Perempuan Harus Terlibat Aktif Secara Luas di Bidang Politik

MEDAN, KabarMedan.com | Tingkat partisipasi langsung perempuan di arena pesta demokrasi masih sangat minim dan memerlukan perhatian serius, sebab belum maksimalnya pengetahuan dan pengalaman perempuan tentang politik. Tidak sedikit pula kaum perempuan menafsirkan secara hitam putih, bahwa politik adalah tindakan “gambling” serupa dengan berjudi di arena kasino.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik “Kuota Perempuan dalam Pilkada Sumut 2018” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Sumut, di Cafe d’Palazz, Jl D.I Panjaitan, Medan, Kamis (28/12/2017).

“Perempuan terkesan kurang berani bertarung dalam arena politik. Padahal jika berani belum tentu kalah. Jika pun kalah setidaknya sudah memiliki pengalaman yang bisa di evaluasi kemudian ditingkatkan. Tetapi kelihatannya perempuan lebih memilih berperan sebagai “corong “ atau sebagai anggota tim sukses kampanye, tim survei dan sebagainya,” kata Ketua DPD Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumatera Utara, Nurhasanah.

Namun demikian lanjut Nurhasanah, perempuan yang mengambil “peran kecil” di pesta politik seperti itu dapat memanfaatkannya sebagai ajang memperluas jaringan dan membuatnya lebih dikenal luas, sebagai upaya beralih ke peran yang lebih tinggi, sebagai bakal calon pemimpin daerah ataupun di lembaga perwakilan rakyat.

Lebih lanjut, Fika Rahma selaku Sekretaris AJI Medan, yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut mengungkapkan keterlibatan perempuan di arena politik sangat kecil. Padahal telah ada regulasi yang secara filosofis mendorong perempuan Indonesia agar terlibat lebih aktif dan luas di bidang politik, apalagi di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

“Ada tiga acuan regulasi yang dapat dijadikan pijakan bagi perempuan yang hendak berpolitik praktis, yakni UU No. 31/2002 Tentang Partai Politik, UU No. 2/2008 Tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana, UU No. 2/2008 mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat,” ungkap Fika.

Menurut dia, angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

“Dalam UU No. 10/2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Peraturan lainnya adalah dengan menerapkan zipper system, bahwa setiap 3 bakal calon setidaknya ada satu orang perempuan,” ujar Fika.

Ketentuan itu sendiri termaktub dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10/2008. Kedua kebijakan ini bertujuan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.