Penanganan Sampah Harus Menjadi Gerakan Sosial di Masyarakat dan Pemerintah

MEDAN, KabarMedan.com | Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut Dana Prima Tarigan, menilai Pemko Medan belum membuka diri maupun mengundang organisasi masyarakat seperti Walhi Sumut untuk mencari langkah-langkah yang diperlukan pasca pencanangan Medan Zero Waste City 2020, pada 22 April 2018 lalu.

Padahal, katanya, infrastruktur untuk penanganan sampah sudah ada. Infrastruktur itu termasuk perangkat regulasinya. Bersamaan dengan itu, penanganan sampah Kota Medan harus dilakukan secara radikal.

Penanganan sampah, katanya, harus menjadi gerakan sosial mulai dari masyarakat hingga aparat pemerintah. Ke depan, Pemko Medan tidak boleh ‘meng-eksklusifkan’ diri bahwa mereka saja yang mengerti penanganan sampah.

Selain itu, dalam penanganan sampah harus ada reward & ounishment. Tidak cuma kepada pembuang sampah, tetapi kepala lingkungan, camat juga harus ‘dijewer’ jika lingkungannya kotor.

“Harus ada regulasi yang mengikat agar produsen juga mengambil sampah. Tidak hanya memberikan bantuan pada saat ada event seperti ini misalnya,” katanya, Kamis (21/2/2019).

Dana mengatakan, saat ini belum banyak yang menyadari bahwa sampah plastik memiliki bahaya yang sangat serius. Tidak sekedar membuat banjir. Kandungan di dalam sampah plastik sangat berragam dan karenanya harus menjadi perhatian serius. Dia menyadari bahwa merubah mindset bukanlah hal mudah.

“Saya rasa semua harus paham tentang sampah, khususnya sampah plastik ini. Tentang bahayanya, dan tindakan apa yang harus dilakukan. Pelaku usaha apa yang harus dibuat, pemerintah buat apa dan kita masyarakat buat apa,” ucapnya.

Arma Chaniago, pegiat bang sampah memulai sejak 2009 secara otodidak dan membangun Rumah Kompos dan Bank Sampah Induk Sicanang pada Desember 2014.

Di Kota Medan saat ini sudah ada 100 bank sampah unit dan baru 1 bank sampah induk yang dikelolanya. Medan sendiri memiliki 2.000 lingkungan dan kalau saja di setiap kelurahan atau kecamatan ada bank sampah unit, maka akan sangat mengurangi sampah yang masuk ke TPA.

Rumah Kompos dan Bank Sampah Induk selama ini sudah didatangi mahasiswa dari Jerman, Kanada, India dan lainnya untuk belajar pengelolaan bank sampah.

Namun, masih ada kekurangan terkait pencapaian dalam hal pengurangan sampah di pemukiman. Pasalnya, pengelolaan bank sampah berbasis komitmen sehingga jika kalau tidak dianggap tidak menguntungkan maka tidak akan dilakukan oleh masyarakat.

Meski demikian, ada geliat yang menggembirakan dalam pengelolaan sampah jika dilihat dari tahun 2013 baru ada 23 bank sampah, tahun 2019, sudah ada 218 bank sampah unit di 7 kabupaten/kota di Sumut yakni Medan, Binjai, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Mandailing Natal, Asahan dan Tanjung Balai dan di Aceh di Gayo Lues d and Aceh Tenggara.

Dia menambahkan, setiap minggu, di bank sampah unit mengelola 150 kg. Jika dihitung satu bulan mengelola 800 ton di gudang Rumah Kompos dan Bank Sampah Induk Sicanang. Barang-barang yang dikelola yakni sampah kertas, plastik, kaca, logam dan lainnya.

“Kita kan mengirimkan sampah-sampah itu ke industri. Dan untuk kaca, Medan dan Surabaya adalah yang tervesar,” jelasnya.

Menurut Arma, dari sebagian besar sampah yang diterima adalah untuk industri pengolahan untuk didaur ulang. Hanya sebagian kecil yang mengolahnya menjadi hasil kreatifitas.

Dampaknya tidak signifikan dalam pengurangan sampah. Begitupun dalam pemasaran juga terbatas pada saat pameran.

“Ada sih ada, tapi sedikit dan tidak signifikan. Terbatas sekali pemasarannya,” pungkasnya. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.