PKPA Sosialisasikan UU SPPA Desa Melalui KPAD

GUNUNG SITOLI, KabarMedan.com | Guna mencapai kepentingan terbaik untuk anak dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menginisiasi Forum Diversi yang berbasis komunitas.

Hal ini sesuai dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mengatur sistem peradilan anak diluar proses peradilan yang disebut diversi yang melibatkan perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.

Diskusi tentang diversi yang dilaksanakan di Desa Tumori, Kamis (12/2/2015) tersebut dihadiri oleh Komite Perlindungan Anak Desa (KPAD) tumori, perangkat desa, tokoh Agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat juga perwakilan dari Organisasi Anak Orahua Iraono Sibohou (OIS) yang juga organisasi Anak dampingan PKPA.

Keumala Dewi Manager PKPA Kacab. Nias, pada kata pembukaannya menyampaikan bahwa pendampingan PKPA di Desa Tumori akan terus dilanjutkan terutama kepada KPAD Tumori dengan harapan desa Tumori dapat merumuskan kebijakan perlindungan anak di tingkat desa.

“UU SPPA yang telah diberlakukan memberi peluang besar, peran serta kepada komunitas masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum sesuai ketentuan yang diatur dalam sistem diversi,” jelas Keumala.

Pada paparannya, Koordinator Advokasi PKPA – Chairidani Purnamawati, mengatakan UU nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

“Sebelum UU SPPA ini diberlakukan hukum pidana itu tidak mengenal penyelesaian perkara anak dengan sistem diversi, anak sebagai pelaku harus melalui proses peradilan,” kata Chairidani.

Dani Menambahkan, dalam sistem Diversi perkara anak sebelum menjalani proses peradilan terlebih dahulu perkara tersebut harus di selesaikan melalui jalan musyawarah, dengan pendekatan keadilan Restoratif dengan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dalam perkara anak tersebut seperti; Anak pelaku, orangtua, masyarakat, korban, orangtua korban (kalau anak korban), pekerja sosial, dan tenaga kesejahteraan sosial. Di setiap musyawarah diversi akan difasilitasi oleh aparat penegak hukum dan hasil musyawarah tersebut akan dibuat penetapan oleh ketua pangadilan.

Didalam proses itu peran KPAD sangat dibutuhkan untuk memberikan advokasi dan pemahaman kepada kedua belah pihak supaya terwujudnya sebuah kesepakatan bersama untuk penyelesaian kasus, dan KPAD bertanggungjawab untuk mengawasi kesepakatan tersebut.

Tujuan diversi sendiri adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong partisipasi masyarakat, serta menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak. Selain itu syarat sebuah kasus untuk dapat di divesi adalah tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancamannya dibawah hukuman 7 tahun dan belum pernah melakukan pidana sebelumnya.

“Dalam upaya mewujudkan Diversi ini sangat dibutuhkan peran masyarakat dan harapannya orang-orang yang terlibat dalam forum diversi tersebut adalah orang-orang yang memiliki pandangan baik terhadap anak, untuk itulah PKPA memberi pemahaman kepada KPAD yang ada di Tumori ini agar memiliki persepsi yang baik terhadap anak, mampu menyelesaikan perkara anak dengan kearifan lokal yang ada,” jelas Chairidani.

Di tempat yang berbeda, PKPA juga telah berdiskusi dengan Beniamin Harefa, salah seorang tokoh adat di Kota Gunung Sitoli.

“Di Pulau Nias dikenal salah satu hukum adat yang disebut Fondrako, yang merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum, khusus perkara-perkara pelanggaran seperti mencuri, berjinah, berkelahi sampai pada pembunuhan di atur dalam Ogauta,” kata Benjamin.

Jadi, lanjutnya, sebenarnya konsep penyelesaian kasus-kasus diluar peradilan itu telah dilakukan dulu oleh para leluhur di Pulau Nias ini, khususnya di Kota Gunungsitoli itu di parkasai oleh tiga leluhur yaitu marga Harefa, Telaumbanua dan Zebua yang di tetapkan di Bonio Ni’owulu-wulu.

Salah seorang tokoh adat yang turut hadir didalam diskusi tersebut mengatakan dukungannya akan penyelesaian perkara anak seperti yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tersebut. Kasianus Zebua selaku Pj. Kepala Desa Tumori menghimbau agar KPAD Tumori yang telah terbentuk sejak 2011 agar melakukan pembenahan, agar program Kampung Ramah Anak yang telah dicanangkan dapat terwujud untuk kepentingan terbaik anak di Desa Tumori. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.