Pengelolaan DAS Menjamin Pembangunan Berkelanjutan

MEDAN, KabarMedan.com | Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37/2012, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah  daratan  yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan  sungai dan anak-anak sungainya  yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Faktanya, DAS tak dikelola dengan bijaksana.

Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP,  Pengurus Forum Koordinasi DAS Sumatera Utara/Staf Pengajar Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana USU mengatakan, sudah seharusnya manusia dapat mengelola DAS dengan bijaksana karena ada hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia. Segala aktivitasnya harus bisa memberi manfaat agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem. Dengan begitu akan meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

“Manfaat ekosistem DAS yang baik, dia bisa menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan secara seimbang. Banjir yang terjadi selama ini di mana-mana karena tidak seimbangnya ekosistem. Kita tidak lagi bijak dan beretika dalam membangun, lihat saja umumnya pola pembangunan di banyak tempat,” katanya, Jumat (15/3/2019).

Dia mencontohkan perbedaan cara pengelolaan DAS di Haiti dan Republik Dominika. Kedua negara tersebut dipisahkan oleh sungai. Pengelolaan DAS di Haiti tidak lebih baik terbukti dengan banyaknya praktik penggundulan hutan. Berbeda dengan Republik Dominika yang menjaga hutannya tetap lestari. Kelestarian DAS, kata dia, bisa dilihat dari sungainya. “Sungai dari DAS di Haiti airnya keruh, di satu titik bertemu dengan sungai dari Republik Dominika yang jernih, ini sangat mudah mengidentifikasi mana yang DAS-nya dikelola dengan baik dan tidak,” katanya.

Menurutnya, ada 5 prinsip dasar pengelolaan DAS. Pertama memperbesar daya jerap tanah terhadap air, memanen air hujan, menahan sementara air hujan untuk tidak secara langsung terbuang ke saluran drainase, mengelola situ-situ menjadi area bisnis berbasis pengelolaan air
dan memperbaiki serta memelihara badan-badan air agar tetap dapat menampung dan menyalurkan air dalam kapasitas maksimumnya. Dia kemudian memberi contoh pengelolaan air di lahan budidaya kelapa sawit.

Pihaknya sudah berulang kali menyampaikan kepada pihak perkebunan untuk membuat piringan terbuka ada, bukannya piringan telungkup, sehingga bisa menampung air.  Piringan dibuat seperti piring yang memiliki bibir di bagian tepi dan cekungan di bagian tengahnya. Bentuk seperti piring ini dapat menampung air hujan dan mencegah kehilangan pupuk akibat erosi.

Piringan pada perkebuan kelapa sawit, dengan diameter 2 m dan kedalaman cekungan rata-rata 10 cm saja, setiap piringan dapat menampung air hujan sebanyak 0,63 m3 atau 630 liter air per pohon atau sebanyak 85,05 m3 per hektar atau sekitar 85.050 liter. Ini setara dengan 8,5 mobil tangki berkapasitas 10.000 liter. “Kalau 1 hektar kebun kelapa sawit terdapat 135 pohon, bisa dihitung berapa yang ditampungnya,” katanya.

Embung atau kolam-kolam kecil yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan pada lahan pertanian, terutama di lokasi yang sangat sulit mendapatkan sumber air, biasanya pada punggung dan puncak lereng juga efektif menampung air. Pada dasar kolam (embung) diberi lapisan kedap air berupa plastik atau dibeton agar air tidak mudah habis dari dalam embung. Dengan ukuran embung 3x3x2 meter misalnya, maka dapat ditampung tambahan air sebanyak 18 m3 untuk setiap embung.

“Bila setiap 500 m2 lahan dibuat satu embung, maka setiap hektar akan terdapat 20 embung. Ini berarti dapat ditampung air hujan sebanyak 360 m3 per hektar atau setara dengan 360.000 liter per hektar,” katanya.

Ada banyak lagi cara yang bisa dilakukan misalnya dengan membuat lubang biopori, bak penampungan, sumur resapan. Selain itu juga perlu untuk merehabilitasi lahan kritis, menanam pohon agar bantaran sungai menjadi kuat dan lain sebagainya. Dia menambahkan, yang juga penting adalah, ketika membuat tapak halaman, trotoar dan badan jalan, bahan yang digunakan adalah coneblock atau lantai berlubang-lubang di kawasan pemukiman dan atau perkantoran dapat membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah, sekaligus halaman tetap bersih dan indah.

Pengerasan halaman rumah dan badan-badan jalan di area pemukiman/perkotaan menggunakan beton semen atau aspal, kata dia, menyebabkan tanah di kawasan tersebut tidak dapat menyerap dan menyimpan air sehingga menimbulkan genangan/banjir saat terjadi hujan. “Kesimpulannya adalah, pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan DAS menjamin pembangunan berkelanjutan. Kita harus tahu bahwa banjir yang kita alami ini karena kita kurang baik dalam mengelola DAS,” katanya [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.