan masyarakat setelah dia mendengar penjelasan dari pimpinan perusahaan dan kemudian melihat langsung fakta lapangan mengenai isu konflik lahan  dan pembuangan limbah.

Baca Juga:  Hari ke 10 Operasi Patuh Toba 2024, Kejadian Laka Lantas dan Pelanggaran Menurun

“Banyak isu mengatakan TPL mengambil lahan warga Tobasa, dan aliran limbah TPL mengalir ke Danau Toba. Menurut saya lahan TPL milik negara dan hanya mendapatkan izin untuk mengelola. Limbah pun dialirakan ke Sungai Asahan setelah diproses lebih dulu. Sisa limbah yang di-daur ulang untuk hal bermanfaat. TPL pun melestarikan lagi hutan yang ada di sekeliling Tobasa,” kata Nicky Dewi F Manullang, warga Jalan Marindal Gang Keluarga.

Senada dengan Dewi, Teluk Panji Siregar, warga Pematangsiantar mengemukakan, TPL sudah berbeda jauh dengan era Indorayon, mulai dari kualitas udara dan lingkungan sekitar.

“Saya bangga karena dalam menangani limbah sudah diterapkan prinsip 3R : reduce, reuse,  dan recycle,” ujarnya.

Duarjon Simalango, warga Jalan Setiabudi, juga semula memandang TPL melakukan pencemaran Danau Toba. Tetapi kemudian menyaksikan kenyataan lapangan yang bertolakbelakang, yakni tidak ada pencemaran danau.

Parno S Mahulae – warga Jalan Sukaria, dan Swandy Saragi – warga Jalan Dr Mansyur, menambahkan TPL tidak mencemari Danau Toba karena limbah pabrik dialirkan ke Sungai Asahan (bermuara ke Tanjungbalai).

Nahason Gea, warga Jalan Setiabudi, menyimpulkan isu pencemaran lingkungan yang beredar di masyarakat tidak benar adanya. Namun ia memesankan bantuan CSR (corporate social responsibility) 1% (dari hasil penjualan bersih) mesti dipastikan sampai kepada masyarakat agar semua dapat menikmati.

Kesan dan pesan senada masih dituliskan banyak aktivis lain, diantaranya William Tandias – warga Pancurbatu, Jeffri Sigalingging – warga Jalan Sei Bertu, Hepri Boy Purba – warga Dolok Sanggul, Susanto Tumanggor – warga Padang Bulan, Sardo Harsyon P Siboro – warga Padang Bulan, Samuel M Sirait – warga Jalan Iskandar Muda, Yanti Octaviani Tambunan – warga Batangkuis, Benget E E Simamora – warga Padang Bulan, Edo Martua Silalahi – warga Jalan Padang Bulan, Ady Sitanggang – warga Tanjungsari, Dimar Sitanggang – warga Samosir, Theo Walcott – warga Balige, Pendi Harianja – warga Dolok Sanggul, dan Parlin Hutasoit – warga Tanjung Sari. Ada juga yang mengaku datang berkunjung sekedar ingin mengetahui aktivitas perusahaan untuk menambah pengetahuan sekaligus tour seperti Edy Syahputra Situmeang – warga Jalan Sei Bertu. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.