Catatan Penting IUPHKm di Tarabintang Lima Tahun Mendatang

Dua orang warga Dusun Napasingkam membersihkan duri di batang rotan. Rotan adalah salah satu potensi di HKm seluas 391 hektare.

HUMBANG HASUNDUTAN, KabarMedan.com | Tak mudah untuk mengambil rotan. Durinya yang panjang menyelimuti seluruh batang dapat membuat seseorang demam jika tertusuk. Karenanya dibutuhkan kehati-hatian dan ketelatenan. Rotan, kini menjadi harapan baru bagi masyarakat di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang, Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan.

Salmon Sihotang, Ketua Gapoktan HKm Napasingkam Sejahtera mengatakannya kepada KabarMedan.com pekan lalu ketika bersama dengan warga lainnya sedang mencari rotan. Seorang pengambil rotan, menurutnya harus mengetahui di mana ujung dan pangkal agar terhindar dari duri. “Kita juga tahu, kalau sedang di hutan dan kehausan, kita bisa mimun air yang keluar dari batang rotan, segar,” katanya.

Menurutnya, sejak adanya IUPHKm seluas 391 hektare sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6927/Men.LHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017, masyarakat tidak hanya mengenal tentang bagaimana melestarikan hutan. Tetapi juga mengelola alam dengan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) tanpa harus meerusak hutan. “Karena, lestarinya hutan ini menjadi nyawa bagi kami,” katanya.

Salmon Sihotang, Ketua Gapoktan HKm Napasingkam Sejahtera mengatakan, sejak terbitnya IUPHKm, masyarakat tidak hanya mengerti pelestarian hutan.

SK tersebut, kata dia, juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa kini mereka memiliki legalitas untuk mengelola wilayah yang diberi izin untuk dikelolanya. Sebelumnya, masyarakat tidak berani mengambil sesuatu di hutan karena adanya ancaman hukuman jika ketahuan. “Dan kalau dihitung, sudah ada 50 ton yang yang sudah keluar dari sini,” katanya.

Begitu halnya dalam pola pertanian. Masyarakat kini sudah mengenal pola tanaman jajar legowo yang terbukti bisa membuat hasil lebih baik dengan jumlah bibit yang lebih sedikit. Konsep mina padi juga demikian menguntungkan bagi petani. Walaupun begitu, diakuinya belum sepenuhnya masyarakat mau menerapkannya. Perubahan, kata dia, tetap membutuhkan waktu.

“Dulu kami juga melakukan berpindah. Misalnya cabai. Untuk menanam, kami harus membakar lahan setelah padan, beberapa saat lalu kami tebar bibit. Setelah adanya HKm, praktik itu tidak lagi dilakukan,” katanya.

Sebagai masyarakat yang kini memiliki izin dalam mengelola kawasan, beberapa waktu lalu pihaknya sudah studi banding Lampung yang juga memiliki IUPHKm. Di sana, mereka sudah mampu mandiri. Namun tetap saja di awal-awal mendapatkan pendampingan dari pihak lain. Dalam hal ini, Gapoktan Napasingkam Sejahtera didapingi Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan sejak lima tahun yang lalu.

“Kami studi banding HKm di Lampung. Di sana mereka sudah mandiri dengan pembibitan, sudah memiliki lubuk larangan berbadan hukum. Kami di sini juga sudah punya lubuk larangan serupa, makanya kami semakin semangat,” katanya.

Pihaknya berharap agar pendampingan tetap dilanjutkan. “Kami melihat yang di Lampung itu. Mereka berhasil. Kami tahu itu butuh waktu dan pendampingan. Itu yang kami rasakan sekarang ini. Pembinaan dalam penyuluhan ekonomi, kegiatan masyarakat. Masih banyak lagi. Bercita-cita agar hutan di Napasingkam menjadi hutan lestari, masyarakat sejahtera. Kami percaya banyak pohon banyak rejeki,” katanya.

Seorang warga memanggul rotan dari kawasan IUPHKm di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang.

Koorinator Lapangan Yayasan Caritas PSE KAM pada Project Tropical Forest Conservation Action (TFCA), Leo Karmelo Tarigan mengatakan, lima tahun sudah pihaknya mendampingi masyarakat di Napasingkam hingga kini mendapakan IUPHKm dan saat sudah selesai program mereka mendampingi masyarakat.

Namun demikian, menurutnya dilihat dari pastoral keuskupan, Napasingkam menjadi bagian dari Paroki Parlilitan. Sehingga dengan demikian pihaknya tetap hadir jika dibutuhkan namun tidak sesering sebelumnya. Menurutnya, pihaknya akan mencoba untuk menghubungkan rencana kerja usaha dari dana desa. Kegiatan HKm, kata dia, bisa dilakukan dengan dana desa.

