MEDAN, KabarMedan.com | Seorang nelayan tradisional di Desa Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara bernama Sazali Sinaga terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya di atas perahu untuk mencari ikan, kepiting, udang dan lainnya. Hasil tangkapannya semakin sedikit. Situasi saat ini semakin sulit berharap dari hasil laut.
Ditemui di lokasi pada sore itu, dia sedang mempersiapkan perlengkapan untuk bermalam di laut. Bekal dari rumah sudah disiapkannya dari rumah yang disinggahinya selama 15 menit sambil menyerahkan hasil tangkapan sehari sebelumnya kepada sang istri.
Dia membawa beberapa potong bambu itu untuk jebakan udang menggunakan perahunya yang tanpa mesin. Dengan keterbatasan itu dia hanya bisa melipir di pinggiran. Beberapa tahun terakhir, hasil tangkapannya semakin menurun. “Hanya 15 menit di rumah selebihnya di laut. Nggak gitu, nggak cukup lah. Sehari semalam aja dapatnya hanya Rp 125 ribuan,” katanya.
Sambil seolah tidak percaya dengan situasi yang semakin sulit, dia menceritakan kondisinya beberapa waktu lalu saat hasil tangkapan bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Hanya beberapa jam saja di laut dia bisa membawa pulang hasil tangkapan yang banyak. Menurutnya, situasi saat ini tidak lepas dari munculnya adanya tambak dan kelapa sawit.
“Wak ini sudah tua, umur entah berapa hari lagi. Jadi kalianlah yang muda, uruslah itu (masalah tambak dan sawit), kata dia udah nanti aku ke kantor desa kubilangkan sama kepala desa, hanya gitu aja,” katanya.
Beralih profesi menjadi buruh bangunan
Di lokasi yang sama, seorang warga bernama Dedi mengaku lahir dan besar dari sebagai nelayan. Dia menyebut laut adalah harapan yang bisa menghidupi keluarga kecilnya. Dari hasil laut dia bisa membangun keluarga. Namun kini laut sudah berubah.
Hasil tangkapan tak lagi seperti dulu. Dia merasa tak mungkin lagi hidup dari hasil laut.
Dia beralih profesi menjadi buruh bangunan di Aceh. Dia menduga berkurangnya hasil tangkapan tidak lepas dari adanya pembangkit listrik tenaga uap yang beroperasi tak jauh dari wilayah tangkap nelayan tradisional. “Dulu penghasilan saya alhamdulillah bisa mencukupi untuk dua keluarga saya sama anggota saya kenek lah seperti itu. Jadi semenjak adanya bangunan PLTU, kami ini nelayan kecil ini hancur. Penghasilan kami habis,” katanya.
Dulunya dalam satu hari dia pergi pagi pulang menjelang siang, kemudian usai makan siang hingga sore. Penghasilannya mencapai Rp 1 juta. Dia menggaji keneknya Rp 200 ribu per hari. “Itu dulu. Sekarang enggak usah kan kita Rp 800 ribu, dapat Rp 50.000 aja udah alhamdulillah. Nnggak usah untuk gaji kenek, untuk kehidupan keluarga sendiri saja gak cukup,” katanya.
Menjadi buruh bangunan sudah dijalaninya sejak 7 tahun lalu mulai dari Medan, Langkat, hingga ke Aceh. Kondisi sekarang memaksanya harus menjadi buruh bangunan, meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan dengan penghasilan yang tidak lebih tinggi dari menjadi nelayan saat itu.
“Saya rindu sekali menjadi nelayan. Bahkan sudah beli usaha (perahu), harganya puluhan juta. Sia-sia karena tangkapannya nggak ada. Sejak tidak jadi nelayan, beralih profesi menjadi kuli bangunan, saya merantau meninggalkan anak istri karena saya memang sudah tak sanggup lagi di Pangkalan Susu ini menjadi nelayan,” katanya.
Dampak pengerukan pasir untuk bandara dan trawl
Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, nelayan tradisional juga mengalami kesulitan dengan hilangnya mangrove yang diduga akibat pengerukan pasir untuk bandara pada tahun 2008. Di desa ini, puluhan hektare mangrove lenyap setelah abrasi tak terelakkan. Dugaan kuat penyebabnya adalah pengerukan pasir laut pada tahun 2008.
