Tetapi, jam digital memvirtualkan kelajuan hidup manusia dalam wujud angka dinamis, tetapi tanpa gerak berotasi, karena ia tidak lagi mewakili matahari. Hanya ada tanda titik dua mewakili detik yang timbul tenggelam, lalu berubahlah jam dan menitnya. Begitulah jam digital, tidak ada sudut yang mewakili hiruk pikuk hidup manusia. Tidak ada penunjuk sudut relatif antara dua jarum panjang, pendek, dan jarum merahnya. Tentu saja tafsiran saya ini di luar upaya sukses teknologi yang memvirtualkan gerak jarum jam analog di perangkat digital.
Di masa depan, walaupun matahari masih ada, jikalau memang jam analog tergantikan total oleh jam digital, kita sepantasnya lupa, bahwa pukul sepuluh lebih sepuluh menit atau pukul dua puluh dua lebih sepuluh menit, dalam dunia jam analog membentuk segitiga terbalik, mengumpamakan suara-suara populasi mayoritas warga di bagian atas dan di lapisan terbawah adalah kaum minoritas. Tetapi kata “pukul” bagi orang Indonesia kerap tidak kita lupakan, karena bagian dari jam analog generasi awal: ada mekanisme pemukul lonceng agar jam berbunyi mengomunikasikan waktu.
Pukul Keras
Kata “pukul” yang tidak kita lupakan itu pula digandeng erat dengan kebencian kita terhadap kaum minoritas yang menang di aspek ekonomi. Kita menjalani waktu dan masa hidup kita dengan kata dan laku pukul itu. Maka, jadilah api dan keporak-porandaan rumah Tuhan, sebuah “tindakan kiri-banal” melawan arah jarum jam. Kedua belah pihak yang bertikai memang tidak sama-sama benar, tetapi jelas sama-sama salah, karena tidak memenangkan kasih dan damai di dalam hatinya. Adalah keliru bereaksi terlampau keras, di kala ditegur yang kadarnya memang sensitif. Kata tegur bernada “melarang” tidak sepadan dengan kobaran api di 6 rumah Tuhan. Ingat, seperti perputaran jarum jam, dari titik manapun kita merujuk, lalu bergerak, pasti akan kembali ke titik semula. Artinya, kekerasan sangat mampu menelurkan kekerasan-kekerasan lain, bahkan menciptakan citra negatif kepada kaum tertentu. Lebih tepatnya kita sebut saja laksana bumerang, yang memang dengan sudut tertentulah, ia bisa berbalik ke arah sang pelempar.
Segitiga tadi, kalau sudut pandangnya dibalik, maka polaritas kekayaan ada di kubu minoritas yang kian melanggengkan segregasi sosial, soal keserakahan dan ketajaman deviasi ekonomi. Dan dunia digital, yang mengandalkan angka biner 0 dan 1, kini kian dibenci karena efektif mereduksi keterlibatan manusia, khususnya dalam dunia kerja dewasa ini. Pada Januari 2016 World Economic Forum (WEF) mengingatkan, lebih dari 5 juta pekerjaan di negara-negara makmur dunia akan hilang pada 2020 akibat perubahan pasar tenaga kerja. Sebuah studi yang dilakukan para peneliti Universitas Oxford, pada 2013 menyimpulkan, 47 persen dari semua pekerjaan di Amerika Serikat berisiko terhadap komputerisasi. Artinya ada ketimpangan polarisasi uang dan keuangan. Kasus kekerasan akhir-akhir ini, seperti di Tanjung Balai pun secara langsung dipanasi-panasi oleh teknologi digital, karena memungkinkan pesan dikirimkan berantai secara cepat dan luas, tetapi rentan manipulasi fakta.
Kita tidak ingin menyalahkan teknologi semata, tetapi kecakapan individu pengguna yang dipertajam. Yang dituntut adalah kebajikan pribadi yang hangat dalam melihat situasi, bukan panas, sepanas kertas tisu terbakar selepas tersiram bensin. Kita juga tidak ingin kertas tisu itu mengusap air mata hasil kekerasan.
Kedamaian Sumatera Utara memang sedang terusik, tetapi kita juga yakin itu tidak semakin berisik. Keharmonisan wilayah ini sejak lama menjadi barometer daerah lain. Kita membanggakan itu sebagai identitas penting, sepenting aparat keamanan dan pemimpin daerah yang menjadi perekatnya. Hari ini kita kecolongan, karena ada hantu merasuki waktu yang bukan kiri ataupun kanan.












