Udara Bersih Kini Berbayar di Beijing

Ilustrasi: European News

Oleh: Desi Saragih

Di masa-masa Sekolah Dasar, biasanya ada dua hal yang kita pelajari ketika belajar sains. Pertama, udara segar itu gratis. Kita hanya perlu membuka jendela di ujung pagi buta, lalu membiarkannya menyeruak masuk melalui celah jendela. Kedua, Air juga tidak akan pernah habis. Siklus alami pada alam membuat produksinya selalu berputar, dari awan menjadi butiran uap, yang kemudian turun ke bumi menjadi hujan.

Sedari belum mengenal perbedaan huruf “b” dan “p”, nampaknya kita setuju bahwa kita telah paham secara pasti, soal air dan udara yang menjadi kebutuhan pokok paling esensial makhluk hidup sejagad raya. Di tahun silam, banyak dari kita yang masih santai mengulang perkataan bahwa air dan udara akan selalu ada karena secara alamiah tersedia secara cuma-cuma. Tidak perlu bekerja untuk mendapatkannya. Lalu, apa jadinya jika penyokong hidup paling penting ini malah mengalami keterancaman? Masihkah kita bisa dengan enteng mengulang perkataan yang demikian?

Hal Inilah yang terjadi belakangan, tidak hanya sandang-pangan-papan, kini udara bersih menjadi asset ekonomi berharga di Beijing, China. Lupakan sejenak soal industri elektronik, karena pengusaha penjernih udara justru meraup untung berlipat kali lebih banyak.

Mei 2017, Moses Lam (CEO Vitality, perusahaan penjual oksigen botolan yang dipasok dari Rocky Mountain, Kanada) mengaku kelimpungan memenuhi tingginya permintaan produk oksigen kalengannya. Melalui BBC, Lam mengakui bahwa ia memulai bisnisnya untuk dijual sebagai hadiah lucu-lucuan. Diluar dugaan, dalam hitungan bulan bisnis hadiah-lucu-lucuannya malah beralih peran menjadi opsi premium masyarakat yang rela membayar lebih untuk kesehatan. Harga yang dibandrol juga tidak tanggung, yakni 24$ per botol (sekitar 319 ribu rupiah) dan berkapasitas sekitar 160 kali tarikan nafas.

Kemirisan ini bukan guyonan, karena 21,5 juta penduduk Beijing benar-benar berkutat dengan selimut asap tebal selama 2 tahun terakhir. Di jalan-jalan protokol sekalipun, riuh kemacetan yang biasa terjadi di jam padat aktivitas akan berganti dengan suasana hening gelap dan berasap tebal. Beberapa pejalan kaki yang terpaksa menyisiri jalanan berasap tampak menutupi setengah wajahnya dengan masker, berharap setidaknya masker itu cukup tangguh untuk menyaring asap yang akan dihirup masuk ke tubuhnya.

Menurut Greenpeace, polusi udara di China ini membahayakan kesehatan masyarakat karena terdapatnya partikel kecil yang dikenal dengan nama PM2.5. Partikel ini lebih sensitif terhadap berbagai logam berat beracun, oksida asam, polutan organik, bahan kimia lainnya, serta mikroorganisme berbahaya seperti bakteri dan virus yang terdapat di udara.

Menurut Vivienne Marcus, ahli fisiologi manusia, dalam hitungan 24 jam, normalnya manusia akan menarik nafas hingga 17,820 kali yang setara dengan menghirup sekitar 8640 liter udara. Dalam perbandingan ini, 21,5 juta penduduk Beijing harus menghadapi paparan langsung zat-zat berbahaya dalam udara yang mau tidak mau, ikut menumpang masuk ke dalam tubuh.

Kontak langsung zat-zat berbahaya ini dalam 17,820 hirupan nafas akan berakibat buruk bagi kesehatan. Greenpeace merelease sebuah video kampanye terkait smogcalypse (sebutan warganet untuk tragedi polusi asap yang terjadi di Beijing) ini, video tersebut diakhiri dengan kata-kata: ‘Paru-paru melihat apa yang mata Anda tidak lihat.’ Pesan singkat yang dirasa cukup mewakilkan kondisi Beijing saat ini. Sebab meski dampak asap tidak benar-benar kasat mata, bukan berarti kesehatan dalam keadaan baik saja.