“Dulu pantai ini masih jauh ke tengah sana sekitar 200 meter. Terjadinya abrasi salah satu penyebabnya adalah pengerukan pasir untuk Bandara Kualanamu. Dulunya mangrove di sini sangat bagus. Hitungan 10 tahun, sudah tergerus 200 meter. Hutan mangrove yang kami tanam ini 20 tahun lalu lenyap,” ujar Ketua Serikat Nelayan Deli Serdang, Abdul Ajid.
Tantangan lainnya adalah trawl di wilayah tangkapan nelayan tradisional, sejauh 12 mil namun faktanya di jarak 200 – 300 meter dari bibir pantai. Nelayan tradisional harus berhadapan dengan kapal-kapal dari daerah lain yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Nelayan tradisional setiao hari terpaksa harus mencari ikan lebih jauh dari sebelumnya karena di wilayah yang dekat dengan pantai sudah rusak.
“Jadi nelayan tradisional ini ada yang ke laut hitungan seminggu baru pulang, tapi ada juga ibu-ibu atau yang sudah tua cari ikan, kerang, kepiting dan udang di dekat-dekat sini. Nah ini sudah sedikit sekali tangkapan. Semakin berlumpur. Sebelum ada pengerukan pasir tak pernah seperti ini,” katanya.
Berkurangnya tangkapan nelayan tradisional akibat hilangnya mangrove yang selama ini menjadi tempat berkembangbiaknya ikan, kepiting, udang, kerang dan lainnya. Menurutnya, lebih dari 10 hektare mangrove yang ditanam dulu sudah hilang. Dia bersama dengan kelompok tani maupun lembaga yang perhatian terhadap nasib nelayan dan pesisir sudah berupaya keras untuk terus melakukan penghijauan.
Saat ini tersisa sedikit saja hutan mangrove dan jika abrasi tidak bisa dihempang, benteng terakhir itu akan hilang. Ujungnya adalah air laut semakin masuk ke daratan. “Kalau laut semakin masuk ke daratan, siap-siap yang terburuk. Sudah ada buktinya, ratusan meter sudah ditelan laut,” katanya
Terombang-ambing seminggu di lautan untuk hidup sehari
Tokoh masyarakat di Desa Paluh Sibaji, Abdul Hamid menjelaskan, nasib nelayan tradisional saat ini sudah sangat drastis berubah. Tahun 1980-an, nelayan mencari ikan satu hari untuk hidup satu minggu. Sekarang untuk mencari ikan, harus ke laut selama seminggu, modalnya utang dan baru dibayar setelah pulang dari laut.
“Bayangkan. Kek gitu itu sama dengan ke laut seminggu untuk hidup satu hari. Begitu lah sulitnya sekarang in,” katanya.
Tak cuma jumlah tangkapan yang berkurang. Jenis tangkapan juga semakin sedikit. Padahal dulunya, bagi nelayan tradisional di Pantai Labu, mencari ikan itu ibarat menjemput. Dari rumah bawa alat tangkap seadanya, pulangnya sudah bisa bawa berbagai tangkapan laut dalam jumlah banyak.
Dia berharap masalah yang dialami nelayan tradisional menjadi perhatian oleh banyak pihak. “Kalau tidak ada penanggulangan, kampung ini bakal tenggelam. Habis. Harus ada pemasangan tanggul, pemulihan mangrove. Ini untuk memecah ombak dan mencegah abrasi. Masyarakat akan semakin miskin dan meninggalkan desa karena laut tak lagi menghidupi,” katanya.
Dari tambak, sawit hingga dapur arang
Beberapa waktu lalu, pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal., PhD mengatakan berbicara deforestasi mangrove bisa dimulai dari massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Usaha pertambakan udang dan ikan itu meredup seiring munculnya penyakit/hama dan sulit dikendalikan hingga kini. Usaha pertambakan di wilayah pesisir menuntut alih fungsi hutan mangrove yang menjadi pelindung pantai dari abrasi. Setelah tambak, yang menjadi penyebab deforestasi di hutan mangrove ini adalah perkebunan kelapa sawit.
