Verifikasi Media: Mendorong Profesionalisme Pers Atau Bredel Gaya Baru?

Oleh: Agoez Perdana | Proses pendataan dan verifikasi perusahaan pers yang dilakukan oleh Dewan Pers terus menuai pro dan kontra. Sebagai tanda bagi media cetak dan siber yang sudah terverifikasi, Dewan Pers akan memberikan logo yang di dalamnya terdapat barcode, yang dapat dipindai dan tersambung ke data Dewan Pers terkait perusahaan pers tersebut. Sementara untuk media televisi dan radio akan dipasang bumper-in dan bumper-out khusus, yang mengapit program berita yang disiarkan.

Wacana pemblokiran bagi situs media siber yang tidak terverifikasi juga mengemuka, alih-alih menertibkan media siber abal-abal versi Dewan Pers; penertiban ini dikhawatirkan menjadi celah baru bagi rezim untuk melakukan pembredelan gaya baru.

Banyak persoalan yang dihadapi di lapangan untuk memenuhi semua aspek yang disyaratkan Dewan Pers, agar sebuah perusahaan pers dapat memperoleh label “terverifikasi”. Ketiadaan Petunjuk Teknis yang rinci dari Dewan Pers, membuat proses pengurusan izin-izin terkait pendirian perusahaan pers membingungkan dan banyak menemukan kendala.

Selama ini sosialisasi tentang Standar Perusahaan Pers yang dilakukan Dewan Pers hanya dilakukan di kalangan industri media saja, hampir tidak pernah ada sosialisasi ke Ikatan Notaris Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak, serta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten/Kota.

Dari pengalaman penulis mengurus persyaratan yang berkaitan dengan pendirian perusahaan pers siber berbentuk Perseroan Terbatas (PT); para penyelenggara perizinan seperti Notaris, Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak, dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu kelihatan gagap karena bingung untuk mengklasifikasikan bidang usaha perusahaan pers. Untuk itu, Dewan Pers diharapkan mengeluarkan Petunjuk Teknis (Juknis) yang memberikan penjelasan lebih detail soal persyaratan dan perizinan perusahaan pers kepada instansi terkait diatas.

Satu lagi persoalan yang dihadapi terutama dalam pengurusan perizinan media siber misalnya, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di beberapa daerah mengharuskan pemohon melampirkan Surat Rekomendasi dari Dinas Komunikasi dan Informatika setempat. Artinya, media siber tersebut harus “mendapat restu” untuk beroperasi dari Pemerintah. Tentu hal ini bertentangan dengan semangat kebebasan pers seperti yang termaktub dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Perbedaan kebijakan terkait proses perizinan pendirian perusahaan pers juga cenderung terjadi di berbagai daerah. Misalnya, di daerah tertentu ada perusahaan pers yang selain mendapatkan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Izin Gangguan (HO) dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu; namun juga mendapatkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), padahal perusahaan pers bukanlah termasuk badan usaha yang melakukan kegiatan dalam bidang perdagangan.

Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 46 Tahun 2009 yang menyebutkan, bahwa kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan dikecualikan dari perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di luar perdagangan. Selain itu, dalam Permendag tersebut menyatakan, Surat Izin Usaha Perdagangan juga tidak bisa dipakai untuk bidang usaha perdagangan yang telah diatur melalui aturan perundang-undangan tersendiri, dalam hal ini perusahaan pers tunduk pada aturan UU Pers No. 40/1999.

Bentuk dan standar perusahaan pers

Sesuai Pasal 1 ayat 2 UU Pers No. 40/1999, badan hukum untuk penyelenggaraan usaha pers adalah badan hukum yang “secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Dengan demikian, bentuk badan hukum untuk perusahaan pers tidak dapat dicampur dengan usaha lain selain di bidang pers.

Saat ini, rujukan terkait bentuk dan standar perusahaan pers hanyalah Peraturan Dewan Pers No.4/Peraturan-Dp/III/2008 Tentang Standar Perusahaan Pers, yang diperbarui dengan Surat Edaran Dewan Pers No.01/SE-DP/I/2014 Tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers.

Dalam butir 1 peraturan tersebut berbunyi “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia” (merujuk pada Pasal 9 Ayat 2 UU No. 40/1999). Sesuai Standar Perusahaan Pers, badan hukum Indonesia yang dimaksud di atas berbentuk Perseroan Terbatas (PT), atau badan-badan hukum lainnya yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan hukum lainnya yaitu Yayasan atau Koperasi.