“Bisa dengan mencari dukungan dari pihak lain agar bisa memandirikan Gapoktan ini. Memang bahwa lima tahun itu belum cukup untuk menjadikan Napasingkam sebagai model perhutanan sosial yang unggul,” katanya.

Manajer Komunikasi dan Informasi Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, Ali Sofian mengatakan, pihaknya melihat banyak sekali perkembangan Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan dalam mendampingi masyarakat di Napasingkam. Pihaknya saat ini sedang dalam proses evaluasi seberapa efektif proses yang dilakukan.

“Kami senang dengan kinerja Caritas. BPSKL juga bilang Caritas adalah non government organization (NGO) yang aktif. Tanpa Caritas mungkin mereka tak tahu Napasingkam. Di sini kita mengapresiasi program Caritas. Mengenai apakah diperpanjang, itu proses. Jika haslnya positif, maka bisa dipertimbangkan untuk dilanjutkan,” katanya.

Ali menambahkan, potensi lanskap Toba Barat kaya dan ekosistem yang penting untuk dilindungn. TFCA Sumatra, kata dia, berupaya melindungi kawasan selain konservasi yang juga menjadi koridor penting. Lanskap Toba Barat ini satu dari 23 kawasan konservasi penting di Sumatra.

Menurutnya, TFCA tidak hanya berbicara kawasan konservasi dan fungsinya. TFCA hadir untuk untuk mengembalikan daya dukung alam ke masyarakat. Dijelaskannya, banyak kawasan konservasi yang perlu dilindungi. Tapi dari sisi keanekaragaman hayati, ternyata juga banyak yang berada di luar kawasan konservasi. Bahkan, menurutnya, empat spesies kunci juga banyak berada di luar kawasan konservasi.

“Dari situ kita lihat perlu lindungi kawasan koridor. Sebagian besar satwa ada di dataran rendah hutan hujan tropis. TFCA berinisiatif melindungi kawasan itu,” katanya.

Manajer Komunikasi dan Informasi TFCA Sumatera, Ali Sofian menyebut potensi lanskap Toba Barat kaya dan ekosistem yang penting untuk dilindungi. TFCA hadir untuk untuk mengembalikan daya dukung alam untuk masyarakat.

Dikatakannya, bukan tanpa alasan TFCA mau mendanai Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan yang bukan lembaga konservasi karena konservasi sendiri bukan monopoli lembaga konservasi. Dana yang disalurkan yayasan yang selama ini fokus pada kebencanaan ini, hampir sama untuk mitra lain, yakni Rp4,7 miliar dengan pelaksanaan selama tiga tahun dan diperpanjang menjadi8 lima tahun.

“Bentuk dukungan lain dari TFCA adalah peningkatan kapasitas masyarakat yang bisa diarahkan ke mitra sendiri atau kelompok dampingannya. Mulai dari aspek kebijakan dan penguatan kelembagaan, aksi nyata perbaikan di tingkat lanskap, perlindungan spesies dan unsur peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Ali menambahkan, berbicara konservasi tidak melulu mengenai keberhasilan dan kegagalan. Menurutnya yang lebih penting dari itu adalah pembelajaran. “Kami lihat bahwa persoalan persiapan di masyarakat memang perlu lebih ditingkatkan sehingga program bisa dijalankan. Ada kendala, tapi itu bagian pembelajaran yang bisa dishare ke lembaga lain untuk pintu masuk ke lembaga lain,” katanya.

Dua Kecamatan Pemegang IUPHKm
Kepala UPT KPH XII Tarutung mengatakan, Elvin Situngkir mengatakan, hutan di Humbang Hasundutan seluas 65.599,46 hektare. Terdiri dari 43.614,5 hektare hutan lindung, 10.929,69 hutan produksi dan 11.032,61 hutan produksi terbatas. Di Kecamatan Tarabintang, dengan hutan lindung seluas 16.306,96 hektare hutan lindung dan 2.941,36 hektare hutan produksi terbatas.

Di Humbang Hasundutan, ada dua kecamatan yang memegang IUPHKm yakni Tarabintang seluas 391 hektare di Dusun Napasingkam dan Pakkat, tepatnya di Desa Parmonangan seluas 884 hektare, dikelola oleh Gapoktan Kami Sakuta. “Dari luas itu, 391 hektare hak kelolanya ada pada mereka. Tapi ada sistem pengambilan dan peengelolaannya dan ada aturan lebih lanjut, misalnya terkait pajak ke nehgara. Kita juga terbitkan fakturnya, dari tempat pemungutan ke industri,” katanya.

Dijelaskannya, selain mengambil hasil hutan non kayu, masyarakat juga tetap harus menanam pohon. Menurutnya, akan lebih baik jika ada pengayaan jenis tumbuhan yang ditanam di dalam kawasan. Misalnya, jengkol, petai, durian, mangga, alpukat dan lain sebagainya. “Prinsipnya, tanaman yang dipilih bukan kelapa sawit,” katanya. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.