Menjadi Diri Sendiri Ditengah Gesekan Keberagaman

“Agama seharusnya menjadi bagian yang sangat personal bagi seseorang. Kalau kita bisa paham itu kan beres. Orang beda itu kan biasa saja. Kembar saja tidak bisa dipaksakan sama.”

Pertarungan politik di Indonesia mengakibatkan masyarakat terpecah baik dari suku, agama dan ras. Hingga saat ini, perbedaan pandangan politik terus terbawa hingga ke ranah agama. Membuat sebagian masyarakat merasakan tekanan dan ketidaknyamanan dalam berhubungan sosial.

Perdebatan mempertahankan pendapat tidak hanya berlangsung di media sosial, namun sudah mempengaruhi kehidupan nyata.

Sebagian memilih mengambil pihak, sebagian lainnya memilih diam dan menjalani kehidupan sesuai jati dirinya.

Rahmaida Simbolon, seorang pengusaha Guest House di Kota Medan, Sumatera Utara mengaku sudah menghapus beberapa pertemanan di media sosial. Dimana semuanya berawal dari perbedaan pendapat mengenai pilihan politik hingga agama.

Sebagai seorang muslim, ia mengaku mengalami beberapa konflik dengan saudara hingga kawan seagamanya. Keputusannya menghapus pertemanan di media sosial sebenarnya cukup sederhana, ia menginginkan ketenangan.

“Kadang-kadang seagama pun berbeda mahzabnya. Yang sama saja bergesekan, apalagi yang berbeda,” tuturnya ketika ditemui KabarMedan.com, 18 April 2022 lalu.

Beberapa waktu lalu, GuestHouse miliknya yang berada di Deli Serdang di gerebek kelompok muslim di kampungnya. Alasan penggerebekan dikarenakan adanya workshop dari LBH mengenai LGBT yang dilaksanakan di penginapan alam miliknya itu.

“Dituduh pesta seks, pesta narkoba dan banyak lagi lah. Sampai ramai orang datang ke sini, semua kamar diperiksa. Bawa Kepling, Lurah sampai polisi. Tapi tidak ada bukti atas tuduhan mereka,” katanya.

Kelompok yang mendatanginya merupakan para tetangga yang mencurigai aktivitas di penginapannya karena banyaknya kelompok LGBT yang datang.

Padahal, workshop yang dilaksanakan membahas tentang bagaimana para LGBT bisa berdaya tanpa diskriminasi. Dimana diketahui bahwa sebagian besar kalangan LGBT berprofesi sebagai PSK atau pekerja salon.

Dalam workshop tersebut dibahas mengenai pemberdayaan LGBT menjadi pengusaha, pebisnis atau apa saja seperti masyarakat umum.

“Kata mereka, kalau acara begitu nggak boleh diadakan di daerah sini. Bolehnya pengajian atau bakti sosial yang mengarah ke muslim lah, jangan yang seperti itu. Saya ini kan pengusaha, selama tidak melanggar hukum, orang mau pakai tempat saya ya silahkan saja. Masa mereka yang mengatur, saya harusnya begini, saya harusnya begitu. Selain yang mereka mau ga boleh, lah siapa dia?” urainya menceritakan.

Rahmaida Simbolon bersama tamu yang mengunjungi Bua Guesthouse di Medan. Kebanyakan pengunjung penginapan yang berlokasi di Medan ini merupakan wisatawan asing. (Foto: Ist)

Bukan hanya itu, Rahmaida yang mengumpulkan ibu rumah tangga menjadi pengrajin ulos, petani dengan lahan sederhana hingga karang taruna di daerahnya, terus mendapatkan tekanan untuk mengedepankan kalangan muslim yang mendapatkan ilmu yang diberikannya.

Namun, Rahmaida tetap tegas dengan prinsip bahwa semua manusia tanpa peduli apa agamanya dan mau belajar tetap berhak mendapatkan ilmu dan kesejahteraan.

Ketika ditanya trik apa yang digunakan untuk menghadapi situasi keberagaman yang semakin buruk khususnya di Sumatera Utara, Rahmaida mengaku tidak ada trik khusus selain diam dan menjadi diri sendiri.