“Kita bisa lihat sendiri di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai sampai Labuhanbatu, yang dulunya tambak berubah jadi sawit. Ada juga yang dulunya hutan mangrove, dibabat jadi kebun sawit. Tekanan lainnya adalah arang bakau,” katanya.
Di banyak hasil penelitian yang ditulisnya, Onrizal mengatakan, fungsi hutan mangrove sangat banyak dan manfaatnya dirasakan tak hanya manusia tetapi juga bagi keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut. Banyak biota yang hidupnya tergantung pada kualitas mangrove.
Secara ekologis, mangrove ini menjadi pelindung pantai dari abrasi, kemudian menjadi habitat berbagai jenis hewan, serta tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora. Kalau rusak, maka kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Kerusakan itu sudah terjadi di mana-mana.
“Tak hanya nelayan tradisional dan masyarakat sekitar yang merasakan kerugian. Kita semua pun rugi besar karena 2/3 biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove,” katanya.
Beberapa hal penting yang harus segera dilakukan yakni mempertahankan hutan mangrove yang tersisa dan menghentikan laju deforestasi. Seiring dengan itu, harus dilakukan pemulihan secara terintegrasi. Berbagai kajian juga masih harus dilakukan begitu juga dengan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
“Kalau tidak dilakukan, tidak lama lagi kita akan semakin banyak kehilangan. Yang tersisa tinggal sedikit dan kritis,” katanya.
Kondisi darurat dan dugaan pembiaran
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, kondisi di pesisir sudah kritis dan darurat. Penanganannya harus segera. Menurutnya, tidak perlu penelitian mendalam untuk melihat dampak kerusakan di pesisir timur karena sudah terlihat nyata di depan mata.
“Ini kondisinya sudah darurat, jangan menunggu waktu untuk menanganinya. Sudah di depan mata dampaknya. Tak perlu riset mendalam untuk mengetahui kerusakannya. Kalau tidak, sudah pasti akan semakin jauh abrasi mengancam warga di pesisir,” katanya.
Sampai saat ini tidak ada pembahasan apalagi langkah konkret dari pemerintah kabupaten, provinsi maupun nasional untuk menangani kerusakan itu. Menurutnya, sudah banyak masyarakat pesisir yang kehilangan mata pencahariannya mencari kepiting, udang, ikan, kepah dan lain sebagainya yang selama ini bisa dengan mudah mereka dapatkan di dekat bibir pantai.
Itu karena mangrovenya masih lestari. “Kita tidak menemukan ada rencana konkrit dan terukur bagaimana menangani ini. Tidak ada mitigasi. Kalau dibiarkan semuanya akan terkikis. Akan semakin banyak yang menjadi korban,” katanya.
Di Pantai Labu, Deli Serdang, pengerukan pasir di tahun 2008 sangat berdampak bagi masyarakat. Ratusan meter daratan dan hutan mangrove yang dulunya lestari kini sudah lenyap. Banyak hidupan air yang menggantungkan hidup dari lestarinya mangrove kini hilang. Penghidupan nelayan pun sirna.
“Kerusakan itu bermula dari pengerukan pasir, akibatnya abrasi hebat tak terelakkan. Ini ancaman berbahaya bagi masyarakat karena sewaktu-waktu tanpa mereka sadar mereka sudah tergusur,” katanya.
Menurutnya, masyarakat pesisir yang menjadi korban kerusakan mangrove ditinggalkan begitu saja oleh pemerintah. Negara tidak hadir dalam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang menunggu waktu air laut semakin masuk ke rumahnya merenggut daratan yang mereka miliki.
“Dampak yang parah ini sesuatu yang tidak disangka-sangka mereka. Jangan juga menyalahkan alam karena ini terjadi akibat tindakan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan di pesisir,” katanya.
