Nestapa Orangutan dan Maut di Moncong Senapan

MEDAN, KabarMedan.com | Tahun 2018 dan 2019 masih menjadi tahun berbahaya bagi kehidupan orangutan di Kalimantan dan Sumatera. Satwa eksotis itu di habitatnya yang sudah berubah, untuk mencari makan pun terpaksa berhadapan dengan ancaman maut yang nyata : senapan angin. Sudah saatnya pengawasan terhadap penggunaan senapan angin benar-benar dilakukan.

Sebagai pengingat, pada hari Senin (15/1/2018) bangkai orangutan (Pongo pygmaeus) tanpa kepala ditemukan mengambang di Sungai Barito, Buntok, Kalimantan Tengah. Bulunya sudah rontok dan bangkainya sudah membusuk. Di tubuhnya ditemukan 17 peluru senapan angin, 1 peluru senapan angin di paha kiri, 14 peluru senapan angin di badan bagian depan, dan 2 peluru senapan angin di bagian belakang badan atau punggung.

Tak cuma itu, tim juga menemukan tujuh tulang rusuk bagian kiri patah. Sejumlah organ dalam orangutan, yakni lambung pecah, jantung dan paru-paru itu juga mengalami luka parah akibat tembakan senapan angin. Tak sampai satu bulan, di Taman Nasional Kutai (TNK), Kalimantan Timur, satu individu orangutan berusia sekitar 3 tahun kembali tewas dengan 130 peluru bersarang di dalam tubuhnya pada Selasa dini hari (6/2/2018).

Hanya 48 peluru yang berhasil dikeluarkan dari tubuh orangutan yang sebelumnya terjebak di tengah danau atau embung yang menjadi habitat buaya dengan berpegangan pada tangkai pohon. Petugas Balai TNK yang ke lokasi orangutan itu pada Minggu, (4/2/2018) tak bisa langsung mengevakuasinya.

Dan tahun ini, tepatnya hari Senin (11/03/2019), publik kembali dikejutkan dengan penemuan orangutan sumatera (Pongo abelii) dalam kondisi menyedihkan. Orangutan yang diberi nama Hope itu yang ditembaki dengan 74 peluru di tubuhnya dan mengalami patah terbuka pada tulang bahu.

Kedua matanya buta total akibat peluru. Hope juga kehilangan bayinya yang diberi nama Brenda. Bayi orangutan malang itu diperkirakan berumur 3-4 bulan mati dengan kondisi lengan atas kirinya (tulang humerus) patah. Hope saat ini menjalani rehabilitasi intensif di Pusat Karantina Orangutan di Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, orangutan ditemukan dalam kondisi terluka parah bersama bayinya yang terlihat kurus di Subussalam, Aceh. Bayi orangutan itu meninggal ketika tim penyelamat bergegas membawa mereka ke sebuah klinik di Kabupaten Sibolangit, Provinsi Sumatra Utara.

Direktur Centre for Orangutan Protection (COP), Hardi Baktiantoro mengatakan, sebenarnya apa yang terjadi pada orangutan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur adalah puncak dari gunung es perburuan liar di Indonesia yang pokok persoalannya berada pada lemahnya penegakan hukum dalam penggunaan senapan angin.

“Kita sudah meneliti di Jawa, ternyata luar biasa ngawurnya. Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2012 sudah dilanggar secara besar-besaran dan massal, ” katanya, beberapa waktu lalu.

Di dalam aturan tersebut, penggunaan senapan angin hanya diperbolehkan saat latihan di arena tembak. Dengan demikian, penggunaan senapan di luar arena dilarang. Bahkan, misalnya penggunaan di depan rumah juga dilarang karena kemungkinan besar akan digunakan untuk menembak sasaran satwa yang dilindungi maupun tak dilindungi contohnya burung, kucing, monyet, tupai, tikus hingga satwa dilindungi dan lain sebagainya.

Peristiwa tragis terhadap orangutan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur terjadi setiap tahun. Di perkebunan kelapa sawit dulu pernah muncul istilah petugas hama. Masyarakat di sekitar perkebunan akan diberi imbalan ketika berburu hama, salah satunya orangutan. Berdasarkan pengalaman penyelamatan (rescue) orangutan, saat badannya dironsen,  selalu ditemukan peluru yang bersarang.

