MEDAN, KabarMedan.com |Akhir-akhir ini banyak organisasi atau sekelompok orang yang menyebut dirinya “LSM” muncul kembali dengan aksi-aksinya yang berseberangan dengan kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi lainnya. Sehubungan dengan fokus kegiatan dan merespon kondisi tersebut, Konsil LSM Indonesia berinisiatif menggelar Diskusi Publik bertema “Waspadai Pseudo LSM : Apa beda LSM yang Sesungguhnya dengan yang Bukan”.
Konsil LSM Indonesia merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan, melindungi dan mengembangkan collective interest (kepentingan bersama) LSM Indonesia, dengan salah satu aktivitas utama melakukan edukasi dan mendorong internalisasi prinsip-prinsip akuntabilitas.
Diskusi menghadirkan empat orang narasumber yakni Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK – Non Aktif) yang membawakan topik “LSM sebagai penyokong demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia”; Dr. Ir. Sapto Supono, M.Si. (Direktur Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan, Kemendagri) mengenai “Pandangan Pemerintah mengenai Akuntabilitas LSM”; Baharuddin Solongi (Ketua Dewan Etik Konsil LSM Indonesia) yang memaparkan “Potret Akuntabilitas LSM anggota Konsil LSM Indonesia” serta Lusi Herlina (Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia) yang menjelaskan “Mengapa LSM Penting Menerapkan Prinsip Akuntabilitas: Buku Standar Minimal Akuntabilitas LSM”.
Kehadiran LSM saat ini semakin masif, mengganggu serta meresahkan banyak kalangan. Salah satu yang paling dirugikan dengan ulah “LSM” ini adalah komunitas LSM Indonesia. Akibatnya, reputasi dan kepercayaan terhadap LSM Indonesia jatuh di mata publik. Masyarakat dan para pemangku kepentingan terlanjur membuat generalisasi yang keliru dan stigma negatif terhadap LSM.
Pseudo LSM, istilah ini sering digunakan untuk LSM yang tidak akuntabel yang meresahkan dan sering berseberangan dengan aksi-aksi pro-demokrasi. Padahal secara ideal, kehadiran LSM seharusnya menjadi agen perubahan dan pendukung demokrasi.
Apa bedanya LSM yang sesungguhnya dengan yang bukan? Secara fisik perbedaannya sulit dibuktikan apakah LSM pseudo atau bukan. LSM-LSM pseudo ini sebagian mempunyai infrastruktur yang memadai seperti memiliki kantor, staf dan seperangkat aturan lembaga.
Namun demikian, infrastruktur tersebut biasanya hanya sekedar formalitas dan sering berpindah-pindah. Meskipun secara fisik sulit dibuktikan namun Konsil LSM memandang salah satu cara agar lebih mudah dibuktikan adalah dengan melihat perilaku organisasi dan program yang dijalankannya.
Apakah LSM menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas sebagai berikut; tata pengurusan yang baik (non-pemerintah, non-partisan, kerelawanan, keadilan dan kesetaraan gender, partisipasi), manajemen staf yang professional (prinsip manajemen yang adil, prinsip HAM dan sensitif gender), manajemen keuangan yang terbuka dan terpercaya (menerapkan SOP Keuangan sesuai PSAK 45), partisipasi bermakna penerima manfaat dalam pengambilan keputusan strategis organisasi, penanganan pengaduan, transparansi informasi, dan pengaturan untuk mencegah konflik kepentingan.
Bagi masyarakat, LSM akuntabel menempatkan masyarakat sebagai subyek sekaligus mitra, dan dalam setiap aktivitasnya terbuka (transparan) serta membuka akses masyarakat dalam melakukan komplain.
Bagi pemerintah, pemerintah tidak perlu sibuk mengurusi akuntabilitas kelembagaan LSM karena LSM mampu mengatur dirinya sendiri. Private sector tidak sulit untuk bekerja sama dengan LSM karena LSM sudah mempunyai pengaturan kode etik-nya sendiri.
Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka peluncuran buku “Standar Minimal Akuntabilitas LSM” dan “Hasil Assessment Akuntabilitas anggota Konsil LSM Indonesia”. Buku ini menjelaskan standar minimal akuntabilitas LSM dan bagaimana LSM bisa melaksanakan standar tersebut. Selain digunakan oleh board, manajemen, dan staf dari anggota Konsil LSM Indonesia, buku ini sangat diharapkan dapat digunakan oleh Board, Manajemen dan Staf dari komunitas LSM di Indonesia pada umumnya. [KM-01]