Foto diambil di lokasi yang sama, kondisi cuaca masing-masing pada tanggal 23 Februari 2017, dan 4 Mei 2017 di Beijing. (Ecns.cn)

“Batubara bertanggung jawab atas 60 persen dari PM2.5 di China,” tutur Dong Liansai, Greenpeace Asia Timur untuk Perubahan Iklim dan Kampanye Energi. Dikatakannya, polusi udara yang terjadi saat ini disebabkan oleh kombinasi dari emisi yang dhasilkan industri, namun sumber terbesar adalah batu bara.

Meski terkesan mengambil kesempatan dalam kesempitan, produk perusahaan Vitality nyatanya sangat membantu, terutama bagi masyarakat yang mampu merogoh 24$ dari kantong demi oksigen dalam bongkahan kaleng atau botol. Hal ini tentu sangat mencekik leher bagi masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah. Meski dalam banyak kesempatan pemerintah sering membagikan oksigen gratis, rumah sakit dan pusat-pusat layanan kesehatan masih dilauti pasien dengan keluhan penyakit pernafasan, terutama lansia dan anak-anak.

Produk Vitality Air (sumber: laman resmi Vitality)

“China, India, dan Korea Selatan adalah tempat yang mencekik karena udara yang tercemar, di mana banyak orang benar-benar meninggal dunia sebelum waktunya karena polusi,” jawab Lam ketika ditanya BBC.

Indonesia saat ini: proyeksi peneliti berpacu dengan emisi

Hal yang kita rasa mustahil dulu – bahwa udara segar akan selalu gratis – telah mentah-mentah terpatahkan oleh fakta penjualan udara bersih di Beijing. Lalu, mungkinkah Indonesia akan menghadapi nasib yang sama?

Tahun 2015, WHO – organisasi PBB untuk menangani kesehatan, menerbitkan Climate and Health Country Profile. Publikasi yang bisa diakses secara daring ini memuat tinjauan komprehensif mengenai ancaman yang mungkin dihadapi suatu negara dari makin hangatnya suhu bumi. Dilengkapi dengan infografis dan data representatif, terbitan ini banyak memuat proyeksi yang mengejutkan.

Berpenduduk 250 juta jiwa, Indonesia ditantang untuk sigap menghadapi sergapan perubahan iklim. Sebagai negara tropis beriklim hangat, Indonesia menjadi target empuk berkembangnya vektor penyakit berbahaya. Hal ini dipicu oleh anomali cuaca dalam dekade terakhir yang semakin memperparah dampaknya, terutama bagi kesehatan publik.

WHO (2012) menyatakan bahwa dari 566,000 kasus kematian di Indonesia, 23% karena pengaruh polusi rumah tangga. Seolah berita buruknya belum cukup, peneliti memprediksi bahwa Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan akan mengalami 89.000 kematian prematur tahunan (kematian yang terlalu dini) diakibatkan polusi udara di luar ruangan (Shindell, D., et al, Science, 2012).

Tak berhenti di polusi, ancaman malaria ikut diseret menjadi sorotan. Menjelang 2070, 308 juta penduduk Indonesia dipredikasi beresiko terkena malaria (Rocklöv, J., Quam, M. et al. 2015). Untuk ketercapaian menurunnya angka kejadian Malaria atau annual parasite incidence (API) secara nasional agar diperoleh angka 0,85 per 1000 pada tahun 2015,

Kementerian Kesehatan Indonesia melalui laman resminya menyatakan telah memeras usaha sejak 5 dasawarsa silam. Jika kita baru bisa memetik hasil setelah 5 dasawarsa, jika proyeksi ini benar terjadi (bahkan setengahnya), kesungguhan usaha sampai tahap mana yang harus bersama-sama kita persiapkan?