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menjelaskan, bahwa Yayasan tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha, dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya. Dengan kata lain, ketentuan tersebut di atas menegaskan bahwa Yayasan harus mendirikan badan usaha terpisah jika ingin menjalankan usaha di bidang perusahaan pers.

Sementara itu, secara umum kegiatan usaha dalam koperasi ada empat, yakni simpan pinjam, jasa, konsumsi dan produksi. Status badan hukum koperasi disahkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Menurut jenjangnya, terdiri atas koperasi primer yang dibentuk sekurang-kurangnya 20 orang, dan koperasi sekunder yang dibentuk sekurang-kurangnya 3 koperasi primer. Banyaknya jumlah orang dalam pendirian sebuah koperasi untuk menjalankan bidang perusahaan pers tentu akan menyulitkan dalam proses pendiriannya.

Yang patut digarisbawahi, perusahaan pers yang tidak berbadan hukum dapat dikenakan pidana denda seperti tercantum dalam Pasal 18 ayat 3 UU Pers No. 40/1999, yang berbunyi “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 UU Pers No. 40/1999, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Nah, bagaimana jika media tersebut berbentuk badan hukum namun menurut penilaian Dewan Pers tidak memenuhi standar perusahaan pers dan tidak layak mengantongi label sebagai media “terverifikasi”?, tidak menutup kemungkinan media tersebut dapat dikenakan pidana denda seperti tercantum dalam Pasal 18 ayat 3 UU Pers No. 40/1999.

Jika merujuk pada peraturan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, maka perusahaan pers dapat dikategorikan sebagai Perseroan Terbatas (PT) Usaha Khusus, sebagai maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya. Bidang usaha khusus adalah bidang usaha yang secara khusus melakukan suatu bidang usaha khusus, yang perizinannya juga harus dimohonkan ke instansi khusus.

Merujuk pula pada Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia No. 95 Tahun 2015 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), maka perusahaan pers masuk dalam kategori Informasi dan Komunikasi, dengan sejumlah sub golongan antara lain: Penerbitan Surat Kabar, Jurnal dan Buletin atau Majalah (KBLI 58130), Penyiaran Radio Oleh Pemerintah (KBLI 60101), Penyiaran Radio Oleh Swasta (KBLI 60102), Aktivitas Penyiaran dan Pemrograman Televisi Oleh Pemerintah (KBLI 60201), Aktivitas Penyiaran dan Pemrograman Televisi Oleh Swasta (KBLI 60202), Aktivitas Kantor Berita Oleh Pemerintah (KBLI 63911), Aktivitas Kantor Berita Oleh Swasta (KBLI 63912), serta Portal Web Dan/Atau Platform Digital Dengan Tujuan Komersial (KBLI 63122).

Dalam Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers juga menyebutkan, perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang, namun tidak ada penjelasan instansi lain apa saja yang berwenang mengesahkan sebuah perusahaan pers. Apakah misalnya, Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten/Kota berwenang pula mengeluarkan surat rekomendasi untuk pendirian media siber?, hal ini tentu menjadi suatu hal yang rancu dan patut untuk dipertanyakan.

Upah layak dan isu kebebasan pers

Selain soal bentuk badan hukum perusahaan pers, isu upah layak juga selayaknya dimasukkan dalam persyaratan “verifikasi”, dimana perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan Upah Minimum Provinsi minimal 13 kali setahun (butir 8 Standar Perusahaan Pers). Hal ini harus dibuktikan dengan melampirkan dokumen terkait bahwa perusahaan pers sudah memenuhi aturan upah layak tersebut.

Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan yang memberikan upah lebih rendah dari Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Mininum Kabupaten/Kota (UMK), dapat dipidana paling rendah satu tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta.

Ketentuan tentang Ketenagakerjaan ini perlu ditekankan, karena banyak kasus perusahaan pers hanya memberikan kartu pers kepada wartawannya tanpa memberi gaji, dan meminta wartawannya untuk mencari penghasilan sendiri.

Sejatinya, proses pendataan dan verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers, jangan sampai mempersulit penerbitan media-media profesional yang mengedepankan Kode Etik Jurnalistik namun terganjal hanya karena belum memperoleh label “terverifikasi”.

Pun, jangan sampai regulasi barcode terverifikasi bagi media, menjadi pengulangan layaknya memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) seperti di zaman orde baru yang notabene membatasi kebebasan pers serta hak menyampaikan pendapat dan informasi.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.