“Apakah orangutan jantan, betina, bayi atau dewasa, biasanya selalu ditemukan peluru. Artinya sudah biasa orangutan ditembakin. Dan orangutan ini, 85 % berada di luar kawasan konservasi atau bisa jadi itu dulunya kawasan berhutan kemudian dikonversi menjadi perkebunhan kelapa sawit. Kalau jantan dewasa mereka akan menyingkir ke hutan yang lain. Kalau betina dewasa dan anaknya akan bergeser tapi nanti kembali ke situ. Dan ini lah yang menjadi sasaran tembak,” katanya.

Dari pengalaman COP selama ini, di mana ada pembukaan lahan kelapa sawit selalu ada konflik. Persoalan di Kalimantan adalah tumpang tindihnya pemberian izin. “Jadi persoalannya pemberian izin di tangan bupati, di bawah 13.000 hektare itu di tangan bupati. Tak melihat apakah di lokasi izin itu ada habitat orangutan atau tidak, asal kasih aja. Buktinya, massifnya konflik antara manusia dan satwa liar,” katanya.

Sejak berdiri pada 1 Maret 2007, sudah tidak terhitung lagi melakukan evakuasi. Tidak selamanya orangutan yang dievakuasi dironsen karena beberapa keterbatasan misalnya tidak semua rumah sakit menerima orangutan. Kemudian, ronsen hanya dilakukan jika penanganannya ke arah penegakan hukum sehingga diupayakan ke rumah sakit terdekat.

“Kalau tidak begitu, rumah sakit menolak. Tapi kalau orangutan kita bius dan kita raba, biasanya ditemukan bekas peluru atau penembakan,” katanya.

Dengan situsi seperti ini, menurutnya yang perlu dikuatkan adalah implementasi penegakan Perkapolri. Di Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistem (KSDAE), sudah menyebutkan bahwa barang siapa melukai, menyiksa satwa liar dilindungi dan ancamannya.

“Sudah jelas, siapapun yang melukai atau berpotensi melukai ya tangkap saja. Nenteng-nenteng senapan angin bisa dikenai pasal. Masalahnya, yang kita hadapi ini bukan sekedar orang yang mau nembak tetapi menembak dengan senapan angin ini sudah terlanjur tumbuh sebagai hobi banyak orang,” katanya.

Dari yang pernah diteliti, menurutnya orang-orang yang hoby menembak dengan senapan angin rata-rata sudah memodifikasi senapannya. Senapan angin ini tidak lagi dengan pompa tetapi sudah dengan gas. “Hanya dengan peluru kaliber 4,5 dengan kekuatan itu sudah bisa njebol babi hutan atau mamalia besar. Mereka juga sudah punya peredam, teropong malam dan lainnya. Jadi jangan dikira hanya sekedar orang nenteng senapan angin,” katanya.

Ditambahkannya, senapan angin seharga Rp 50 juta sudah umum digunakan di tangan para pemburu. “Yang ditembak ini sembarangan saja. Tapi ada juga yang mengkhususkan, biawak hunter. Kalau sudah begitu, di mana buayanya tak menyerang manusia kalau makannya
ditembakin. Lalu bagaimana hama ulat bulu di mana-mana kalau burung-burung sudah banyak ditembakin. Padahal itu rantai makanan to. Dan itu banyak contohnya,” katanya.

Contoh lainnya,kata dia, di bulan Oktober 2018 ratusan burung bangau di Cagar Alam Beringin Sakti, Lapangan Cindua Mato, Kota Batusangkar Tanah Datar, Sumatera Barat ditembak dengan senapan angin. “Make senapan angin di luar arena, nembakin burung dilindungi di cagar alam, tiga masalah berat kena. Ini kan gila,” katanya

Jika dirunut ke sumber pembuatan senapan angin di Indonesia, paling banyak diproduksi di Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Menurutnya, dengan keahliannya, pembuat senapan angin di Cipacing meskipun industri rumahan, tidak hanya mampu meproduksi senapan angin tetapi senapan berkaliber tinggi.