Menurutnya, tidak sedikit yang dulunya nelayan beralih profesi menjadi buruh kapal milik cukong atau bahkan menjadi buruh bangunan dan pekerjaan lain yang di luar aktivitas di laut. “Nelayan semakin terhimpit. Tidak heran jika kemudian pesisir itu menjadi salah satu kantong kemiskinan. Mereka dibiarkan dan ditinggalkan sendiri dengan abrasi akibat aktivitas merusak orang lain,” katanya.
Dana mencurigai sudah ada pembiaran terhadap nelayan agar semakin lemah sehingga sektor kelautan dikuasai dan dimonopoli oleh pemodal-pemodal besar. “Kita mencurigai ini memang pembiaran nelayan ini terus berkurang dan bisa dikuasai oleh pemodal-pemodal besar untuk memonopoli rantai ikan di Indonesia atau di Sumatera Utara. Membiarkan masyarakat tergusur, dimiskinkan dengan kerusakan ekologi,” katanya.
Kerusakan mangrove menjadi salah satu faktor yang memperburuk perubahan iklim. Dikatakannya, mangrove menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya di dalam tanah dan vegetasinya. Karena itu rusaknya mangrove berakibat pada lepasnya karbon yang disimpan sehingga CO2 di atmosfer meningkat.
“Akibat lain hilangnya mangrove, pantai lebih rentan terhadap kerusakan akibat badai dan naiknya permukaan laut, dampak dari perubahan iklim,” katanya.
Upaya penanaman mangrove
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Yuliani Siregar menjelaskan, berdasarkan data dari Peta Mangrove Nasional KLHK RI pada Tahun 2021 luas eksisting mangrove di Sumatera Utara seluas 57.490 Ha dengan luas hutan mangrove yang mengalami degradasi seluas 29.418 Ha.
“Penyebabnya terabrasi oleh air laut, lahan terbuka akibat perambahan, alih fungsi lahan menjadi tambak, pemukiman dan kebun sawit,” katanya.
Upaya penanganan yang sudah dilakukan di antaranya kegiatan rehabilitasi mangrove berupa kegiatan penanaman, penyuluhan dan patroli yang dilaksanakan oleh UPT KPH setempat yang memiliki kawasan mangrove. Penanaman mangrove yang telah dilaksanakan di Sumatera Utara baik oleh UPT KPLHK, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Instansi terkait.
“Hingga tahun 2022 mencapai 8.272 Ha yang tersebar di Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Kota Tanjung Balai,” katanya.
Kepala Kelompok Kerja Rehabilitasi Mangrove (Pokja RM) Wilayah Sumatera, Giri Suryanta mengatakan, selama ini yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di antaranya peralihan fungsi menjadi tambak, perkebunan, dan perambahan. Dilihat dari target indikatif percepatan rehabilitasi mangrove (PRM), hutan mangrove Sumatera Utara selaus 57.490 ha sedangkan luas hutan mangrove potensial atau yang rusak seluas 29.417 ha.
Tahun 2022, provinsi ini punya target rehabilitasi seluas 13.357 Ha namun baru terealisasi 373 Ha. Dikatakannya, dalam pemetaan istilah eksisting untuk menunjukkan kawasan mangrove yang masih ada vegetasinya baik rapat, sedang maupun jarang.
“Sementara tipologi potensial, itu kawasan yang sudah tidak ada mangrovenya dan wujud penggunaannya sudah beralih fungsi misalnya tambak, tanah terbuka, pemukiman, dan lain sebagainya. Jadi mangrove mengalami kerusakan, terabrasi. Itu kita kategorikan potensial mangrove,” katanya.
Target rehabilitasi seluas 13.357 Ha itu dengan asumsi jika pendanaan cukup. Selama ini, memang program itu dianggarkan dari APBN meskipun pihaknya yakin bahwa itu tidak akan cukup. “Kita tidak tidak menutup diri dengan sumber pendanaan lain non APBN. Ini sedang di-arrange untuk dana asing, dari Bank Dunia, yang akan masuk sedang proses,” katanya.
Sumatera Utara, termasuk dalam 9 provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove bersama dengan Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat yang difasilitasi Badan Rehabilitasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Pokja RM bertanggung jawab untuk mengelola dan merehabilitasi ekosistem mangrove di Indonesia. Pokja rehabilitasi mangrove terdiri dari berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat pesisir yang berkepentingan dengan konservasi dan restorasi mangrove di bawah koordinasi BRGM.
