Medan Belum Layak Jadi “Kota Layak Anak”

KABAR MEDAN | Kota Medan dinilai belum layak menjadi kota layak anak meskipun Pemko Medan sendiri pernah mendapat penghargaan kota layak anak pratama.

“Ada Ada 31 indikator berdasarkan peraturan Menteri untuk dapat menjadi Kota Layak Anak. Salah satunya adalah masalah pendidikan dan kesehatan. Pemerintah hanya mempunyai data, namun bukan data yang terjun langsung dari masyarakat,” ujar Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA) Unimed, Meuthia Fadila, Senin (29/12/2014).

Ia menilai, banyak taman di Kota Medan yang telah direnovasi oleh Pemerintah Kota Medan juga bukan  ramah anak, melainkan dapat membunuh anak.

“Kita lihat saja, pembangunan jalan taman yang memakai paving block yang jelas-jelas dapat membunuh anak. Selain itu, tempat bermain yang tidak standar anak. Pemerintah tidak perduli dengan anak. Mereka hanya mengejar penghargaan saja,” jelasnya.

Padahal, kota Medan adalah kota termaju ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya dalam bidang bisnis dan ekonomi. “Tapi sayang bila kemajuan itu hanya sekadar maju diukur dari kemajuan mencari uang, tapi tidak maju berfikirnya untuk memperbanyak taman hijau di semua sudut kota dan membangun rohani dan jiwa-jiwa sehat warganya melalui taman kota yang hijau dan asri,” ungkapnya.

Menurutnya, kebutuhan untuk berekreasi semakin tinggi. Anak yang sejatinya tumbuh dan berkembang berbanding lurus dengan lingkungannya akan sangat bahaya bila waktunya habis di dalam ruang (indoor) yang lebih lekat dan akrab dengan dunia permainan game, internet, televisi serta berbagai gadget yang secara  perlahan menuntun mental menjadi jiwa-jiwa yang kering, ekslusif serta individualis.

“Sangat berbeda bila anak terbiasa tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial tinggi, bermain bersama di taman kota (outdoor) dengan anak-anak lain, bercengkerama dengan para orangtua, menikmati hijaunya tumbuhan, dan menghabiskan akhir pekan atau sore hari bersama keluarga di taman kota. Maka, bila taman kota dengan minim sarana bermain dan minim sarana lainnya agar warga dan anak-anak betah, jangan salahkan warga atau anak-anak jika rohani dan jiwa mereka kering dan individualis karena terbiasa hidup sendirian (beda dengan mandiri),” katanya. [KM-03]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.