Oleh: Rahmat Purna Marbun
(Aktivis GMKI Medan)
Membincangkan Danau Toba selalu menarik, bukan hanya karena keindahannya alamnya yang sangat luar biasa, tetapi pula, danau terbesar di Asia Tenggara ini memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Belum lagi kalau kita membahas soal sumber daya alam dan kebhinekaan warisan budaya tujuh kabupaten di sekitarnya. Singkat kata, banyak potensi di dalamnya yang dapat dinaiktarafkan demi kesejahteraan masyarakat sekitar melalui pariwisata.
Danau Toba berada pada ketinggian antara 900-2.200 m di atas permukaan laut (BPS, 2013), dikelilingi pegunungan serta dataran tinggi yang tersebar di tujuh kabupaten. Letak geografis itu menjadikan masyarakat di kawasan Danau Toba bermata pencarian melalui pertanian dan peternakan, termasuk dari hasil hutan. Data dari BPS (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2010 sektor pertanian masih sebagai sektor utama di setiap kabupaten itu. Dari tujuh kabupaten, hanya tiga kabupaten yang mengalami peningkatan pertumbuhan pada sektor utama itu pada tahun 2014, yaitu Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan. Sedangkan kabupaten lain masih stagnan, bahkan mengalami penurunan di tahun yang sama. Sedangkan sektor lain tidak menunjukkan sumbangan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kita memahami beragam langkah sudah dilakukan komponen masyarakat Sumut mengubah situasi itu, termasuk niatan pemerintah pusat menjadikan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional (Perpres No. 81 Tahun 2014), Danau Toba sebagai geopark global network, dan Danau Toba menjadi “Monaco of Asia” melalui pembentukan Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba. Yang terakhir ini berarti akan menjadikan Danau Toba layaknya Bali saat ini, sebuah langkah yang tidak main-main.
Peningkatan mutu Danau Toba sebagai kawasan wisata internasional, bersamaan dengan peningkatan objek wisata lainnya di Indonesia oleh pemerintah pusat, seperti Candi Borobudur, Mandalika-Labuan Bajo, Gunung Bromo-Tengger, Gunung Semeru, Kepulauan Seribu, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai, dan Tanjung Layang. Sebagaimana dikutip dari JPNN.com, Presiden Jokowi mengatakan, “Angka kunjungan turis mancanegara pada 2015 mencapai 10,4 juta atau naik sekitar 1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Estimasi perolehan devisa mencapai Rp 144 triliun. Jokowi mengatakan pariwisata Indonesia tahun lalu tumbuh di atas rata-rata negara lain, yang hanya 4,4 persen.”
Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba diharapkan bekerja serius mengembangkan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata melalui peningkatan mutu infrastruktur hingga usaha-usaha promosi yang lebih kreatif. Mutu infrastruktur yang kini sedang dikerjakan, nantinya adalah jalan tol yang baik agar durasi perjalanan lebih singat, pelabuhan, dan perbaikan Bandara Silangat yang mumpuni. Semua itu akan berperan strategis dalam peningkatan jumlah wisatawan dan ujung-ujungnya berdampak langsung pada perbaikan ekonomi dan perdagangan. Pada tahun 2019 diharapkan semua itu rampung.
Kita patut berbangga, bahwa pembentukan badan khusus, artinya pemerintah pusat memberikan perhatian khusus terhadap Danau Toba. Dan itu memang sebuah penantian lama dari masyarakat. Namun di atas semua itu, apakah dengan menjadikan Danau Toba sebagai “Monaco of Asia” adalah langkah yang urgent dalam peningkatan mutu pariwisata Danau Toba? Siapkah masyarakat menerimanya dengan sejumlah dampak yang akan muncul, ketika mereka menyadari Danau Toba kelak berubah menjadi melting pot masyakat mancanegara?
Benturan Kebudayaan
Mengutip kalimat Antropolog Koentjaraningrat: “Budaya merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar.” Masyarakat di sekitar Danau Toba adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Sebagai sebuah kebudayaan, ia diwariskan secara turun temurun dan menjadi satu pedoman hidup dan cara pandang sejak ratusan tahun lalu. Teori ini menjelaskan bahwa budaya merupakan pedoman masyarakat dalam proses berinteraksi setiap harinya.
Dalam budaya Batak Toba misalnya, pedoman hidup dalihan na tolu masih dipegang teguh. Secara harfiah dalihan na tolu bermakna “tiga buah tungku”, sebuah simbolisasi sistem kekeluargaan Batak Toba yang harmonis, yang terdiri dari: somba marhula-hula (hormat kepada marga keluarga istri), manat mardongan tubu (hormat dan rukun kepada sekeluarga dan semarga), dan elek marboru (anak perempuan dan keluarga perempuan harus dirangkul dan dibujuk).