Menurutnya, mengurangi pertemanan di media sosial dengan orang-orang yang membuat jiwa tidak tenang juga salah satu strategi. Selain itu, biasanya orang yang berkoar-koar di dunia maya, tidak akan melakukan hal yang sama di dunia nyata kecuali beramai-ramai alias keroyokan.

Rahmaida memilih tetap menjadi dirinya sendiri dengan menjalankan aktivitas mengelola penginapan, café dan restorannya yang berada di beberapa lokasi di Sumatera Utara.

“Saya berpatokan, selama tidak melanggar hukum maka tidak ada seorangpun yang bisa memaksa saya menjadi diri sendiri. Terserah mereka mau bilang apa saya tetap berusaha berkarya, membagi ilmu dengan orang-orang sekitar yang mau menerima saya,” tegasnya.

Willie Sembiring, Minoritas di tengah Minoritas

Lain Rahmaida, lain pula pengalaman yang dialami Willie Sembiring. Seorang pengusaha kuliner di Brastagi, Sumatera Utara.

Pemilik PE88 Tavern yang mengusung makanan sehat dari Italia itu mengaku sudah pernah menjadi muslim, Hindu dan Katolik yang merupakan agama kelahirannya. Namun, saat ini ia mengaku sebagai seorang agnostik.

Baginya, agama diibaratkan sebagai rokok berbagai merek tergantung kemana rasa suka kita kepada produk itu.

Agama menurutnya adalah produk manusia untuk membuat dirinya menjadi baik dan memiliki aturan.

“Pernah Hindu waktu di Bali, pernah muslim di Bandung, pernah Katolik, pernah juga aku hapus. Secara sederhana aku melihat chaos (kerusakan) yang terjadi lewat agama itu sendiri. Kedua, menurutku Tuhan itu agnostik,” katanya.

Ia mengaku sebagai minoritas dalam minoritas. Dimana agama yang ia anut ketika dilahirkan merupakan minoritas di Indonesia. Sedangkan pilihannya menjadi agnostik semakin membuatnya menjadi minoritas di kalangan minoritas.

“Kalau sekarang itu kan banyak ya orang minoritas bilang, wah orang muslim begini, begini, begini. Aku mikir, lu katanya beragama tapi suka ceritain orang lain. Lu bilang Tuhan itu Esa, Tuhan itu satu, tapi lu pengen jadi dominan. Dan lu doang yang bener, itu yang bikin aku jengah,” paparnya.

Willie Sembiring sedang mengukir hiasan adat yang menjadi salah satu karyanya. (Foto: Ist)

Sebagai pemuda yang lahir dan besar di Siantar, ia mengaku merindukan keberagaman yang pernah dirasakannya di masa kecil.

Dimana ia masih rajin ke Gereja, dan memiliki banyak teman muslim. Bahkan, momen yang tak dapat dilupakan adalah Lebaran. Dimana anak-anak non muslim pergi ke sungai mencari bambu untuk dibuat meriam bambu dan bermain bersama memeriahkan Lebaran.

Begitu juga ketika perayaan Natal dan Tahun Baru, teman-teman muslim datang untuk bermain kembang api bersama.

“Dulu yang muslim itu setiap jam 4 sore mereka belajar ngaji nih, kita yang Kristen main sepak bola nungguin mereka selesai. Ustadnya melihat kita sebagai teman muridnya, diajak gabung kita. Nggak apa-apa katanya, ya belajar lah kita alif, ba, ta. Meriahnya anak-anak gitu loh,” kenangnya.

Menurutnya masa-masa itulah keberagaman dalam hal beragama itu terasa indah. Di masa itulah ia merasakan esensi kebenaran dari agama adalah kebaikan dan toleransi.

Terkait perdebatan di media sosial, pria yang memiliki pengalaman keliling dunia ini mengaku tidak pernah mau mengikuti perang komentar. Menurutnya, pertarungan mencari kebenaran di media sosial adalah perbuatan yang membuang waktu.

“Sekarang gini deh, ketika kamu nyetir lalu ada orang tabrakan, apa kamu nanya dulu agamanya apa? Tapi apa yang kerja duluan, ya nurani kita untuk nolongin dia sesama manusia. Itu yang sekarang nggak ada lagi esensinya,” tuturnya.

