Oleh: Desi Saragih
Akhir-akhir ini layanan berlangganan channel TV nasional dan internasional mulai menjamur di masyarakat. Program yang ditawarkan juga beragam, dari fashion dan gaya hidup, drama hingga reality show, bahkan film dokumenter.
Salah satu channel favorit kategori dokumenter yang sudah tidak asing di masyarakat, National Geographic atau biasa disingkat NatGeo, kerap jadi pilihan mantab untuk menyaksikan liputan dari alam, untuk menyaksikan “langsung” flora-fauna menarik, lengkap dengan kualitas Ultra-HD.
Berkat kekayaan endemik yang tidak dapat ditemukan di negara lain, Indonesia masuk daftar negara yang paling sering dieksplorasi. Hasil dokumentasi professional ini kemudian menghiasi layar kaca kita, lalu siap memanjakan mata.
Ada hal yang menggelitik nalar saya. Hal ini berawal dari celetukan asal Bang Ray Nayoan, seorang sineas muda, yang sambil menikmati empek-empeknya tiba-tiba bergumam sendiri waktu channel NatGeo ditayangkan di TV, begini celetuknya ”We have the wildlife in our backyard, yet we prefer to watch it from NatGeo”. (Kita punya alam liar di belakang rumah, tapi kita lebih suka nonton dari NatGeo).
Meskipun tidak benar-benar berjarak selemparan batu ke belakang rumah, agaknya analogi ini masih bisa diterima kebenarannya.
Celetukan asal itu pada akhirnya membawa saya menelisik jauh, dan menemukan ada segelintir fakta miris yang ternyata belum benar-benar tersoroti. Bukan persoalan baru, melainkan hal yang sudah sejak tahun kapan kita dengar jadi polemik, namun belum juga menemukan solusi apik. Menyoal tentang hutan Indonesia, yang kian hari kian terancam keberadaanya.
Sekilas Pengawahutanan Indonesia
Tahun 1998, adalah kali pertama Indonesia dimahkotai Conservation International gelar Negara dengan Megabiodiversitas, gelar yang tidak asal diberikan, karena hanya Negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang mencakup lebih dari 70% yang dapat ditemukan di bumi yang berhak menerima gelar kehormatan ini.
Setidaknya terdapat lebih dari 200 negara tercatat sebagai kandidat, dan Indonesia berhasil menuliskan nama dalam sejarah sebagai 17 Negara Megabiodiversitas di dunia.
Pada awal tahun 1900-an, Indonesia memiliki cakupan hutan seluas 84% dari luas wilayah Negara. Dengan jumlah penduduk yang kian bertambah, serta tuntutan zaman yang semakin berkembang, hal ini banyak berimbas pada luas hutan yang kian berkurang setiap tahunnya.
Untuk perumahan, untuk pemenuhan kebutuhan pokok, lahan industri, dan kebutuhan lainnya yang ditujukan untuk (sebagian besar) memenuhi kebutuhan manusia.
Untuk memenuhi kebutuhan kita, pada konteks ini kita meng”kompromi”kannya dengan jalan merelakan keaslian alam. Bertolak belakang dengan gelar kehormatan yang kita kantongi sebelumnya.
Kompromi ini membuat Indonesia menelan pil pahit dan digelari Negara kedua dengan tingkat deforestasi tercepat di dunia setelah Brazil. Sederhananya, Indonesia dipandang dunia sebagai posisi kedua sedunia untuk kegesitannya soal penggundulan hutan.
Release data WRI, hilangnya tutupan hutan Indonesia memuncak pada tahun 2012 seluas 928.000 hektar (2,3 juta hektar), turun secara signifikan pada tahun 2013 dan kemudian meningkat pada tahun 2014 dan 2015 menjadi 796.500 hektar (2 juta hektar) dan 735.000 hektar (2,8 juta hektar).

Melihat data ini, dapat dikatakan gesitnya penggundulan hutan tidak diiringi dengan upaya perbaikan yang serius. Terbukti dari perbandingan langit-bumi antara kenaikan-penurunan deforestasi yang terjadi hampir sepanjang tahun.