Falsafah hidup ini kemudian membentuk tatanan atau kedudukan sosial yang setara dan saling mengayomi. Nilai-nilai budaya yang tetap dipertahankan ialah kekerabatan atau kerukunan, hagabeon yang bermakna pengharapan panjang umur, dan beranak cucu, hamoraon kekayaan dalam konteks kekayaan yang bersifat materil dan kekayaan spiritual, dan uhum atau hukum, di mana masyarakat berusaha untuk tidak melanggar aturan atau kesepakatan yang ada dalam masyarakat baik yang tersurat maupun tersirat. Dalam hal ini juga ditanamkan budaya untuk menepati segala janji-janji.
Bukan hanya itu, nilai budaya yang masih dilestarikan adalah budaya marsiurupan atau gotong-royong. Cara ini dimanfaatkan dalam menyelesaikan setiap permasalahan serta sebagai kaidah dalam memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga. Tentu tidak tertinggal untuk disebut adalah seni musik dan tari-tarian.
Budaya inilah yang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban masyarakat, menjadikan masyarakat yang rukun, berpengharapan teguh, kaya secara spiritual dan materi. Menjadi masyarakat yang mengayomi orang di sekitar, masyarakat Batak akan diharapkan menjadi penopang dalam kehidupan sosial dan alam sekitarnya. Ia pula menjadi masyakrat yang memiliki identitas dan jati diri yang jelas, serta berkebudayaan yang kokoh, terjaga dari generasi ke generasi.
Konsep “Monaco of Asia” bagi saya sangat mengagumkan sekaligus mengerikan. Ia mengagumkan, karena menjadikan Danau Toba layaknya panggung internasional, tempat orang-orang berlatarbelakang budaya berbeda dari berbagai negara berbagi keindahan ciptaan Tuhan itu. Bersama masyarakat, pelancong berbagi pengalaman dan kepentingan.
Namun demikian, kita tahu sendiri, sejauh mana SDM dan penguasaan teknologi masyarakat sekitar yang belum masuk taraf memadai untuk menerima situasi baru yang luar biasa itu. Sebagai sebuah pertumbuhan dalam setiap sektor, apalagi pariwisata, harus didukung oleh beberapa hal, di antaranya yang utama adalah soal sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. SDM yang dimaksud adalah memadai dalam hal mutu ilmu pengetahuan dan keahlian, terlebih-lebih meningkatkan produk agroindustrinya.
Belum lagi kalau kita ingin mengurai masalah tentang tingkat keramahtamahan (hospitality) dan kecerdasan bergaul (social intelligent). Maka, satu entitas yang paling masuk akal yang akan muncul adakah, interaksi antara budaya akan memunculkan dampak sosial tersendiri.
Perjalanan menuju “Monaco of Asia” dalam jangka pendek dapat memunculkan kekhawatiran beberapa segi kebudayaan masyarakat setempat yang terkikis. Situasi terkikis pada akhirnya menciptakan pori-pori, tempat terpenetrasinya budaya asing. Menjadikan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata internasional, dengan menghabiskan dana triliunan rupiah adalah sebuah gerak globalisme, memasuki budaya serta kearifan lokal masyarakat, jikalau tidak disertai formula yang tepat. Maka, dalam memperkuat tameng budaya, dana besar itu harus pula digunakan dalam upaya edukasi dan internalisasi kebudayaan asli masyarakat, khususnya kepada orang-orang muda. Jikalau dana hanya demi kepentingan pemodal, apa artinya keindahan Danau Toba, tanpa kearifan budaya yang nantinya hilang begitu saja. Kita ingin masyarakat Danau Toba nantinya seperti Jepang dan Tiongkok. Masyarakat di dua negara itu, globalisme menjadikan mereka maju dan berkembang di beragam sektor, tetapi kebudayaan nenek moyang yang juga turut dipertahankan, membuat mereka kian kuat.
Kita harus melihat dan memahami pembangunan “Monaco of Asia” adalah proyek kebudayaan nan manusiawi, menjadikan masyarakat di di sekitar Danau Toba sebagai tuan rumah yang tetap memiliki kesejatian dan kebanggaan diri di tengah-tengah orang asing. Menjadikan Danau Toba “seperti” Monako adalah langkah panjang penuh tantangan dan harapan, sembari menjadikannya semakna dengan kata “monako” itu sendiri: “monoikos” yang berarti “satu rumah”, yang ditempati oleh orang-orang yang baik.