Willie juga menyebut ia tidak perah merasakan diskriminasi baik dari kalangan muslim mapun non muslim. Ia menganggap kalau ada orang yang seolah memahami agama namun tak mampu memberi contoh yang baik adalah penderita penyakit megalomania.

“Itu penyakit dimana mereka merasa seperti Tuhan. Tuhan aja mungkin nggak merasa seperti Tuhan. Ini malah manusia merasa seperti Tuhan,” katanya.

Sementara sebagai seorang pengusaha kuliner, Willie menceritakan pengalamannya ditanya tentang halal atau tidaknya makanan yang ia berikan.

Ia memaparkan, sebagian orang membuka rumah makan dengan orientasi keuntungan. Namun, ia berbeda. PE88 Tavern yang ia miliki berdasarkan keinginan mencari teman. Dari pelanggan yang datang ia bisa memperoleh teman baru, bahkan sampai berkarya bersama.

Sedangkan soal produk makanannya, ia berani menjamin kehalalannya. Disamping Chef di restorannya adalah seorang muslim, ia sendiri mengaku lebih takut melawan nuraninya untuk meracuni pelanggan dengan makanan non halal.

Selain kopi, Willie memiliki keahlian bercocok tanam, khususnya produk yang akan digunakan di Restoran miliknya. (Foto: Ist)

“Kalau ada yang nanya itu halal? Aku pastikan halal, aku nggak takut soal produk ku. Aku lebih takut dengan nurani ku, kamu sahabat aku, bahkan musuh sekalipun aku nggak akan meracuni karena dosanya lebih besar di aku. Makanya aku bilang sama tim, sertifikasi halal itu bukan di produk tapi di hati nurani dan pikiranmu sudah tersertifikasi atau enggak,” terangnya.

“Kalau lu sudah selesai dengan urusan itu, ada teman mu yang muslim datang, lu bakal lindungi, walaupun lu nggak beragama muslim. Itu saja, sederhana,” tambahnya.

Dalam kehidupannya, Willie memilih menjalankan tiga hal penting, yaitu hubungan dengan manusia, dengan hewan dan dengan alam.

Menurutnya, angka tiga adalah hal yang sakral. Misalnya dalam muslim setiap mengambil wudhu harus membasuh tiga kali bagian tubuh tertentu. Sedangkan dalam agama Kristen dikenal trinitas. Begitu juga dalam agama tradisional yang menganggap sakral angka tiga.

“Kenapa tiga? Karena ciptaan Tuhan itu ada tiga yang harus kita hormati yaitu manusia, tumbuhan dan hewan. Tiga itu yang aku pegang sampai sekarang,” ujarnya.

Terkait kondisi keberagaman di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara saat ini, Willie memulainya dengan pengalaman keliling dunia yang pernah ia lakukan. Dimana ia melihat ciptaan Tuhan di belahan dunia lain yang kulitnya hitam keriting, kulit putih dengan rambut lurus. Sementara di bagian lainnya ciptaan Tuhan dengan mata putih seperti serigala, dan orang-orang bermata biru.

“Ternyata dunia ini warna-warni, terus kenapa kita ini mau jadi satu dan memaksakan semua harus sama,” ucapnya.

Willie mengibaratkan agama dan cinta seperti pasir di telapak tangan. Ketika kita meletakkannya di telapak tangan dan genggam erat, maka ia akan keluar dari berbagai sisi.

Sementara ketika kita buka tangan kita, pasir itu akan tetap berada di sana. Sama halnya dengan manusia, yang ketika diberi kebebasan maka ia akan semakin bertanggung jawab untuk memilih rumah sendiri.

Pengalamannya mengelilingi banyak negara membuatnya mengerti akan keberagaman. (Foto: Ist)

Sebagai pendiri Asosiasi Petani Kopi di Tanah Karo, Willie memilih membagikan ilmu yang dimilikinya melalui pendidikan petani mengenai pertanian dan perkebunan. Semua ilmu yang ia berikan secara cuma-cuma itu merupakan ungkapan rasa syukurnya kepada Tuhan karena menciptakan alam semesta.

“Tuhan memberikan kita alam semesta beserta isinya, menurut aku cara berterima kasih kepada Tuhan ya dengan berbagi apa yang kita punya. Bukan nominal ya, tapi aku memilih ilmu dan kebaikan,” tandasnya. [KM-07]

 

 

 

 

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.