Cuma Ada Satu Koran di Singapura

Oleh : Nurhalim Tanjung

SEORANG penggiat pers di Indonesia heran : para wartawan di Singapura tampak lebih sejahtera, padahal pers di negeri itu tidak terbuka.

“Kita tahu kemerdekaan pers selalu berkorelasi dengan kesejahteraan wartawan, semakin merdeka pers di suatu negara maka semakin sejahteralah wartawannya, namun di Singapura justru sebaliknya, persnya tidak semerdeka Indonesia tapi para wartawannya lebih sejahtera. Bagaimana signifikansinya ini?,“ ungkap Wina Armada, mantan anggota Dewan Pers yang kini menjadi komisaris MNC Group.

Dia berbicara dalam diskusi rombongan peserta Hari Pers Nasional (HPN) yang berkunjung ke Singapura dengan Andri Hadi, Duta Besar Indonesia di negara kota itu, Minggu (8/2/2015).

Selain berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia, rombongan peserta HPN yang digelar di Batam, Kepulauan Riau juga bertandang ke kantor The Straits Times, koran terbesar di Singapura yang terbit dalam Bahasa Inggris.

Dubes Andri Hadi mengakui para wartawan di Singapura cukup sejahtera, terbukti pendapatan perkapita negara itu mencapai US$57.238, sedangkan Indonesia cuma US$4.380, tetapi mereka tidak sebebas wartawan Indonesia dalam menunaikan tugas jurnalistiknya.

“Itu karena di Singapura cuma ada satu pemilik media, ya memang ada beberapa koran di sini, dimana terbesar adalah The Straits Times, tapi semua dikendalikan oleh Singapore Press Holdings (SPH) yang notabene miliki Temasek, sedangkan Temasek adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” katanya.

Selain itu, dia mengemukakan, setiap orang Singapura sejak lahir sudah dididik untuk mampu bersaing guna memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga mereka berorientasi mengejar kesejahteraan, termasuk dalam memilih bekerja di industri media. Begitupun, Andri menambahkan, dia pernah bertanya kepada wartawan Singapura yang datang untuk mewawancarainya mengenai harapan mereka terhadap kemerdekaan atau kebebasan pers di negeri itu.

“Soalnya, saya tahu setiap wartawan pasti punya nurani untuk mendapatkan kemerdekaan dalam pekerjaannya,” ungkapnya.

Namun, kata Andri Hadi, para wartawan itu memintanya memaklumi sistem politik di Singapura yang alergi kritik sehingga mereka sulit mendapatkan kemerdekaan pers seperti di Indonesia. Keadaan itulah, menurut Andri, menjadi penyebab pers di sini mirip kondisi pers di Indonesia pada masa orde baru dulu, tidak bebas dalam pemberitaan, termasuk untuk mengritik pemerintah. Sebab, dia mengatakan, berbagai media dikendalikan oleh SPH yang dimiliki Temasek.

“Jadi, pada dasarnya cuma ada satu koran di Singapura ini, ” ungkapnya lagi.

Akibatnya, dia mengemukakan, masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah memilih untuk menggunakan media sosial, seperti blog, facebook, dan twitter untuk menyampaikan kritik karena tidak puas dengan konten berita media mainstream di sini.

“Mereka cukup kritis di media sosial, tetapi kebanyakan pemilik account-nya berdomisili di luar Singapura, untuk menghindari kejaran hukum dari pemerintah,” kata Andri.

Zakir Hussain, Wakil Pemimpin Redaksi The Starits Times, mengakui kehadiran media sosial dan media online telah memengaruhi tiras suratkabarnya.

“Setelah ada media online dan media sosial, pengaruh terhadap oplah memang terasa, bahkan sempat membuat oplah stagnan,” kata Zakir yang pernah menjadi kepala biro The Straits Times di Jakarta selama tiga tahun.

Dia mengungkapkan The Straits Times pernah mencapai oplah 400 ribu eksemplar sehari, tetapi sekarang tinggal 300 ribu – 350 ribu eksemplar saja setiap harinya akibat kehadiran media online dan media sosial. Karena itu, dia mengatakan, pihaknya pun membangun redaksi online yang secara aktif menangani berita online, website dan akun di media sosial.

“Tapi koran (cetak) tetap masih menjadi andalan,” katanya lagi.

Zakir mengatakan saat ini The Straits Times edisi cetak terbit setebal 70 halaman setiap harinya, kecuali di akhir pekan bisa menjadi 100 halaman karena didukung iklan yang lebih banyak.

“Orang Singapura punya waktu lebih banyak untuk membaca koran di akhir pekan, makanya oplah lebih tinggi pada hari Sabtu dan Minggu, iklan pun lebih banyak daripada hari kerja,” ungkapnya.

Apakah The Straits Times pernah kena bredel akibat pemberitaan? Zakir tersenyum.

“Setahu saya tidak pernah, tetapi kami beberapa kali mendapat teguran dari pemerintah, ya saya rasa itu pengalaman yang biasa, semua media sulit menghindarinya,” ungkapnya.

Dia menambahkan The Straits Times yang didirikan tahun 1845 akan memasuki usia 170 tahun pada Juli 2015 nanti.

“Kompetisi media secara umum akan lebih sengit dengan perkembangan media online dan media sosial, tetapi semoga pers bisa memainkan peran untuk memberi maklumat yang tepat kepada masyarakat,” harap Zakir.

*Penulis adalah Wartawan Senior di Medan

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.