“Dengan situasi seperti ini, saya percaya bahwa penjara itu adalah ruang terbaik bagi mereka untuk belajar menghargai hukum. Tinggal sekarang penegak hukum berani atau tidak menegakkan hukum,” katanya.

Benvika, dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mengatakan sudah seharusnya peraturan yang ada dikuatkan dalam pengawasan terhadap penggunaan senapan angin di Indonesia. Menurutnya, selama ini tidak ada aturan untuk senapan kapasitas 4,5 milimeter. Peraturan yang sudah ada hanya mengatur senapan berkaliber 5 milimeter ke atas. Tempat produksi senapan angin di Cipacing menurutnya harus ada pengawasan mengingat di tempat tersebut senapan angin dijual bebas di kios-kios.

“Kami kan NGO, hanya memberi masukan agar mereka merevisi peraturan penggunaan senapan angin. Misalnya soal modifikasi, saya pernah ke daerah Banyumas. Memodifikasi dari senapan angin itu biasa. Mereka menyebutnya dengan senapan gejlok tapi sudah dimodifikasi. Biasanya untuk perburuan dengan alasan mengusir hama perkebunan, misalnya babi. Tapi tak cuma itu, kadang tupai, burung pun ditembakin,” katanya

JAAN, lanjutnya, sudah mengevakuasi lebih dari seratus ekor satwa baik mamalia ataupun primata. JAAN memiliki standar, setiap satwa yang dievakuasi untuk dironsen. Dari situ pihaknya menemukan, hampir rata-rata satwa tersebut terdapat peluru di tubuhnya. Tahun 2017 JAAN menyelamatkan monyet yang di tubuhnya ditemukan 21 peluru.

Ada satu peluru di dekat jantung yang tidak bisa diangkat karena membahayakan nyawanya. Dari luka di tubuhnya, peluru-peluru tersebut sudah berada di tubuhnya dalam waktu yang lama dan ada yang baru. Pada awal tahun 2018, JAAN menyita dua ekor siamang. Salah satu bayi siamang yang dironsen ada peluru di lengan dan paha.

“Hampir 90 persen satwa yang kita selamatkan terdapat peluru. Ini yang kita dengan beberapa teman lsm mengkampanyekan agar ada pengawasan ketat penggunaan senapan angin. Senjata angin apapun harus diilegalkan. Karena ini jelas membahayakan satwa liar di alam. Tidak hanya satwa yang dilindungi, satwa yang tak dilindungi juga dalam bahaya, Karena bisa jadi saat mereka iseng menembak tikus, biawak, tapi hanya sekedar mematikan,” katanya.

Dr Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) menyatakan keprihatinan mendalam atas masih maraknya penggunaan senapan angin yang mengakibatkan banyaknya satwa liar dilindungi yang menjadi korban. Kondisi Hope masih sangat serius dan tim medis SOCP tetap bekerja kerasuntuk mengupayakan keselamatanya.

“Kami sedih sekali menghadapi  kasus seperti ini, terutama karena ini bukan kasus pertama. Kami telah menerima dan merawat cukup banyak orangutan yang tubuhnya penuh dengan puluhan,bahkan ada yang lebih dari seratus
peluru akibat ditembak oleh masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/3/2019)

Ian menambahkan susah untuknya memahami
bahwa di tahun 2019 ini masih saja ada sebagian masyarakat yang menembak satwa seperti Hope bersama bayinya yang baru saja dilahirkan. “Sulit dimengerti ada orang yang menembak orangutan dengan sangat brutal tanpa merasa bersalah,” katanya.

Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan, para pemangku kepentingan (stakeholder) sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan karena banyak hal yang tidak singkron. Misalnya, pemerintah meminta semua harus menjaga hutan tapi masih ada yang merambah dan tidak diproses hukum.

Kemudian, para oknum yang memelihara orangutan belum dijamah hukum. Menurutnya,  butuh penegasan dari pemerintah untuk penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan karena tidak mungkin bisa memberi efek jera bila semua orang yang memelihara orangutan tidak diproses hukum sama sekali. “Sudah seharusnya senapan angin dilarang. walau sudah ada Perkapolri tentang larangan senapan angin tapi belum ada penerapan,” katanya. [KM-05]

Sumber foto : YEL-SOCP/Suryadi

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.