E-Voting Berteknologi Blockchain

Sistem internet voting di Estonia. Sumber: arstechnica.com

Oleh: Fauzan Nur Ahmadi
CEO Puspantara.org dan dosen Ilmu Komputer di STMIK Logika, Medan

Pemilu langsung adalah konsekuensi logis dari cita-cita Reformasi di atas prinsip vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Bangsa ini tidak lagi percaya kepada anggota parlemen yang punya perilaku busuk dan korup, yang dulu punya kuasa memilih pemimpin baru. Demokrasi a la Yunani Kuno ini digadang-gadang akan melahirkan kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Namun, apa lacur, sistem politik memang berubah, tetapi tidak dengan mental orang yang terlibat di dalamnya, termasuk rakyat sebagai motor utama. Maka, secara teknis dalam proses pemilihan umum yang rantai prosesnya yang panjang itu, perlu adanya intervensi teknologi digital dalam wujud e-voting. Cara ini akan memungkinkan mereduksi manipulasi surat suara dan hasil suara secara dan cepat dan langsung ditampilkan ke publik melalui situs KPU.

Pemilihan umum (pemilu) langsung di Indonesia dikenal berbiaya mahal, karena diselenggarakan untuk memilih pemimpin tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan presiden. Menurut data terkait pilkada di 31 provinsi pada tahun 2010 telah menelan dana sebesar Rp 3,5 triliun, sebuah angka yang sangat fantastis untuk sebuah demokrasi di Indonesia. Dengan e-Voting di harapkan dana pemilu, pilkada dan pilpres bisa di tekan hingga 50 persen penghematan daripada tidak menggunakan e-Voting.

Pemilu 2014 sebenarnya direncanakan sebagai pemilu pertama yang dilaksakan dengan menggunakan sistem voting elektronik (e-voting). Pada 2010 Mahkamah Agung sudah menetapkan bahwa e-voting memungkinkan dilaksanakan, sejauh tidak akan melanggar asas rahasia, jujur dan adil. Alhasil hingga hari ini pelaksanaannya nihil. Pasalnya sistem data kependudukan kita masih amburadul. Masih banyak warga Indonesia yang bisa memiliki KTP lebih daripada satu. Pelaksanaan e-KTP yang sejatinya memungkinkan adanya single national identity pun mangkrak. Salah satunya adalah dugaan korupsi besar-besaran dalam pembuatan e-KTP itu. Padahal e-KTP adalah prasyarat utama dalam pemilu agar aksi pilih ganda dapat dihindari.

Dan BPPT (Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi) pada 2015 sebenarnya sudah menyiapkan ini, tinggal menunggu kesiapan sistem dan masyarakatnya. BPPT telah mengkaji dan mengembangkan beberapa prototipe e-voting berbasis Direct Electonic Recording (DRE), baik yang menggunakan layar sentuh ataupun yang berbasis embedded pada perangkat keras khusus e-voting. Konsep DRE ini serupa yang digunakan pada e-voting di Belanda dan Australia. Masalah yang muncul kemudian adalah mahalnya perangkat keras yang digunakan dan jumlahnya akan bertambah seiring bertambahkan jumlah pemilih.

Kelemahan Pemilu Konvensional

Secara garis besar, pemilu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu pendaftaran para pemilih, pemungutan suar, dan penghitungan hasil. Sistem pemilu di Indonesia tergolong manual. Karena masih mengandalkan kertas dan mengadakan TPS-TPS. Padahal ketika bersinggungan dengan hal fisik demikian, potensi kecurangan sangatlah besar, terlebih-lebih rantai sistemnya sangat panjang. Pertama, banyak terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih. Kesalahan ini terjadi karena sistem kependudukan yang masih belum berjalan dengan baik. Konsep penggunaan banyak kartu identitas menyebabkan banyaknya pemilih yang memiliki kartu suara lebih dari satu buah. Keadaan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak–pihak tertentu untuk meningkatkan jumlah suara pilihannya.

Kedua, pemilih salah dalam memberi tanda pada kertas suara, karena ketentuan keabsahan penandaan yang kurang jelas, sehingga banyak kartu suara yang dinyatakan tidak sah. Pada 2012 misalnya, Perludem (Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi) menemukan, di beberapa TPS tertentu surat suara untuk pasangan calon tertentu dirusak dengan menggunakan kuku. Dengan demikian suara yang diberikan dinilai tidak sah. Nah, ujung-ujungnya, ketika kecurigaan praktik manipulasi yang dilakukan sangat masif, mau tak mau negara lewat KPU haru mengadakan KPU ulang. Alhasil anggaran negara pun terbebani.