Potret mangrove lestari, nelayan berseri
Di luar potret kerusakan mangrove itu, di ujung Jalan Young Panah Hijau, Gang Tower, Labuhan Deli, Medan Marelan memberi contoh yang baik bagaimana mangrove yang lestari memberi manfaat bagi banyak orang.
Seorang pria bernama Selamat mengajak naik ke perahu sembari bercerita kondisi tempatnya menggantungkan hidup dari tangkapan di pesisir. Dia menegaskan, meskipun tinggal di dekat laut, orang tuanya bukanlah pelaut, melainkan petani. Sekitar tiga ratus meter dari pondoknya, dia menghentikan perahunya di bawah tower listrik.
“Di titik ini, dulunya adalah sawah. Orang tua saya adalah petani padi, di sini ini lah sawahnya, pas dekat dengan tower ini,” katanya.
Wilayah yang kini berair itu dulunya areal persawahan dan daratan yang ditanami kelapa. Tahun 1978, ada pembangunan tower listrik dan pembuatan parit. Pada saat itu lah air asin masuk ke areal persawahan dan daratan. Petani saat itu tak bisa berbuat banyak meski tak lagi bisa menanam padi.
“Masuknya air asin secara perlahan sehingga tidak bisa bercocok tanam padi dan kelapa jadi sekarang ini inilah yang bisa tumbuh di wilayah ini hutan-hutan di sini,” katanya.
Dengan kondisi yang terjadi, masyarakat pun mulai meninggalkan wilayah itu. Kemudian masuk tambak udang dan ikan di tahun 1980 – 1990-an. Tak berlangsung lama dan ditinggalkan begitu saja sehingga tandus. Sejak 7 – 8 tahun yang lalu, beberapa orang yang sadar dengan kondisi lingkungannya mulai berbenah dengan menanami mangrove. Masyarakat itu membentuk kelompok tani. Setelah mangrove berhasil tumbuh dengan baik, nelayan tradisional mulai bisa mengambil manfaatnya.
“Adanya hutan mangrove ini sekarang gampang dapatnya. Penghasilan lainnya ya dari budidaya kerang. Kalau kerang ini tidak merusak mangrove, tidak seperti tambak. Jadi kami rasakan betul manfaat mangrove ini,” katanya.
Adalah Wibi Nugraha, penerima penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada Maret 2023 dan Juara terbaik 1 Nasional Wana Lestari 2019 Kader Konservasi Alam Nasional itu mengatakan upaya restorasi mangrove ini hanya bisa dilakukan bersama-sama.
Tahun 2020 dia bersama anggota Polri yang bertugas di Polairud Polda Sumut, Abdul Kadir Nasution dan juga anggota kelompok tani melakukan penanaman secara swadaya. Penanaman mangrove dilakukan setiap hari. Bibitnya pun dicari menggunakan perahu.
“Perjuangan kawan-kawan dari kelompok tani, kelompok mangrove di sini, hasilnya menurut saya sangat memuaskan tinggal bagaimana pihak-pihak di luar memberikan kesempatan ataupun kepercayaan kepada Kelompok Tamba Deli untuk membantu mereka merealisasi merestorasi hutan mangrove. Ikan, kepiting dan udang udah mudah didapat, beda dengan beberapa tahun lalu. Manfaat mangrove sangat dirasakan,” katanya.
Hingga kini sekitar 40 hektare lahan yang dulunya tambak terbengkelai berubah menjadi hutan mangrove yang kondisinya terjaga. Masyarakat yang dulunya enggan menanam mangrove kini merasakan dampaknya dan dengan sendirinya menanam mangrove. “Sekali penanaman selama 4 – 5 hari, paling sedikit bawa 3000 batang. Nah, lestarinya mangrove ini mereka bisa budidaya kerang. Tidak merusak mangrove, ekonomi terbantu. Makanya kita harus punya niat, kompak dan bersemangat,” katanya. [KM-05/rel]