Covid-19 dan Tanggung Jawab Negara dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Majda El Muhtaj

Oleh: Majda EL Muhtaj

Pengumuman resmi WHO pada 30 Januari 2020 telah menyatakan bahwa penyakit serius disebabkan virus Corona menjadi perhatian serius masyarakat internasional (public health emergency of international concern/PHEIC). Pada 11 Februari 2020, WHO mengubah nama 2019-nCoV menjadi COVID-19 dan atas dasar taraf eskalasi penyebarannya yang sangat masif dan cepat, pada 11 Maret 2020, WHO menyatakan COVID-19 berkarakter pandemik yang sangat sulit dikendalikan.

Solidaritas internasional pun telah dan terus digalang untuk secara bersama-sama menghadapi musuh bersama yang tak terlihat ini. Sampai hari ini, mendekati hari ke 60 dalam catatan harian WHO, lebih dari 170 negara dan lebih dari 200 ribu orang terjangkit COVID-19 serta menelan korban jiwa lebih dari 8 ribu orang.

Melalui standar dan norma regulasi kesehatan internasional (international health regulation/IHR) tahun 2005 dan Indonesia menjadi negara pihak sejak 2007, selanjutnya pada Februari 2020, WHO juga telah menetapkan delapan pilar penting sebagai pedoman kebijakan strategis kedaruratan dan kewaspadaan menghadapi COVID-19 (CPRP). Pedoman ini menjadi rujukan bagi semua negara dalam bingkai kerja yang integratif, koordinatif, konsultatif dan deliberatif.

Dalam kerangka itu, merujuk ketentuan Pasal 1 IHR, WHO memandatkan pembentukan focal point IHR di level nasional. Presiden Jokowi telah menunjuk Kepala BNPB sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 melalui Kepres No. 7 Tahun 2020.

Gugus-gugus tugas itu juga wajib dibentuk di tingkat daerah oleh kepala daerah, sesuai mandat Pasal 11. Ini merupakan langkah cepat dan serius yang patut diapresiasi. Laman covid19.go.id telah diinisiasi sebagai langkah cerdas membangun aksesibilitas komunikasi intensif sepanjang waktu dengan masyarakat luas sebagai manifestasi dari realisasi kewajiban negara, “duty to warn.”

Hak kesehatan diakui sebagai HAM di banyak instrumen HAM internasional dan nasional. Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf c dan d ICESCR 1966, sebagaimana diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, dengan tegas menyatakan bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan: c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, dan penyakit lainnya; d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Selanjutnya, penting juga dipahami bahwa Komentar Umum No. 14 (2000) terkait Pasal 12 ICESCR itu telah menyatakan aplikasi presisi penting dilakukan negara untuk memastikan terpenuhinya HAM atas kesehatan dengan memerhatikan empat unsur penting kesehatan, yakni (1) ketersediaan; (2) aksesibilitas; (3) akseptabilitas dan (4) kualitas.

Dalam kaitan mengendalikan aneka penyakit menular, negara diminta melakukan langkah-langkah kolaboratif untuk meningkatkan ketersediaan dan penggunaan teknologi, improvisasi kewaspadaan, program imunisasi dan strategi lainnya dalam upaya pengendalian penyakit-penyakit menular (infectious desease).

Negara juga berkewajiban memastikan ragam bentuk pelayanan dasar kesehatan yang non-diskriminatif dan mudah di akses – preventif, kuratif dan rehabilitatif – termasuk penyelenggaraan pendidikan kesehatan masyarakat dan langkah-langkah perbaikan untuk mencegah prevalensi penyakit.

Masih dalam kaitan dengan HAM, Pasal 3 IHR sesungguhnya telah menyatakan bahwa the implementation of these Regulations shall be with full respect for the dignity, human rights and fundamental freedoms of persons (pelaksanaan IHR wajib tunduk pada penghormatan kemartabatan, HAM dan kebebasan mendasar setiap orang).

Ini menunjukkan konstruksi kebijakan internasional dan nasional terkait pencegahan dan penanganan COVID-19 tetap berada dalam kerangka menghormati HAM. Inkorporasi HAM dalam semua langkah pencegahan dan penanganan COVID-19, sebagaimana mandat IHR yang bersifat mengikat, sungguh mengafirmasi pelaksanaan regulasi internasional secara konsisten. (Zuniga, et.al. (Eds), 2013: 383).

Tentu saja, selain negara mampu memastikan sinerjitas semua penyelenggara pemerintahan dan swasta dengan berbasis delapan pilar rencana strategis kedaruratan dan kewaspadaan untuk mencegah dan menangani transmisi COVID-19, langkah optimal pelaksanaan kebijakan terukur dan berkesinambungan itu mewajibkan negara melindungi HAM dengan memastikan ketersediaan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, air, fasilitas medis dan obatan serta ketersediaan fasilitas dan jaminan kesehatan yang dapat mendukung ketangguhan sumber daya petugas dan tenaga kesehatan serta sarana-sarana penunjang kesehatan masyarakat.

Optimalisasi enerji negara sangat penting dilakukan untuk melibatkan partisipasi dan kontribusi seluruh elemen negara, masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan media untuk mencegah dan memitigasi dampak buruk COVID-19.

Selain itu, negara harus mampu memastikan langkah-langkah tersebut dijalankan non-diskriminatif kepada kelompok rentan, seperti anak, perempuan, lanjut usia, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan para tahanan dan warga binaan pemasyarakatan (WBP). Kelompok rentan ini bahkan ditengarai sangat rentan terjangkit COVID-19.

Begitupun, ketentuan Pasal 32 IHR menegaskan segala bentuk tindakan pembatasan yang dilakukan negara semaksimal mungkin mampu meminimalkan setiap tindakan yang tidak nyaman atau menyusahkan (minimize any discomfort or distress associated with such measures).

Atas dasar itulah, segala bentuk potensi pelanggaran HAM dalam rangka pencegahan dan penanganan COVID-19 wajib dihindari. Stigmatisasi, berita-berita bohong/palsu dan perlakuan diskriminatif merupakan tindakan buruk yang wajib dihindari.

Inkorporasi HAM sesungguhnya menjadi bagian integral untuk memastikan langkah-langkah pencegahan dan penanganan COVID-19 mampu dijalankan atas dasar menjunjung tinggi kemartabatan, HAM dan kebebasan dasar manusia, sebagaimana ditegaskan Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom pada 15 Februari 2020, this is a time for facts, not fear. This is a time for rationality, not rumours. This a time for solidarity, not stigma.

Penulis adalah Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Universitas Negeri Medan

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.