Pada 2012, peneliti senior LIPI, Siti Zuhro pernah berujar kepada media bahwa potensi manipulasi surat suara ada ketika rekapitulasi di tingkatan kecamatan dan kelurahan, karena panitia yang menananganinya adalah orang yang sama. Dengan surat suara berbentuk fisik, modus lainnya adalah pihak pencetak surat suara dapat dibuat lebih, sehingga mampu menggelembungkan suara bagi calon tertentu.

Ketiga, proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, karena perbedaan kecepatan pelaksanaan pemungutan suara di masing­masing daerah. Penyebab lainnya adalah kesulitan untuk memeriksa keabsahan dari sebuah kartu suara, sehingga pengumpulan tidak berjalan sesuai dengan rencana.

Keempat, proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah berjalan lambat, karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara. Lebih jauh lagi, proses tabulasi dan pengumuman hasil perhitungan akan meleset dari perkiraan sebelumnya.

Kelima, keterlambatan dalam proses tabulasi hasil penghitungan suara dari daerah. Kendala utama dari proses tabulasi ini adalah kurangnya variasi metode pengumpulan hasil penghitungan suara. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah. Oleh karena itu, seringkali pusat tabulasi harus menunggu data penghitungan yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibat dari hal tersebut, maka pengumuman hasil akan memakan waktu yang lama.

Keenam, permasalahan yang terpenting adalah kurang terjaminnya kerahasiaan dari pilihan yang dibuat oleh seseorang. Banyak pemilih mengalami tekanan dan ancaman dari pihak tertentu untuk memberikan suara mereka kepada pihak tertentu.

Pengamalan e-voting

Sistem pemilu elektronik yang mengandalkan teknologi, dinilai mampu menekan peran manusia di dalamnya. Dengan demikian pula, rantai sistem dapat dipotong, di mana hasil suara langsung dikirimkan ke KPU pusat. Ini juga berarti mereduksi waktu sehingga lebih cepat, efisien, dan meniadakan manipulasi hasil suara.

Namun demikian, berkaca pada kasus e-voting di beberapa negara, dalam pelaksanaannya ditemui beberapa masalah. Pemilu di Amerika Serikat (AS) pada Oktober 2010, misalnya. Panitia pemilu menyelenggarakan pemungutan suara bagi warna AS di luar negeri. Namun, secara mudah sejumlah hacker dari Tiongkok dan Iran dapat menembus sistem itu, bahkan memantau apa yang terjadi pada sistem itu.

Negara bagian di AS yakni Oregon, sudah memungkinkan penyandang cacat untuk memilih dengan iPad selama pemilihan khusus pada bulan November 2011. Long Beach, California, AS, diuji coba tracking kotak suara dengan menempatkan identifikasi frekuensi radio (RFID), chip di kotak suara untuk melacak gerakannya setelah pemungutan suara ditutup. Sedangkan negara-negara bagian lainnya baru menginstal scanner berkecepatan tinggi untuk membantu menghitung surat suara (kertas bukti) lebih cepat.

Di Australia e-voting dilaksanakan dengan menempatkan peranti keras dan peranti lunak khusus di TPS-TPS. Yang menarik adalah peranti lunaknya bersistem kode terbuka alias open source. Sistem ini kebalikan dari e-voting di Belanda dan AS yang menggunakan sistem tertutup. Open source menyimpan keunggulan, khususnya memungkinkan sistem diaudit oleh pihak ketiga, seperti akademisi dan praktisi independen. Open Source juga dimanfatkan oleh Estonia, di mana kode sumbernya dapat dilihat dan diunduh dari github.com. Tahap audit adalah syarat utama dalam sistem e-voting ini.

Estonia di Eropa yang penduduknya kebetulan hanya lebih dari 1 Juta jiwa disebutkannya, sudah berhasil menyelenggarakan e-voting dengan sistem internet (online) secara bertahap pada 2005, 2007, dan 2009. Lalu kemudian pada 2011 menerapkan pemilu melalui ponsel. Meskipun berikutnya cara ini (mobile voting) ditinggalkan. Cara ini serupa dengan voting acara-acara lomba mencari bakat di televisi dengan cara mengirimkan SMS sebanyak mungkin.

