Sampah Plastik, Perubahan Iklim dan Ikan Intersex di Sungai

JAKARTA, KabarMedan.com | Krisis lingkungan global semakin memperburuk dirinya dengan dua musuh besar yang saling terkait: sampah plastik dan perubahan iklim. Di tengah lautan sampah plastik yang semakin membesar, planet semakin terpojok oleh dampak buruk dari perubahan iklim yang tidak terbendung.

Adalah Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), yang ditemui di Jakarta, pada awal November lalu. Ke manapun dia berada, selalu berbicara tentang dua hal tersebut. Lebih terkhusus soal mikro plastik.

Ya, mikro plastik adalah potongan-potongan kecil plastik yang terurai di lingkungan, baik di darat maupun di laut. Mikro plastik berasal dari berbagai sumber, seperti sampah plastik sekali pakai, limbah industri tekstil, dan jaring nelayan.

Dikatakannya, selain merusak ekosistem dan kesehatan makhluk hidup, ‘makhluk’ ini juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pemenang pemenang Goldman Environmental Prize 2011 itu mengatakan, mikro plastik masuk ke atmosfer melalui angin, hujan, atau salju.

Tak cuma itu, mikro plastik di udara bahkan bisa mempengaruhi siklus hidrologi, awan, dan radiasi matahari. Mikro plastik juga bisa menyerap gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, yang menyebabkan pemanasan global. Karena itu menurutnya sampah plastik sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim.

Mulai dari ‘penciptaan’ plastik hingga penyebarannya lewat kejadian alam salah satunya banjir yang membawa plastik dari satu titik ke titik yang lain. Sampah dari daratan, pada satu waktu akan memenuhi lautan selayaknya pulau yang mengapung. Hal tersebut menjadi perhatian dunia.

Prigi menjelaskan, Indonesia menduduki peringkat ke 5 dari 10 negara penyumbang sampah plastik ke laut. Sepuluh negara itu yakni, Filipina, India, Malaysia, China, Indonesia, Myanmar, Brazil, Vietnam, Bangladesh dan Thailand.

“Ditotal dari 10 negara itu menyumbang lebih dari 1 juta metric ton, 80 persen itu dari berasal dari 1.000 sungai,” katanya.

Baca Juga:  2 Pria di Medan Ditangkap karena Jual 4 Lutung dan 2 Kukang

Prigi mengaku meneliti mikro plastik di banyak sungai di Indonesia. Dia menemukan fakta unik ketika meneliti ikan di Sungai Brantas, sungai terpanjang ke dua di Pulau Jawa setelah Sungai Bengawan Solo.

“30% ikan di Sungai Brantas adalah mengalami interseks atau banci karena tingginya konsentrasi bahan kimia mengganggu (EDCs) dari popok air sungai seperti VOCs, Phatalates, Polycrilamide, Glyphostate, dll,” katanya.

Apa dampak jika ikan interseks itu dimakan manusia, Prigi mengatakan hal tersebut masih harus diteliti. Namun menurutnya, ikan interseks kemungkinan tidak hanya terjadi di Sungai Brantas karena hampir semua sungai di Indonesia kemungkinan tak selamat pencemaran.

Dengan banyaknya persoalan, Prigi mengajak untuk lebih bijak dalam berperilaku. Dikatakannya, dalam hal percintaan, menurutnya bisa dilihat dari sikap seseorang dalam memperlakukan plastik. Dia mencontohkan, perilaku orang dalam membuang sampah plastik kemasan atau sachet minuman.

“Ini lah yang kita sering sampaikan untuk menolak penggunaan plastik sekali pakai. Orang beli produk apapun yang dikemas dengan sachet, habis itu dibuang. Itu sama saja tak peduli dengan orang lain karena nantinya sampah plastik itu akan masuk ke dalam perut kita. Perut kita ini sudah banyak mikro plastik,” katanya.

Menurutnya, sudah banyak dampak, riset, dan kampanye tentang bahaya plastik. Sudah banyak berseliweran satwa di laut yang menderita akibat sedotan plastik, feses bercampur sampah plastik dan lain sebagainya, namun tetap saja perilaku membuang sampah plastik tak bisa diubah.

“Menangani sampah plastik ini sebenarnya gampang. Itu omongan. Tapi di aksinya, di tataran implementasinya, sangat susah. Buktinya, kita bisa hitung berapa produksi sampah di kota manapun per harinya. Tak pernah berkurang. Kita belum bijak dengan perilaku kita terkait sampah,” katanya.

Baca Juga:  2 Pria di Medan Ditangkap karena Jual 4 Lutung dan 2 Kukang

Direktur Bank Sampah New Normal Yasra Al-Fariza dalam acara Apresiasi dan Pertemuan Tahunan Bank Sampah, di Medan, Sumut, Selasa (24/1/2023) mengatakan, setiap harinya Kota Medan menghasilkan 2.000 ton sampah yang mana sekitar 800 ton di antaranya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Dari angka itu, lebih dari 1.000-1.200 ton sisanya rawan tidak tertangani karena hingga kini baru 13 persen yang dipilah dan dikelola. “Tahun 2025 ditargetkan 30 persen sampah harus dikelola untuk mengurangi sampah di TPA,” ujarnya.

Di muara Sungai Deli di Belawan, masyarakat mengeluhkan banyaknya sampah plastik dan khawatir akan dampak buruknya terhadap kesehatan dan masa depan anaknya.

Eli, seorang warga setempat, menyampaikan bahwa ketika musim kemarau tiba, sungai itu terlihat seperti gugusan sampah yang mengapung.

“Ketika air surut, kita bisa melihat betapa kumuhnya sungai ini. Tumpukan sampah plastik menutupi dasar sungai dan membuat pemandangan yang sangat menyedihkan,” ujarnya.

Senada diungkapkan Eli, seorang nelayan di wilayah tersebut, Heri mengeluhkan aroma busuk yang menyengat ketika musim kemarau datang.

“Tidak hanya mengganggu pandangan mata, tetapi juga mencemari udara dengan bau yang tidak enak. Ini sangat mengganggu bagi kami yang bergantung pada sungai ini sebagai sumber penghidupan,” tuturnya.

Masyarakat setempat merasa prihatin dengan kondisi lingkungan mereka yang semakin memburuk akibat sampah plastik yang tak kunjung teratasi.

Meskipun menghadapi tantangan yang besar, Eli dan Heri bersama-sama dengan masyarakat setempat berkomitmen untuk melakukan upaya pembersihan sungai dan kampanye sadar lingkungan.

Mereka berharap dapat mengurangi penumpukan sampah plastik dan memperbaiki kondisi lingkungan agar dapat berdampak positif bagi kehidupan mereka dan generasi mendatang. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.