Oleh: Vinsensius Sitepu
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71, peristiwa tak mengenakkan menyembul di Medan. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum TNI AU dan Paskhas Lanud Soewondo terhadap sejumlah warga dan dua orang jurnalis Medan, sejatinya tidak dapat dimaafkan. Berdasarkan pantauan jurnalis di lapangan, oknum itu tega memukuli anak-anak dan perempuan yang melakukan demonstrasi atas tanah, yang oleh AURI diklaim sebagai miliknya, di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia Senin, 15 Agustus 2016.
Dua orang jurnalis, yaitu Andri Syafrin Purba (MNC TV) dan Array Argus dari (Tribun Medan) bahkan harus dirawat di RS Mitra Sejati Medan akibat luka-luka yang dialaminya. Menurut pengakuan kedua jurnalis itu kepada media, walaupun mereka sudah menunjukkan identitas profesi sebagai pekerja media, tetapi oknum TNI AU tetap memukul. Oknum TNI AU tersebut bahkan sempat memuntahkan peluru karet ke arah kerumunan massa. Array sendiri mengaku dipukul dengan kayu, diseret, lalu diinjak-injak oleh oknum TNI AU. Kata Array kepada media, seorang oknum TNI AU mengancam hendak membunuhnya.
Spontan aksi biadab itu memecut solidaritas rekan-rekan jurnalis di Medan, Bandung, Bogor, Solo, Binjai, Banda Aceh, dan sejumlah kota-kota lainnya di Indonesia. Rekan-rekan jurnalis bersetuju, bahwa peristiwa yang melanggar Hak Asasi Manusia itu, mengaruskan Komandan Lanud Soewondo, Kolonel Pnb Arifien Sjahrir dicopot dari jabatannya. KontraS Sumut dan PWI Sumut bahkan mengecam keras peristiwa melanggar hukum itu.
Tentara tentu lupa bahwa profesi wartawan telah dilindungi oleh Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999. Wartawan dalam menjalankan tugasnya berada dalam konteks kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara dan demi menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kemudian pada pasal 18 ayat 1 undang-undang itu, ketentuan pidana pelanggaran yang menghalangi tugas jurnalistik dapat dikenakan ancaman hukuman dua tahun penjara serta denda maksimal Rp 500 juta. Aksi brutal oknum TNI tentu saja masuk dalam kategori menghalangi tugas jurnalis menjalankan profesinya: memantau, merekam peristiwa sebagai informasi yang kelak disebarkan kepada publik, terlebih-lebih pangkal kasus ini adalah sengketa tanah antara warga dan TNI AU Lanud Soewondo.
Ingat, jurnalis bukan semata-mata bekerja bagi perusahaan media tempat dia bekerja, tetapi bekerja kepada publik sebagai pembaca informasi, sesuatu yang sangat penting untuk segera disampaikan. Tentara bukanlah preman, tetapi seorang patriot yang menjaga bangsa ini. Rakyat adalah bagian dari bangsa Indonesia. Mereka itu adalah warga Sari Rejo, termasuk jurnalis peliput. Tentara bukanlah pengucap Sapta Marga: …”yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah” memukul masyarakat sipil.
Maka, dalam hal pertanggungjawaban sosial, TNI AU sebagai prajurit harus bersikap perwira dan ksatria mengakui kesalahannya. Ingat Sapta Marga ke-6: Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa.
Dia atas semua itu Walikota Medan dan Anggota Dewan Perawakilan Daerah Kota Medan dituntut turut andil memediasi kasus ini agar terang benderang. Ini pula sebagai pembelajaran di masa depan, bahwa setiap kasus jangan dianggap dapat selesai melalui kekerasan fisik. Warga dan TNI AU harus mawas dan mampu menahan diri. Kita kerap diingatkan bahwa keunggulan Kota Medan ini adalah sikap toleransinya yang sangat tinggi. Peristiwa ini tentu mencemari kebajikan sosial itu.
Kami, jurnalis mengingatkan lagi, bahwa pers yang bebas bukanlah semata-mata hak jurnalis sebagai profesi, ataupun media sebagai perusahaan penyampai informasi. Pers yang bebas adalah hak asasi sebagai manusia yang bermartabat: baik sebagai individu, kelompok, dan organisasi. Masyarakat berhak mendapatkan informasi dari media massa, sekaligus mensyiarkan informasi yang dimilikinya kepada publik atas dasar kebebasan berekspresi yang diatur secara konstitusional.
Kebebasan berekspresi dalam konteks berbangsa dan bernegara, didasarkan pula pada realitas sosial bangsa Indonesia yang beragam. Di dalamnya ada perbedaan. Sebagai sebuah hak, masing-masing individu wajib menghormatinya, ada empati yang didadarkan. Maka, berbeda-berbeda, bukan berarti kita berhak membeda-bedakan yang berujung pada kekerasan dan penyingkiran.
Atas dasar itu pula, terkait dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2016 lalu, menekankan pada kaitan antara kebebasan pers, budaya keterbukaan dan hak atas kebebasan informasi, dan pembangunan berkelanjutan di era digital. Benang merah dari semua itu adalah peran jurnalisme, dan pentingnya melindungi mereka yang bertugas menyampaikan berita kepada masyarakat melalui tiga sudut pandang: kebebasan informasi sebagai suatu kebebasan fundamental dan hak asasi manusia, melindungi kebebasan pers melalui pemberlakuan sensor dan pengawasan yang berlebihan, dan memastikan keamanan dan keselamatan bagi jurnalisme daring (online) dan luring (offline).
Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), setiap tahun jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya terus terjadi di Indonesia. Dalam pantauan AJI sejak tahun 1997 menemukan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan itu tidak pernah kurang dari 30 kasus per tahun.
Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia juga semakin mengkhawatirkan dalam 10 tahun terakhir. Setidaknya itulah catatan World Press Freedom Index 2015 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis). Indonesia berada di posisi merah, peringkat ke-138 dari 180 negara. Posisi ini bahkan berada di bawah Thailand (yang kini dipimpin junta militer), Taiwan, dan India. Sedangkan Freedom House yang berbasis di Amerika Serikat, dalam lima tahun terakhir menempatkan Indonesia dalam posisi partly free, ini bermakna kebebasan pers dan berekpresi belum terejawantahkan sepenuhnya.
AJI juga mencatat, sepanjang tahun 2015, angka kekerasan terhadap jurnalis meningkat. Ada 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2015, meningkat dibanding tahun 2014 yang mencapai 40 kejadian. Namun satu yang perlu dicatat, angka polisi sebagai pelaku kekerasan berlipat dua, dari sebelumnya hanya enam kasus, kini tercatat ada 14 kejadian di mana pelaku kekerasan adalah polisi.
Maka, kita mengingatkan diri kita kembali, kemerdekaan pers pada hakikatnya bukanlah hak eksklusif komunitas pers. Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional yang berakar kepada jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi. Setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis pada prinsipnya bukan hanya menghalangi kerja jurnalis untuk memperoleh berita, tetapi itu pada pokoknya melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dari media. Anak negeri ini di masa depan perlu mewarisi kearifan tinggi dalam memandang perbedaan, menerima kenyataan sosial, sebagai sebuah peluang, bukan entitas belang yang patut dipermasalahkan.
Dalam konteks peristiwa di Medan itu, kami sesungguhnya mencintai TNI dan pengharapan sebesar-besarnya dapat melakukan reformasi menyeluruh di tubuhnya demi mencapai tujuan tentara modern. Prestasi TNI harum di negeri orang, selayaknya juga demikian di negeri sendiri.