E-voting di Estonia tidak memerlukan TPS yang mengharuskan pemilih datang ke sana. Pemilih cukup menggunakan peranti lunak khusus yang diunduh ke komputer laptop atau desktop. Suara pemilih dikirimkan melalui internet dan hasilnya dapat dilihat seketika di website KPU Estonia (http://www.vvk.ee). Dengan kata lain pemilih dapat menyalurkan suaranya kapan dan di mana saja, dalam rentang waktu pemilihan. Estonia berani melaksanakan ini karena sistem kependudukannya, lewat one single identity sudah sangat rapi. KTP warga estonia sudah bersistem elektronik memiliki PIN khusus, yang memungkinkan mereka tidak hanya melakukan voting, tetapi untuk fitur-fitur lainnya. Bahkan, melalui websitenya, panitia pemilu negara itu, dengan berani menyatakan bahwa hanya Estonia yang yang memiliki sistem terbaik seperti itu. Tentang kartu identitas digital warga Estonia itu sendiri sudah mantap sejak 2002.

Di Indonesia, selain kekhawatiran keamanan jaringan internet yang sangat rentan, penerapan e-voting harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagian besar warga kita masih gagap dengan teknologi, apalagi di daerah pedesaan. Penetrasi internet kita memang terhitung cepat, tetapi hanya terbatas pada ponsel, bukan komputer. Dari segi ini, edukasi e-voting adalah langkah pertama yang mesti dilakukan KPU dan BPPPT.

Sistem e-Voting pertama kali diterapkan pada pemilihan kepala dusun (pilkadus) di Kabupaten Jembrana, Bali, Juli 2009. Hingga kini, e-Voting telah terselenggara untuk 96 pilkadus di kabupaten itu. Penerapan e-Voting diawali dengan pembangunan jejaring teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di lingkup Kabupaten Jembrana tahun 2001. Pembangunan jejaring TIK yang disebut Jimbarwana Network (JembranaNet), melibatkan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TIK-BPPT).

Negara lain yang telah melaksanakan pemilihan umum dengan menggunakan e-Voting diantaranya adalah negara-negara: Amerika Serikat, Rusia, Kanada, Prancis, Brazil, India, Jepang, Peru, Venezuela, Kazakhstan, dan Uni Emirat Arab. Sedangkan di ASEAN sendiri negara Filipina adalah negara pertama yang menerapkan e-Voting pada Pemilu 10 Mei 2010 sedangkan yang sedang melakukan ujicoba pelaksanaan e-Voting yakni Argentina, Cile, Ceko, Finlandia, Yunani, Itali, Latvia, Meksiko, Nigeria, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Swedia.

Berteknologi Blockchain

Hal khusus, secara teknis yang perlu diterapkan dalam e-voting di Indonesia, pertama merapikan sistem data kependudukan kita dan mempercepat pengadaan e-KTP secara merata. Tanpa itu e-voting akan berlangsung sia-sia.

Kedua, Kita dihadapkan pada pilihan apakah kita masih mengandalkan TPS atau mengikuti sistem seperti di Estonia? Mengingat jumlah pemilih yang berhak ikut pemilu pasti akan bertambah, maka ini berdampak pada biaya pengadaan perangkat keras itu. Belum lagi kalau misalnya kita hendak menempatkan satu printer di setiap TPS yang mencetak tanda bukti sudah memilih. Yang paling efisien tentu saja tanpa TPS, tetapi pemilih dapat melakukannya komputer atau perangkat mobile yang terhubung ke jaringan Internet. Cara ini KPU harus menjamin peranti lunak di perangkat para pemilih harus benar-benar aman dari peretas, terlebih-lebih sistem internet di dalam negeri yang harus terproteksi penuh.

Ketiga, dengan mengasumsikan kita tidak menggunakan TPS konvensional, maka peranti lunak dapat memanfaatkan yang berbasis open source blockchain di dalam jaringan Internet, yang selama ini digunakan sebagai tulang punggung mata uang digital bitcoin. Sistem ini dikenal sangat aman, ketika jumlah partisipan yang terlibat di dalamnya sangat banyak, apalagi berlangsung seketika dan bersamaan.

