Menanti Listrik, Pendidikan dan Kesehatan Layak Bagi Masyarakat di TNGL

LANGKAT, KabarMedan.com | Siang itu, seorang mahasiswa perguruan tinggi di Medan yang datang ke Barak Induk Dusun V Aman Damai Desa Harapan Maju Kecamatan Sei Lepan, kebingungan lantaran baterai gawainya habis. Dia pun lupa membawa power bank dari rumahnya. Dia tak bisa berbuat banyak karena perusahaan listrik negara (PLN) belum mengalirkan listriknya ke sini.

“Belum bisa ngecas jam segini. Nanti lah tunggu jam 6 sore baru bisa,” ujar Mislan, seorang warga di sebuah kedai beberapa waktu lalu.

Mislan menyarankan agar ke desa sebelah di luar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk mengisi baterainya kemudian kembali lagi. Jarak dari Barak Induk ke desa paling dekat bisa ditempuh setengah jam perjalanan. “Kendala lainnya kalau memang sedang mati lampu PLN-nya. Karena memang sering mati lampu,” katanya.

Mislan adalah pengungsi dari Aceh yang masuk ke kawasan TNGL sekitar 19 tahun yang lalu. Menurutnya, selama itu pula hingga kini, masyarakat tidak menikmati listrik dan sementara ini harus senang dengan penerangan seadanya. Misalnya, untuk mengisi daya pada gawainya, dia harus menunggu hingga pukul 18.00 wib, ketika mesin diesel dihidupkan warga. Begitu halnya untuk menonton televisi maupun pencahayaan ketika anak-anak belajar.

Listrik, kata dia, adalah sebuah ‘kemewahan’ bagi warga. Itupun baru bisa dinikmatinya sejak pukul 18.00 wib. Tiap kelompok, terdiri dari 25-30 orang yang setiap bulan menyerahkan iuran untuk diesel. Dia tak merinci besaran iuran yang harus dikeluarkan warga setiap bulan untuk membeli bahan bakar mesin dieselnya.

Listrik, sangat diharapkan masyarakat agar anak-anak sekolah dapat belajar dengan nyaman. Sudah berkali-kali pemilihan umum digelar dan harapan itu belum terwujud. Tahun ini, setelah pemilu legislatif di tingkat kabupaten, kota, provinsi serta presiden dan wakil presiden usah digelar, mereka tak lupa tetap berharap.

Mislan, seorang warga mengatakan, ada tiga hal dasar yang diharapkan masyarakat. Yakni, listrik, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Mengenai listrik, menurutnya beberapa tahun lalu pernah ada program listrik masuk desa. Sekitar 45 tiang listrik yang diangkut dengan tiga truk sudah masuk ke desanya. Namun masyarakat harus tetap menunggu lantaran persoalan teknis dan administrasi.

Dalam Kongres Petani Hutan Dalam Rangka Proklamasi Kemitraan Pengelolaan Hutan Besitang di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Langkat, Sumatera Utara, setahun yang lalu, dia pernah mengutarakan permasalahan tersebut di hadapan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno dan jajaran pejabat lainnya.

“Hingga hari ini belum ada solusi apa-apa. Kita masih menggunakan diesel. Baru sebagian saja masyarakat yang mendapatkan program Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS),” katanya, Senin (3/6/2019).

Kemudian mengenai fasilitas pendidikan, juga harus menjadi perhatian pemerintah. Di Barak Induk, terdapat Madrasah Diniyah Takwiliyah Amaliyah (MDTA) Asy Syakirin dan juga Sekolah Dasar. Keduanya berafiliasi ke sekolah yang ada di luar kawasan TNGL. Dia sendiri mengelola tempat belajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Menurutnya, saat itu penasehat senior menteri KLHK yang juga akademisi di Universitas Gajah Mada, dan pernah menjadi Direktur Jendral Planologi dan Tata Ruang Kementrian KLHK, San Afri Awang menyatakan bahwa jika Desa Harapan Maju belum definitif, maka wajar Dinas Pendidikan tidak pernah masuk.

Begitu halnya dengan fasilitas kesehatan. Dengan adanya pos pelayanan terpadu (posyandu) di dalam kawasan sudah sangat membantu masyarakat. Dengan segala keterbatasannya, masyarakat harus bisa menerimanya. “Listrik, pendidikan dan kesehatan ini kan hak yang semestinya dirasakan oleh masyarakat. Ini masih jauh dari jangkauan kota,” katanya.

Saat pemilu yang lalu, ada 4 tempat pemungutan suara (TPS) di dalam kawasan dengan jumlah pemilih hampir seribu orang. Masyarakat, karena sudah memiliki kartu identitas, menurutnya begitu antusias memberikan hak pilihnya. Hal tersebut menurutnya adalah bukti bahwa besar harapan masyarakat di dalam kawasan akan perubahan nasibnya menjadi lebih baik.

“Kita kenal dengan beberapa calon legislatif yang sosialisasi ke sini. Kalau tidak ada sosialisasi ya, mana mungkin kita kenal. Harapan kita, bagaimana hidup kita lebih baik ke depannya. Misalnya kalau bicara bagaimana melestarikan kawasan ini, tentunya kita kita mau karena di sini kita hidup” katanya.

Pemerintah menurutnya, menjalankan program perhutanan sosial dengan skema kemitraan konservasi namun belum menyentuh semuanya. Masyarakat yang dari Aceh, kata dia, belum masuk dalam program tersebut karena ada beberapa kesepakatan yang belum menemukan titik temu.

“Kemarin ketika pak Wiranto datang, beliau bilang bahwa akan ada yang dimasukkan ke kemitraan (konservasi) dan ada yang ke tanah obyek reforma agraria (TORA), tapi ya sampai sekarang belum ada kelanjutan,” ujarnya.

Kabid Teknis Balai Besar TNGL, Adhi Nurul Hadi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa untuk saat ini kemitraan konservasi masih berjalan dengan 13 kelompok tani hutan konservasi (KTHK) di Sumatera Utara dan Aceh yang menandatangani kerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) untuk memulihkan kawasan.

“Sementara itu untuk yang di luar itu kita masih dalam proses,” katanya. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.