AJI Medan Kritik Hukuman Penganiaya Jurnalis Terlalu Ringan

MEDAN, KabarMedan.com  | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan menilai, putusan majelis hakim pengadilan militer I-02 yang menjatuhkan vonis tiga bulan penjara kepada terdakwa penganiaya jurnalis terlalu ringan dan tidak membuat efek jera.

“Tindakan penganiayaan yang dilakukan terdakwa Pratu Romel P Sihombing, prajurit TNI AU kepada jurnalis, merupakan perbuatan melawan hukum, karena menghalang-halangi kerja jurnalis melalui intimidasi bahkan pemukulan,” kata Ketua AJI Medan, Agoez Perdana, Rabu (6/9/2017).

Agoez menerangkan, dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.

“Pasal ini pun dari awal sekali tidak dimasukkan oleh penyidik. Hal ini menunjukkan bahwa pihak TNI AU berusaha untuk melindungi prajuritnya dengan mengganjar hukuman ringan saja,” ujar Agoez.

Sementara itu, Tim Advokasi Pers Sumut menganggap putusan itu sangat ringan dan penuh dengan rekayasa.

Tim Advokasi Pers Sumut dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Aidil Aditya mengaku tidak puas dengan hasil putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Pasalnya, terdakwa penganiaya Array A Aragua, jurnalis Tribun Medan hanya dikenai sanksi atas Pasal 351 KUHPidana. Sedangkan Pasal 170 KUHPidana tentang pengeroyokan dihilangkan.

“Padahal dalam persidangan terdakwa telah mengakui sendiri kepada majelis hakim ada melakukan pemukulan kepada korban dengan kursi plastik hingga patah, dan juga terdapat unsur pengeroyokan yang dilakukan bersama-sama, tapi nyatanya tindakan tersebut justru dihilangkan. Kami menganggap putusan ini ada yang aneh,” jelas Aidil.

Aidil mengatakan, keanehan itulah yang memunculkan kecurigaan adanya rekayasa persidangan yang dilakukan oleh institusi TNI AU. Tim Advokasi Pers Sumut pun akan terus mengawal kasus ini meski perkara yang dialami Array sudah ditutup di pengadilan militer, dengan mendesak Oditur Militer untuk melakukan banding.

“Kami akan mengawal bagaimana agar Oditur Militer melakukan upaya hukum kembali, terhadap apa yang di dakwanya, justru dinyatakan hakim tidak terbukti. Ini menyangkut marwah Odmil,” akunya.

“Terdakwa sudah mengakui atas perbuatannya, Ini seharusnya sudah bisa jadi fakta hukum, dan kami heran mengapa perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama ini tidak memenuhi unsur hukum, kami akan mempertanyakan ke majelis hakim,” ungkapnya.

Atas putusan tersebut, korban Array mengungkapkan kekecewaan terhadap vonis yang ringan dan proses persidangan terkesan selalu diulur-ulur oleh majelis hakim.

“Sidang selalu tertunda hingga berjam-jam lamanya karena menunggu terdakwa yang belum datang. Saya berharap, Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo memperbaiki peradilan di Pengadilan Militer I-02 Medan. Jika ketidak disiplinan dalam proses persidangan dibiarkan begitu saja, tentu kepercayaan masyarakat terhadap TNI pasti akan hilang,” tandasnya.

Ketua Majelis Hakim, Kolonel CHK Budi Purnomo usai persidangan mengatakan, bahwa saat ini sudah keterbukaan informasi, dan hukum akan diproses sesuai mekanismenya.

“Sekarang zaman keterbukaan, semuanya melalui proses hukum. Kita harus menghargai proses hukum, kamu yang muda jangan terbawa emosi, semuanya ada hukum yang mengatur,” pungkasnya.

Sidang penganiayaan jurnalis yang dialami Array A Argus pertama kali digelar 19 Juni 2017 lalu. Putusan terjadi, setelah kasus yang dialaminya sudah berjalan setahun, saat melakukan peliputan kerusuhan antara masyarakat dengan sejumlah prajurit TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Polonia pada 15 Agustus 2016 silam.

Korban dalam peristiwa tersebut sebanyak 6 jurnalis. Dimana lima orang memberikan kuasa hukum kepada Tim Advokasi Pers Sumut dan sudah melakukan pelaporan ke POM AU yaitu Array Argus (Harian Tribun Medan), Teddy Akbari (Harian Sumut Pos), Fajar Siddik (medanbagus.com), dan Prayugo Utomo (menaranews.com), dan Del (matatelinga.com) satu-satunya korban wanita yang mendapat pelecehan. Sedangkan Andry Safrin (MNC News) memakai kuasa hukum Tim Pembela Muslim (TPM).

Perkara yang dilaporkan Tim Advokasi Pers Sumatera Utara saat para korban membuat laporan di POM AU Lanud Soewondo, yakni pelanggaran Pasal 351 jo Pasal 281 KUHP Jo Pasal 170 KUHP Jo. Pasal 18 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. [KM-03]

 

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.