Aedes aegyptii (ilustrasi oleh rediff.com)

Secara alami, malaria dan demam berdarah, memang akan lebih sering ditemukan kasusnya di negara bersuhu hangat dibandingkan negara bersalju. Jawabannya sederhana, karena vektor penyakit berbahaya ini merupakan penyuka suhu hangat. Jika udara kotor di Beijing dapat diredakan sejenak dengan penyaring udara, vektor-vektor penyakit ini tidak serta-merta dapat diatasi oleh solusi jangka pendek.

Selain bersifat biologis, anomali alam yang tidak terprediksi, serta bergantungnya usaha pengendalian vektor penyakit pada ketersediaan obat pendukung, menuntut komitmen jangka panjang tidak hanya dari pemerintah, namun juga semua lapisan masyarakat.

Dalam kasus Beijing, pembakaran batubara tidak hanya bersumbangsih pada lingkungan yang penuh asap dan mengandung zat berbahaya, tapi juga peningkatan suhu akibat padatnya gas asing di udara yang tercampur dengan oksigen yang notabene adalah penyejuk alami sediaan alam. Oksigen yang harusnya dapat diperoleh dari pepohonan, malah diperoleh dari botol dan kaleng seharga 24$. Demi memajukan industri batubara, jutaan pohon dikorbankan, dan pada akhirnya manusia harus membayar lebih dari keuntungan yang industri berikan.

Bagi negara beriklim tropis (termasuk Indonesia), suhu berperan sebagai dadu dalam penentuan jalan kehidupan ekosistem di alam. Drastisnya peningkatan suhu akibat perubahan iklim, mengakibatkan tumbuh-suburnya vektor-vektor penyakit penyuka suhu hangat. Perubahan iklim kerap menjadi kambing hitam pada tren negatif pertumbuhan vektor penyakit berbahaya, akan tetapi kita tidak boleh lupa, bahwa manusia menjadi pelempar dadunya.

Prediksi polusi udara parah di Beijing telah lama dilontarkan peneliti dan pemerhati lingkungan ke ranah publik. Akan tetapi, terlambatnya perubahan positif yang diharapkan menjadi boomerang yang tidak hanya merugikan penduduk Beijing, tapi juga masyarakat global. Perubahan iklim terjadi akibat pembiaran kita pada perusakan alam, akibat abai dan memandang sebelah mata bahwa masa mendatang itu masih sangat lama, dan prediksi-prediksi ilmiah ini masih bisa ditunda penyelesaiannya.

Demi kesehatan, masyarakat mampu di Beijing rela merogoh saku hingga ribuan dolar untuk melindungi dirinya dan orang-orang yang berharga baginya. Masyarakat kecil yang tidak mampu, terpaksa bertahan hidup dengan lembar tipis penutup hidung dan bantuan udara segar gratis dari pemerintah.

Beijing bisa jadi wajah Indonesia di masa depan

Kesehatan sebagai nilai yang paling diperjuangkan untuk keberlangsungan hidup, akan dipertaruhkan dalam ketidakseimbangan antara perkembangan industri-penghasil polusi dan upaya pemeliharaan alam. Dengan tingkat penggundulan hutan tercepat kedua sedunia, akan berpengaruh pada pasokan oksigen yang hanya bisa dihasilkan oleh tanaman. Tak hanya memasok oksigen, pohon juga berperan sebagai penyerap polusi paling efektif.

Gundulnya hutan akan memangkas jumlah pemasok oksigen dan filter polusi di udara. Alhasil, tingginya polusi akan tidak sebanding dengan jumlah penyejuk ekosistem bawaan alam. Hal yang nampak sepele ini, akan berimbas pada semakin hangatnya suhu. Dan benar saja, karena perubahan suhu ekstrem, peneliti banyak menyajikan data valid betapa kondisi kita saat ini jauh memburuk dibandingkan tahun-tahun dibelakang.

Akankah kita berdiam menunggu masa depan datang? Ataukah bersiap dari sekarang? Kesehatan adalah asset yang dipinjamkan kepada kita kini dan nanti. Alam pula, satu-satunya harapan kita untuk menjamin kehidupan kini dan nanti.

Mari menjaga alam, agar alam pun menjaga kita.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.