Release data Seed for Life menyebutkan bahwa per hektar lahan dapat ditanami hingga 1.000 pohon. Dengan estimasi setidaknya 800 pohon per hektar, Indonesia pada tahun 2013-2014 sudah kehilangan setidaknya lebih dari 6juta pohon/tahun.
Badan Lingkungan Nasional Kanada menyebutkan, rata-rata satu pohon dapat menghasilkan setidaknya 260 pon (setara 118kg) oksigen per tahun. 2 Pohon dewasa akan mencukupi kebutuhan satu keluarga beranggotakan 4 orang. Jadi, dengan demikian berapa juta keluarga yang dihutangi kecukupan oksigen untuk bernafas?
Keberadaan hutan Indonesia memegang peran krusial dimana kerusakannya tidak hanya berdampak langsung pada kehidupan di Indonesia, tapi juga untuk dunia. Hilangnya hutan yang tidak didampangi upaya perbaikan serius akan berdampak pada keseimbangan ekologi tidak hanya Indonesia tapi juga dunia. Contoh nyata dimana kebakaran hutan 2015 silam di Indonesia menjadi tersangka utama penyebab kenaikan suhu bumi secara global.
NatGeo dari Taman Nasional
Setelah Brasil, dunia bertumpu pada Indonesia yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi. Termasuk spesies endemic, 17.000 pulau di Indonesia adalah rumah bagi 1531 spesies burung (17% spesies burung dunia), 515 spesies mamalia (setidaknya 12% spesies dunia), 25% populasi ikan global, dan lebih dari 100 jenis pohon yang terancam punah. Dengan tingkat keanekaragaman ini, Indonesia merupakan kawasan hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Amazon dan Cekungan Kongo Afrika.
Meskipun kekayaan tersohor ini kita miliki (hingga dieksplorasi di NatGeo), faktanya magnet dari daya tarik ini tidak cukup kuat untuk menggaet masyarakat Indonesia sendiri. Hutan, termasuk yang dikategorikan taman nasional, memiliki potensi wisata bahari berbasis ekologi, atau ekowisata, yang tinggi.
Sayangnya, pangsa utama untuk kunjungan taman nasional malah berasal dari warga manca Negara, yang rela jauh-jauh menyebrang negeri hanya untuk menikmati keindahan alam milik kita sendiri.
Dengan potret seperti ini, tidak heran kalau tidak semua dari kita menyadari, digelari “Negara Deforestasi Tertinggi”. Rambut sudah dicabuti hari demi hari, namun kita sendiri yang memilih enggan melihat diri di cermin. Tidak heran, kalau 2 juta hektar lahan yang setara hampir 2 milyar pohon ditebangi setiap tahun, masih belum tersoroti dengan layak. Atau kita sendiri yang memilih untuk tidak memberikan lampu sorot?
Mengunjungi taman nasional merupakan salah satu bentuk dukungan paling sederhana untuk menyentil rasa bersalah kita. Dari menyaksikan sendiri bahwa rumah kita terancam masa depannya, diharapkan mampu menjadi pendorong kita untuk melakukan sesuatu yang lebih nyata, ikut menanam pohon misalnya?
Bisnis dan keberlangsungan komoditinya seringkali jadi topeng kita untuk memodernkan hutan. Padahal, bisnis yang akrab dengan alam bisa lebih panjang umurnya. Toh, kita tidak bisa menghitung uang dari bisnis kalau tidak bisa bernafas lega.
Pohon, satu-satunya sumber kehidupan umat manusia. Tanpa hutan, air akan semakin langka. Tanah semakin kering. Banyak satwa dan fauna pemangku siklus alam akan terancam kehidupannya. Pada akhirnya, kehidupan kita sendiri pula akan dicegal keberlangsungannya.
Pada akhirnya jawaban akan kembali kepada kita. Jangan sampai anak cucu kita menyaksikan NatGeo sebagai sejarah. Kerusakan alam terjadi secara massif didepan mata, kita perlu menumbuhkan rasa bertanggungjawab di diri kita semua.
Jika kita tetap diam dan melakukan pembiaran, hukum untuk segala pelaku ilegal-perampok kekayaan alam akan terus bertaring tumpul, dan warisan untuk anak cucu kita hanyalah tinggal sejarah.













