Menghilangkan Kelapa Sawit di TNGL

LANGKAT, KabarMedan.com | Bermula pada tahun 1992. Masyarakat dari beberapa desa di Kecamatan Besitang, Langkat memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk menggarapnya untuk ditanami karet dan kelapa sawit.

Ketua Kelompok Tani Sejahtera, Subarlan, Senin (18/3/2018) di Dusun Alur Gusta, Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Langkat mengatakan
saat itu sekitar 1.000 kepala keluarga yang tergabung dalam kelompok tani menggarap lahan yang ditumbuhi ilalang dan tumbuhan baru.

Pepohonan besar saat itu sudah tidak ada lagi karena ditebang oleh HPH. Mereka mengaku sebagai masyarakat Besitang dan berbeda dengan pengungsi dari Aceh yang berada di Dusun Barak Induk, Barak Kentongan, dan Barak Itir.

“Kami tak tahu ini kawasan TNGL. Tahunya kami ini lahan kosong yang kayunya sudah ditebangi HPH,” katanya, Senin. (18/3/2019).

Sementara itu pihak pemerintah menyebutkan kawasan yang dikelola masyarakat tersebut sebagai kawasan TNGL. Sejak itu, masyarakat selalu berbeda pendapat tentang status kawasan.

Untuk mempertahankan lahan yang dikelolanya, saat itu masyarakat sempat menyampaikan aspirasinya dalam berbagai cara hingga menyurati Bupati, DPRD dan lain sebagainya.

Namun, situasinya berubah setelah adanya Kongres Petani Hutan di kawasan Taman Nasional Gunug Leuser (TNGL) Resort Sekoci di Desa PIR ADB, Kec. Besitang pada Kamis (22/2/2018) yang lalu.

Kongres tersebut menjadi babak baru penyelesaian konflik di TNGL dengan lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) peningkatan fungsi taman nasional antara BBTNGL dan Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat.

Penandatanganannya disaksikan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno dan para pihak lainnya.
Asisten I Setdakab Langkat, Abd Karim mewakili Bupati Langkat, Ngogesa Sitepu membubuhkan parafnya.

Hasan Sitepu, tokoh masyarakat mengatakan, saat ini sudah ada 11 kelompok tani yang bersepakat untuk menjadi mitra konservasi yang mana harus mengakui kawasan TNGL, menjaga kelestarian TNGL, menghijaukan kembali lahan rusak dengan tanaman multi purpose tree species (MPTS) endemik seperti durian, cempedak, rambutan, petai, jengkol dan lain sebagainya.

Kelapa sawit, karena tidak termasuk MPTS, maka penanamannya dilarang. “Di sini kami juga hanya diperbolehkan membangun pondok kerja. Bukan bangunan rumah permanen. Kami paling dua atau tiga hari di sini lalu pulang ke rumah. Kalau bolak-balik kan jauh,” katanya.

Dijelaskannya, dari yang awalnya 1.000 KK, kini hanya tinggal 500 KK yang terhimpun dalam 11 kelompok yang selama ini mengelola 1.200 hektare. Meski demikian, hanya sekitar 30 hektare yang ditanami kelapa sawit. Dengan skema kemitraan konservasi, masing-masing KK diberi kesempatan untuk mengelola lahan seluas 2 hektare.

Untuk itu, sejak dilakukannya kongres, pihaknya bersama dengan kelompok tani telah melakukan pendataan seperti titik koordinat, luas lahan, SK Kepala Desa, KTP, KK, dan surat pernyataan tertulis di atas materai tentang pengakuan terhadap kawasan TNGL.

“Di sini tak ada hak milik tapi hanya hak kelola. Kita tak punya grant dan tak perlu setifikat. Kita tak boleh memperluas lahan. Kalau tak bisa kelola lahannya dengan baik selama 6 bulan, lahan itu akan dikelola secara kolektif oleh kelompok tani,” katanya.

Sebagai contoh komitmen ikut melestarikan TNGL, anggota Kelompok Tani Sejahtera, Sudaryono menumbangkan 220 tanaman kelapa sawitnya yang sudah  berumur 5 tahun di lahan seluas 1,5 hektare. Pria yang akrab dipanggil Nano ini mengaku dirinya sudah sadar bahwa sawit tidak baik untuk ekosistem hutan.

“Lahan saya di TNGL ini ada 2 hektare, 1,5 hektare sawit, sisanya jeruk. Jeruknya saya tumbangkan, lalu ditanami tanaman MPTS,” katanya.

Kepala Seksi Pengelolaan TN Wil 6 Besitang BBTNGL, Okto Manik mengatakan, Desa PIR ADB masuk dalam Resort Sekoci. Di wilayah ini terdapat 6.700 hektare lahan yang terbuka (rusak). Saat ini, bersama mitra konservasi dengan 11 kelompok tani berupaya memulihkan 1.200 hektare. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.