Blockchain memanfaatkan digital signature tingkat tinggi, memanfaatkan teknologi kriptografi (ilmu penyandian informasi secara matematis), di mana hasil suara pemilu tidak dapat di-reverse dan dimanipulasi, karena dilindungi algoritma sistemnya. Di sini KPU, BPPT dan KPLI (Kelompok Pencinta Linux Indonesia),  di masa depan dapat mengembangkan sendiri blockchain-nya khusus pemilu. Kalau tidak mau capek dalam skala kecil dapat memanfaatkan teknologi blockchain generasi kedua yang dibuat oleh Vitalik Buterin pada mata uang digital Ethereum. Teknologi smart contract ini sudah dimanfaatkan oleh Microsoft dalam mengembangkan teknologi cloud computing mereka, Microsoft Azure.

Pada 12 Februari 2016, Pemerintah Ukraina menandatangai kerjasama dengan Ambisafe, perusahaan AS untuk mengembangkan e-Vox, sebuah sistem pemungutan suara elektronik berbasis blockchain. Perusahaan itu mengklaim teknologi distributed ledger itu mampu mencegah fraud dan memungkinkan pemilu lebih transparan. Prototipe teknologi itu berbasis smart contract yang dikembangkan pada jaringan Ethereum. e-Vox dapat diterapkan pada semua jenis voting, mulai dari jajak pendapat intra perusahaan dan petisi elektronik, hingga referendum politik dan pemilu parlemen. Pembuat e-Vox yakin penerapan teknologi ini memungkinkan pemilu dilakukan tanpa perantara, administrator dan semua jenis penengah lainnya.

Secara garis besar digital signature adalah sebuah skema matematis yang secara unik mengidentifikasikan seorang pengirim, skaligus untuk membuktikan keaslian dari pemilik sebuah pesan atau dokumen digital, sehingga sebuah digital signature yang autentik (sah), sudah cukup menjadi alasan bagi penerima untuk percaya bahwa sebuah pesan atau dokumen yang diterima adalah berasal dari pengirim yang telah diketahui. Dalam pemakaian tanda tangan digital telah dilindungi oleh Undang Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini mengatur sistem pembuktian dari informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik yang secara rinci dituangkan dalam Pasal 5 sampai Pasal 12.

Dalam gambaran sistem yang agak berbeda, digital signature ini menggabungkan antara nomor urut surat suara dengan nomor KTP pemilih, waktu pencetakan surat suara, dan nomor PIN khusus yang dapat dipergunakan sekali oleh pemilih yang didapat di surat undangan untuk memilih, semua nomor akan dikombinasikan dengan teknik penyandian (cryptography) dan menciptakan nomor khusus yang akan dicetak pada lembar surat suara sebelum surat suara tersebut diserahkan pada pemilih untuk dipilih.

Dengan memanfaatkan metode ini ada beberapa hal yang didapat, pertama surat suara benar-benar dipergunakan oleh pemegang hak suara dikarenakan surat suara memiliki nomor unik atau tanda tangan digital yang identik dengan sang pemilik suara sehingga tuduhan surat suara palsu atau surat suara yang ditambahkan ketika waktu jeda antara TPS ke kelurahan atau sampai ke KPU pusat tidak akan terjadi lagi dan kemungkinan kecurangan memanfaatkan surat suara juga akan mengecil.

Kedua, surat suara dapat dicetak sesuai dengan kebutuhan jumlah pemilih yang mengunakan hak suaranya di TPS tempat memilih atau dengan kata lain nya adalah print on demand (PoD) sehingga dapat menghemat anggaran dalam mencetak surat suara yang belum tentu dipergunakan oleh pemilik hak suara.

KPU sepatutnya peka terhadap beragam pendekatan teknologi dalam sistem pemilu di Indonesia. Pertama, teknologi komputer yang digunakan haruslah open source, sebagaimana yang sudah dicanangkan oleh BPPT dan KPLI. Open source memungkinkan sistem diaudit oleh pihak ketiga, sehingga mencerminkan transparansi dan keterpercayaan publik. Dengan cara ini, mudah-mudahan tingkat partisipasi publik dalam pemilu dapat meningkat, khususnya generasi muda yang kian kritis dan cair dalam menyikapi politik tanah air.

Kedua, sifat kode sumber terbuka yang didapati pada blockchain akan mengubah wajah pemilu di Indonesia, sebab secara mendasar teknologi itu memungkinkan mereduksi double spending transfer digital value. Dalam konteks pemilu, double spending adalah upaya merekayasa jumlah suara yang lebih daripada satu, tidak semudah copy paste sebuah data ataupun berkas.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.